Cerita di Ujung Malam


Foto: Ima

Hujan malam ini. Dua orang penjaga datang, membuka kunci pintu jeruji. Seorang laki-laki muda, seumuranku, terlihat muram dan kesal. Kosong matanya. Dia jalan pelan menuju kasur disebelahku, duduk melemparkan sebagian badannya.

Ku memicingkan mata, lalu duduk. Kami beradu pandang. Dia melihatku, tajam, dari kepala hingga kaki, lalu memandang sekeliling. Mata yang penuh awas. Lampu di luar jendela memberi bayang pada wajahnya. Ia mendengus, kepalanya di lemparkan ke atas bantal yang lembek. Tak ada senyum diantara kami.

Ku coba kembali tidur, namun ranjang sebelah tak juga tenang. Tubuhnya gelisah, membalik ke kanan, ke kiri, lalu kembali duduk, ia lakukan berkali-kali.

"Tidur, sudah malam." Seorang teman yang tidur di ranjang tingkat di atasnya mulai merasa terganggu. Dia pun tenang. Melipat bantal, matanya terlihat masih memandang ke luar jendela. Ada hujan di sana.

Akupun mulai lenyap dari ingatan, meski satu dua ekor nyamuk melahap makan malam di kaki yang tak tertutup selimut.

Klang... klang... klang... lonceng berbunyi. Beberapa petugas yang lain mengetuk jeruji sel. Satu persatu teman-teman bangun. Bersegera. Ada yang mencari kacamata, ada yang berlari bersegera ke toilet, ada yang menggerak-gerakan badan. Di ujung jendela, sekelompok ayam berteriak nyaring. Beberapa orang masih mendengkur, ku bangunkan. Tapi kepalanya kembali ditutup dengan selimut dekil dan tipisnya.

Laki-laki yang datang malam itu sudah duduk. Rautnya pucat. Ia ikut barisan menuju toilet. Aktifitas subuh itu hening, hanya suara langkah kaki petugas dan sendal tipis yang diseret oleh beberapa penghuni sel yang masih mengantuk.

Terang, teranglah matahari. Aku rindu hangat. Aku rindu nasi goreng terasi dengan telur mata sapi setengah matang dan senyum Ibu. Pikiran melayang pada suasana rumah, pada kuping jendela dengan engsel yang sudah karatan, gorden bekas spanduk kampanye, pintu yang sudah sedikit rapuh dipenuhi gambar aku dan adik-adikku, dan sosok ayah yang tiba-tiba datang lalu siap memukuliku. Ku tarik nafas, ingatan dikembalikan pada detik ini. Masih ada 2 orang lagi di depan pintu toilet.

Waktu berjalan begitu lambat, bahkan untuk melakukan hajat menjadi begitu lambat dan mahal. Kami, mau tidak mau, berbagi dalam segala hal. Satu per satu. Setiap hari seperti mimpi yang tidak kunjung usai. Diantara bau toilet yang khas, berjajar tubuh-tubuh kurus, rambut cepak, warna baju yang sama.

Seseorang dengan tubuh pendek tiba-tiba berjalan dan berdiri paling depan untuk memasuki pintu. Raut mukanya dingin dan tampak santun. Teman-teman yang tengah antri terlihat geram, tapi tak ada satupun yang berani padanya. Meskipun tubuhnya kecil dan pendek, tapi dia terkenal jago bela diri. Berdasarkan cerita dari teman satu bloknya, anak bertubuh pendek ini menghabisi nyawa paman dan istri pamannya. Aku yang hampir menegurnya, menahan diri, padahal perut sudah teramat mulas.

“Mario!” Suara petugas, dengan suara tenor yang khas, membuat kami semua membalikan kepala menuju suara panggilan itu. Keluar dari barisan seorang dengan perawakan tinggi, kulit bersih, terlihat elit dari kelompok orang-orang kebanyakan di blok ini. Laki-laki yang semalam tidur di kasur sebelah, rupanya bernama Mario. Dia melangkah mengikuti petugas. Kami semua hanya menatap pada setiap langkah hingga tak lagi terlihat sosoknya di belokan pertama.

Aku pun masuk toilet.

***

Selepas shalat berjamaah dan suntikan ceramah subuh, semua penghuni di blok kembali ke tengah lapang untuk dihitung ulang dan segera sarapan.

“1, 2, 3,... 185! Lengkap semua, Pa.” Lalu petugas dengan baju seragam biru-biru memberi perintah makan pagi. Masing-masing membawa tempat ransum yang terbuat dari aluminium. Ada tempat untuk nasi, sayur, ikan, perkedel dan kerupuk. Tapi makan pagi ini tidak selengkap itu, 4 cekungan dari tempat kosong itu hanya terisi 2. Untuk nasi, sayur bayam dan tempe goreng. Setiap hari makan hanya seputar tahu dan tempe, syukur-syukur ada telur goreng.

Aku dan teman-temen duduk bersama dalam sebuah bangku panjang. Saling menertawakan menu pagi dan tugas-tugas hari ini. Tak lama, laki-laki yang semalam datang mendekati kami.

“Boleh, aku, duduk di sini?” Katanya kaku.

Bola matanya kosong, raut muka yang kusut seperti orang-orang yang datang dan pergi. Raut muka yang sama, setiap orang yang kutemui selama 3 tahun di sini.

“Duduklah.” Jawabku. “Aku teman sekamarmu”.

“Iya. Terima kasih.” Sambil mengunyah sepotong tempe.

“Tiap hari, menu makan seperti ini?” tanyanya, kaku.

Seluruh teman-teman di bangku itu tertawa terbahak.

“Selamat datang di dunia antah berantah.” Teman sebelahku menjawab sambil makan nasi putih dengan lahap ibarat nasi goreng ayam rasa pedas.

“Kau, kenapa bisa masuk ke sini?” Tanyaku.

“Masalah perempuan. Kau pun?.” Jawabnya berusaha santai, dan itu membuat laki-laki yang paling pendek diantara kami membantingkan wadah makannya yang sudah kosong. Lalu berteriak.

“Laki-laki biadab! Kau beraninya dengan perempuan, hah!”

“Hei!!! ” Laki-laki berparas bersih dengan lengan yang terlihat tidak pernah bekerja keras itu pun berdiri. “Kamu fikir kita di sini orang-orang hebat semua?.”

“Setidaknya aku tidak sepengecut kau, beraninya sama perempuan!” Terlihat, suaranya bergetar dan marah.

“Hati-hati, dia membunuh pamannya karena menghina ibunya.” Kataku setengah berbisik, wajahnya menatapku cepat, matanya membesar, ada rasa kaget di wajahnya. “ Aku tidak main-main.”

Klang... klang.. klang... petugas dengan baju biru mendekat sambil sedikit berlari.

“Kalian berdua, mendekat. Tidak boleh bertikai di sini. Kalian berdua, selesai sarapan gosok wc!”

“Horeee... aku bebas tugas!.” Teriak sorang anak berperawakan kurus dengan kacamata yang di selotip bagian gagangnya.

“Pa, aku di sini hanya sebentar. Akan aku laporkan pada orang tua, bagaimana kalian memperlakukanku di sini.” Jawabnya lantang. Lalu suasana pun hening.

Wajah-wajah coklat dan kurus, terlihat berhenti makan. Tak ada yang berani yang berkata demikian pada petugas itu. Petugas membuka topi, mendekat, sambil menepuk pundak Mario.

“Selama kamu di sini, kamu dalam pengawasan saya dan harus ikuti semua aturannya. Kalian berdua, ikut saya.” Petugas lalu membawa si pendek dan laki-laki yang baru saya tahu tadi subuh namanya. Wajah-wajah coklat dan kurus itu pun kembali makan, tinggal bunyi piring kaleng dan sendok yang bersisa.

Setiap hari, setiap malam, Mario selalu dipanggil petugas. Entah dibawa kemana. Baru kembali ke kamar mungkin menjelang dini hari. Di sini tak ada jam dinding. Hanya mengira-ngira dari posisi bulan di balik jendela. 

Di hari ke-6, seperti biasa Mario duduk di sebelahku untuk makan pagi. Menu pagi ini nasi hangat dan tahu goreng.

“Mario, kenapa kamu setiap malam dipanggil petugas.” Tanyaku agak hati-hati.

“Ditengok keluarga, Mama ingin bertemu denganku.”

“Lha, bukannya kalau malam tidak boleh ditengok?”

Mario melemparkan senyum,

“Kamu bisa makan dengan nasi dan tahu seperti ini?” Mario terlihat malas makan.

“Tak ada pilihan.” Jawabku. “Ini semua salahku, aku harus menjalaninya dengan sabar.”

“Kalau punya uang, hidup bisa kau pilih, Rus! Siang ini orang tuaku jemput. Aku bebas. Aku akan segera lepas makan menu di sini. Haha!.” Mario berbisik padaku sambil menghabiskan makan pagi dengan lahap.

Sementara, aku hanya menghabiskan nasi hangat yang semakin hari terasa payau sambil menjalani 2 tahun makan nasi hangat saban hari dan menyisakannya. Jaga-jaga jika nanti lapar.

*Ini hanya cerita fiksi yang terinspirasi dari sepotong cerita dari kelas menulis anak-anak lapas.



Bandung, 4 Oktober 2017

Imatakubesar

12 komentar:

  1. Setiap kata-kata yang teh Ima rangkai dan setiap cerita yang teteh sampaikan seolah-olah aku ada di dalamnya.

    Makasih ya, Teh, sudah berbagi. Sehat dan semangat selalu. :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wih, makasih Zia. Alhandulillah. Masih belajar saya mah.

      Hapus
  2. Mario itu betulan ngga, Ma? Anak lapas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nama Mario itu engga ada, tapi cerita yang menyerupai itu bisa aja ada.

      Hapus
  3. Selalu jatuh cinta sama rangkaian kata - kata teh ima

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, jadi terharu. Makasih banyak, ya, Tian.

      Hapus
  4. waah, ceritanya menyentuh ya ima

    BalasHapus
  5. kebayang ya kehidupan anak-anak di lapas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, selama ini, kita ngerasa hidup kita penuh derita, tapi mereka bisa jadi bisa masuk lapas karena "kelakuan kita".

      Hapus
  6. Wah... Kekuatan koneksi dan duit bukan ini teh maksudnya?
    Bisi salah, hehe

    BalasHapus
  7. Semoga perjuangan Teh Ima dan kawan-kawan untuk anak lapas berbuah manis :)

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv