Suatu Selasa yang sejuk di daratan Bandung, saya datang ke
sebuah acara Brandung (Babarengan ngabranding Bandung , arti: bersama-sama
mem-branding Bandung) di Bandung Indah Plaza atau kami lebih mengenalnya dengan
sebutan B.I.P. ), acara ini di adakan
oleh FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia).
Kumpulan dosen DKV (Desain Komunikasi Visual)-Bandung diantaranya
UNIKOM, UNIBI, Maranatha, UNPAS, ITB, Widyatama. Mereka mengadakan pameran ide kreatif membuat
tawaran brand desain pada produk UKM (Usaha Kecil Menengah). Pameran berlangsung selama 6 (enam) hari,
dipajang di lantai 2-4. Pembukaan
Br@ndung selain musik juga ada kuliah di mall.
Sebuah acara yang menarik dan bisa membuka wawasan pemilik UKM maupun
orang-orang yang tertarik untuk membuat perubahan citra usahanya.
Di facebook panitia Br@ndung, saya menemukan foto yang cantik:
Dua orang panitia sedang dikelilingi oleh wartawati dalam
acara konferensi pers acara. Semua
wartawati itu berkerudung, sebuah pemandangan yang unik dan jarang
terjadi. Saya fikir, ini Bandung. Betapa kerennya Bandung, karena disana banyak
sekali orang-orang yang berikir terbuka.
Entah karena apa.
Dalam pola fikir saya yang masih amburadul, pernah membahas
tentang perempuan dalam kerudung, bisa diklik link ini http://matakubesar.blogspot.com/2011/03/perempuan-di-balik-kerudung.html. Kebanyakan, terutama di awal tahun 90-an,
sudut pandang seseorang pada perempuan berkerudung adalah kuno dan berpandangan
sempit. Tapi hal ini bisa jadi mungkin
karena di masa lalu perempuan berkerudung di Indonesia masih dilarang untuk
sekolah, kuliah dan bekerja, sehingga ruang gerak mereka terbatas oleh
lingkungan itu sendiri. Contoh kasus di
tahun 1994-an, ada saat anak SMA negeri “X”(Sekolah Menengah Atas) tidak boleh
masuk sekolah karena dia tiba-tiba datang dengan memakai kerudung. Persis yang tengah terjadi di Prancis
belakangan ini. Mereka tidak boleh masuk
ke gerbang kampus maupun bekerja di sebuah perusahaan karena mereka
berkerudung. Seolah-olah kerudung
menjadi sebuah identitas menakutkan, terror, keras, terbatas. Hal itu begitu kuat di benak kebanyakan orang
terutama saat media begitu gencar mengangkat peperangan maupun “teroris”-nya orang Islam.
Namun melihat foto diatas menggelitik pikiran, bahwa selama
ini sudut pandang orang-oranglah yang salah.
Karena jiwa perempuan-perempuan itu teruslah hidup, terus bergerak,
kreatif dan menjadi bagian dari
kehidupan sendiri bersamaan dengan keyakinannya. Justru keterbatasan itu diciptakan oleh
orang-orang yang disekeliling mereka.
Hidup adalah terus belajar, dari siapapun dari apapun, karena dengan
begitu bisa membukakan jendela hidup yang sedemikian luas. Bersaman dengan waktu dan perkembanganya,
saya malah semakin banyak menemukan perempuan berkerudung dengan beragam
profesi, dan profesi ini saat dulu masih jarang bahkan tidak pernah
ditemukan. Seperti penulis, perupa,
pemain teater, pembuat film, fotografer, supir transjakarta, pemilik usaha dan
banyak lagi.
Barangkali, inilah Bandung.
Kota yang tidak pernah berhenti membuka diri dan ramah pada apapun,
tentu melalui proses pendewasaan yang tidak sebentar.
Sehingga membuka banyak peluang bagi siapapun, apapun agamanya, keyakinannya, terbuka peluang untuk terus berekspresi dan menunjukan jati dirinya.
Karena hidup itu memang beragam dan mengenali perbedaan. Kenali hidupmu, fokus, konsisten dan teruslah
bergerak sampai jantung berhenti.
i.am.ima. 17 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan komentar Anda. adv