Pagi buta maupun pagi tampak, tiap sebulan sekali menghadirkan warna tersendiri. Menyiapkan berkas BPJS, surat rujukan dan surat pengantar rawat jalan menciptakan nada dan denyut jantung berbeda. Wangi kopi, angin pagi, desir daun yang terlewati tiap jalur dinginnya Bandung utara menjadi jantung. Warna matahari bermain-main diantara celah daun, angin menepa wajah lesu menuju ritme yang meluaskan resah dan kisah.
Merawat
kehidupan sebagai bentuk terima kasih pada Pemilik Semesta. Bertahan dan tetap hadir di jalur yang Allah
siapkan meluaskan pandangan tentang diri dan kehidupan. Perjalanan tiap sebulan sekali kontrol ke
rumah sakit ibarat melakukan perjalanan traveling. Ada ruang renung dan menjernihkan mata. Tentang cinta dibalik segala kesulitan
menjadi rahasia makna.
Setiap bulan sekali saya menyiapkan lembar kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan lembar surat kontrol dari faskes A. Tak hanya itu, botol minum di isi air mineral, segelas kopi dimasukan ke dalam gelas traveling, handsanitizer, tissue basah, masker cadangan dan pouch isi obat-obatan. Semua perlengkapan itu dibawa ke dalam tas untuk persiapan rawat jalan. Begitu siap jiwa raga, kami pun berangkat menggunakan angkot. Tiba di puskesmas, kami harus antre untuk mendapat pelayanan dari dokter. Ternyata ada pengumuman, bahwa website BPJS tidak dapat di akses. Kami pun kembali pulang, menunda dan tetap memelihara jiwa tetap mengada.
Kejadian
website yang tidak dapat di akses bukan kali pertama, persoalan seperti ini pernah
saya alami beberapa kali. Lalu berakhir
pulang lalu minum kopi di suatu tempat atau nge-bakso. Meski ada beberapa pasien yang menunggu
website BPJS dapat di akses, kami lebih memilih kembali esok hari. Sedikit kesal lalu merasa lucu menjadi rakyat
jelata yang suka sok seru mengambil hikmah dibalik kesulitan. Kadang suka heran, kok ya aku baik-baik
aja.
Sebetulnya
rasa sebal itu mampir, tapi sebentar lalu cepat teralihkan pada situasi yang
lebih menarik. Seperti memotret beberapa
situasi lalu mengenyangkannya dengan semangkuk bakso dan sebotol teh dingin.
Saya cuma
berfikir apakah tidak ada antisipasi lain ketika website BPJS tidak dapat di akses
ketika ada pasien yang ingin diperiksa.
Beda kasus kalau kaya Ayah yang minta surat rujukan dengan kondisi fisik
yang fit. Bayangkan ketika ada pasien
yang panas dingin, perut melilit, kepala nyut nyutan, demam, lalu duduk antre
bareng pasien yang lain dengan susah payah ke puskesmas untuk mendapatkan
pemeriksaan dari dokter. Ternyata begitu
sampai, melakukan antre yang cukup lama, ternyata karena website tidak dapat di
akses jadinya pasien tidak mendapat pelayanan lanjutan.
Terus
terang ini menyedihkan.
Masalahnya,
dampak website BPJS yang tidak dapat diakses itu berhadapan dengan masalah
tubuh bahkan mungkin nyawa manusia.
Ketika aplikasi zoom tidak dapat dibuka untuk kegiatan seminar saja
rasanya kesal. Apalagi ketika tubuh
butuh diobati bahkan mungkin perlu mendapat tindakan yang cepat.
Satu
sisi, fasilitas BPJS ini banyak membantu dalam menangani kesehatan Ayah, saya
dan anak kami. Khususnya Ayah yang
mendapatkan fasilitas kesehatan dari awal tahun 2015 hingga sekarang, mulai
operasi otak di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) lalu keluar masuk rawat
inap, rawat jalan di berbagai rumah sakit.
Begitupun saya yang keluar masuk rumah sakit hingga rawat jalan di poli psikiater
di RS Melinda karena persoalan lambung.
Anak saya yang kena pneumonia dan lalu harus rutin berobat karena kena
TBC paru-paru. Hidup saya banyak
ritmenya.
Kami
datang ke puskesmas untuk minta surat rujukan agar bisa rawat jalan di faskes
3. Kebijakan baru ini muncul sekitar 2
tahun lalu, tahun 2018. Sebelumnya,
kalau kita sudah ditangani di faskes 2 maupun 3 tidak perlu lagi minta rujukan
dari faskes 1 dan kedua. Perubahan ini rupanya
biar tidak terjadi penumpukan pasien. Memang
terasa sih jumlah antrian pasien
lebih lengang, biasanya antre numpuk tumplek menyebabkan antrian yang panjang
dan dokter seringkali kelelahan.
Kalau
dulu untuk mendapatkan nomor antrean BPJS itu bisa dari subuh, lalu jam 7
memasukan berkas, belum selesai baru di panggil satu persatu untuk mendapatkan
eligibilitas BPJS agar bisa diperiksa dokter dengan jaminan BPJS.
Satu
sisi saya mengerti strategi ini, namun kasus pasien itu beragam. Seperti kasus Ayah yang harus rutin rawat
jalan (selamanya), obat yang tersedia dan ditanggung BPJS itu hanya di faskes 3. Situasi ini cukup merepotkan, karena harus mengurus
surat rujukan setiap 3 bulan sekali.
Dulu saat suami mengalami kejang lagi, segera saya bawa ke IGD RS Santosa agar dapet penanganan cepat. Karena di
rumah sakit ini merupakan tipe rumah sakit A swasta setara RS Hasan Sadikin, memiliki alat-alat kesehatan yang lebih lengkap. Terlebih jika harus tes MRI dimana tidak
semua faskes menyediakan. Apa itu
MRI? Browsing aja, yah. Hahaaaa…
Perlu
diketahui, hampir 4 tahun sejak Januari tahun 2014, kondisi fisik Ayah harus
dijaga betul. Dia cepat terpicu aura
kejang (bahkan sampai kejang) jika terpapar udara dingin, ngobrol beberapa
menit saja, membawa beban berat, situasi yang membuat hati terlalu bahagia atau
terlalu sedih. Saat itu hidupnya seperti
terisolir.
Tahun
2018 Ayah dapat masukan dari Dr. Purboyo Solek untuk konsumsi obat
tambahan. Alhamdulillah, satu bulan
sejak makan obat tambahan, pelan-pelan keluhan dan situasi yang memicu aura
kejang/kejang semakin berkurang, membaik bahkan kembali normal. Kamu pernah melihat bunga yang layu, beberapa
daunnya mulai berguguran, lalu kembali tegak, daunnya segar dan tumbuh
berkilau. Begitulah Ayah.
Kok,
aku mau-an dan ngusahain banget dapet obat yang di tanggung BPJS? Persoalannya, obat ini harus terus di makan.
Kebetulan saat itu obat yang dikonsumsi Ayah ini jenis obat baru, harganya
cukup tinggi, hanya tersedia di apotik dan rumah sakit tertentu. Jadi dokter mempertimbangkan masalah harga
dan kemungkinan obat ini tetap ada.
Selain
itu saya mengalami pengobatan dari era mandiri hingga era muncul kebijakan
kesehatan yang diatur pemerintah. Sebagai
anak generasi lahir akhir tahun 70-an, saya mengalami proses pengobatan
mandiri. Kebetulan dari kecil saya
“hobi” ketemu dokter, rawat inap dan pernah beberapa kali operasi dari sejak
SD. Saya mengalami lika liku berobat
dari satu dokter praktek ke dokter praktek lain, antre apotik, rawat inap
hingga operasi di rumah sakit. Biaya
yang keluar tidak sedikit, cukup mengerucutkan hati, bikin tubuh tambah sakit. Oleh Karen itu, saya bisa membedakan
bagaimana rasanya berobat menggunakan BPJS dan tidak menggunakan BPJS.
Lalu
sekitar tahun 2013 pemerintah mengeluarkan BPJS. Fasilitas ini dikeluarkan karena berbagai
persoalan kesehatan di tengah masyarakat yang tidak tuntas. Penyebabnya karena masalah biaya pengobatan,
perawatan dan hal lain yang menakutkan. Mungkin
diantara kalian pernah baca buku Orang Miskin Dilarang Sakit, ini bentuk kritis
terhadap pelayanan kesehatan zaman dulu.
Untuk beberapa kelompok orang lebih memilih menahan rasa sakit dibanding
harus berobat.
Saya
mulai mendaftarkan diri, suami dan anak-anak pada tahun 2015. Itupun karena suami saya harus menjalankan
operasi otak di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Di tahun-tahun pertama muncul BPJS ini, manfaatnya
bisa langsung digunakan setelah daftar jadi peserta. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan manfaat
BPJS kuncinya harus sabar (dengan huruf besar, ditebalin, dengan ukuran font
yang besar). Maksud saya, kita harus
rela jiwa raga untuk mengantre mulai belasan hingga ratusan pasien. Mulai antre BPJS, antre di poliklinik, lanjut
antre obatnya.
Kenali
proses pendaftaran untuk mendapatkan eligibilitas BPJS. Karena setiap rumah sakit itu karakternya
beda-beda. Ada yang mudah, ada juga yang
ribet. Untuk pengambilan nomor pasien,
ada yang bisa daftar melalui aplikasi.
Jadi kita bisa datang sesuai nomor panggilan, bisa agak siang atau lebih
pagi sesuai nomor yang didapatkan.
Begitupun ada rumah sakit yang harus antre dari subuh untuk mengambil
nomor antrian, lalu datang lagi jam buka BPJS jam 07.00 WIB. Proses antre ini bisa 2-3 jam. Kemudian setelah mendapat eligibiltas BPJS,
antre lagi di poli yang kita tuju. Setelah
diperiksa, mendapatkan surat rawat jalan, biling harga dokter dan obat. Kemudian masuk ke ruang biling BPJS setelah
semua beres baru lanjut antre untuk pengambilan obat di apotek rumah sakit.
Banyak
yang mengeluh dengan proses ini, saya sendiri sudah tidak ada ruang lagi untuk
melukai diri sendiri karena situasi yang bukan dalam kendali saya. Saya hanya perlu mengendalikan layar
perahunya dan mengayuh dengan sepenuh hati.
Note:
Sekadar
info tentang tipe faskes yang mesti kamu tahu, agar mengerti pola dan memahami berbagai
jenis faskes yang melayani pasien BPJS:
1. Faskes tingkat 1 diantaranya
puskesmas, klinik, praktik dokter, dan rumah sakit kelas D.
2. Faskes tingkat 2 diantaranya rumah
sakit kelas B dan C.
3. Faskes tingkat 3 diantaranya rumah
sakit kelas A.
Nah, rumah sakit terbagi menjadi
beberapa klasifikasi:
1.
Rumah
sakit khusus kelas A
Contoh:
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, RSU Hasan Sadikin Bandung, RSU
Soetomo Surabaya, RS Cicendo, RS Rotinsulu, RS Santosa Kebon Jati Bandung.
2.
Rumah
sakit khusus kelas B
Contoh:
RS Harapan Kita Jakarta, RS Advent Bandung, RS Al Islam, RS Salamun, RS
Immanuel, RS Santosa Kopo Bandung, RS Borromeus.
3.
Rumah
sakit khusus kelas C
Contoh:
RSUD Kota Tangerang, RS Halmahera Siaga.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan komentar Anda. adv