Badai Telah Berlalu

Badai Tuan tlah berlalu

Salahkah ku menuntut mesra

Tiap pagi menjelang, kau disampingku

Ku aman ada bersamamu

Selamanya

Sampai kita tua, sampai jadi debu


...

Sepotong lirik Sampai Jadi Debu dari album kelompok musik Banda Neira, membawa ingatan ke bulan September 2013. Saat pohon tumbuh berdiri lalu mendadak tumbang, melewati berbagai musim kering dan penghujan. Tepat beberapa hari setelah dia ulang tahun. Empat tahun lalu, dihantui rasa takut yang mencekam, seperti di atas perahu yang terombang ambing di tengah laut. Gelombang ombak yang tinggi, angin kuat, matahari yang menghilang.

Waktu terasa sangat lamban. Aku takut sore. Aku takut malam. Aku rindu karamaian. Di mana langkah terjatuh pada satu lubang menuju lubang yang lain. Kulihat sekeliling sepi. Hanya Ibu yang mengaji di siang dan malam dengan raut yang semakin mengkerut. 

Foto: Ima

Begitu banyak kisah di balik serial hidup yang panjang. Perahu yang kami duduki, gelombang laut datang tak terkendali. Satu persatu pergi, meraih kayuh lalu menjauh. Tangan, hati, hanya mampu berpegangan pada ujung perahu, mengikuti semua pergerakan. Semua bertahan pada apa yang kami yakini. Mengikuti pergerakan alam, tangan-tangan, mesin hidup yang bergerak pelan dan cepat. Datang lalu pergi lalu datang lagi. Sampai suara berteriak sekecil gelombang ultrasonik, berbisik: “Cukup, Tuhan, cukup.” Satu persatu gelombang pun tenang, perlahan.

Seekor burung kecil bernyanyi di ujung perahu, pandangannya menyenangkan. Hujan ribut mereda, awan hitam pun bergeser, matahari bersinar lembut sentuh dedaunan kering, rerumputan hijau, kupu-kupu memainkan bunga-bunga, esok itu datang. Hati tak lagi cemas, tinggal sisa gelombang umpama rindu yang tertunda. Aku butuh beradaptasi lagi, pada kehidupan yang maya, pesona dan penuh intrik.

Perjalanan hidup yang paling istimewa diantara cerita hidup yang istimewa.

Lirik kontemplatif. Membuat hari ini begitu istimewa. Setiap detik menjadi menarik, seluruh gerak penuh makna, lelah menjadi ruang hidup yang nyata.

Sering beberapa pertanyaan muncul, tentang apa yang terjadi. Tentang kejadian yang tidak juga berakhir. Ia datang, pergi, lalu datang lagi. Hingga resah tak lagi hadir, meski jawaban tak juga datang. Kadang semua jawaban itu seperti udara, hadir namun tak tampak raganya. Pelan-pelan merambat kuat pada tanah, pada batu, pada air.

Hari berganti, kaki, tangan, hati bergerak.

Pagi menjadi ruang manja, dijilat matahari pagi, disiram wangi dedaunan, bersama sisa hujan semalam, merangkum semua istirahat yang tertunda.

Selamat datang hari, tetaplah hidup dan menumbuhkan.



Bandung, 6 Oktober 2017

@Imatakubesar

#CatatanKecil

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv