Sekelumit Metamorfosa Fashion Muslim di Indonesia

Ketika saya memutuskan untuk memakai kerudung, saya hanya berfikir bahwa saya perempuan muslim dan harus memakai kerudung. Saya memutuskan menggunakan kerudung ini sejak SMA kelas 1, bisa jadi dorongan ini karena proses pembiasaan yang terjadi di lingkungan saya tumbuh. Sejak SD saya sudah aktif mengaji dan mengikuti beragam kegiatannya. Lalu masuk sekolah SMP dan SMA di sekolah swasta Islam. Di sekolah PGII 1 itu ada kewajiban memakai kerudung, meskipun rok masih sebatas lutut karena aturan pemerintah yang menyeragamkan baju sekolah dibawah lutut. Bahkan tahun 1991-1996 itu, untuk foto ijazah harus buka kerudung dengan alasan harus kelihatan telinga. Untuk istilah kerudung ini, kita mengenalnya dengan sebutan jilbab. 



                            
Jaman itu, perempuan-perempuan yang berani memakai kerudung masih langka. Kebijakan sekolah negeri maupun perusahaan yang melarang eksistensi perempuan berkerudung masuk ke dunia bekerja maupun sekolah. Entahlah, alasan tepatnya. Waktu saya SMA, pernah dengar ada murid perempuan yang harus melepas kerudungnya saat di sekolah. Kalau tidak mau lepas akan dikeluarkan. Banyak perempuan-perempuan muslim yang menunda penggunaan kerudungnya karena banyak perusahaan yang menolak pekerja perempuan berkerudung karena dianggap kurang prestise. Selain itu, di lingkungan keluarga pun, para orang tuanya khawatir anak perempuannya tidak dapat jodoh. Itu yang terjadi pada tahun 1990-an.

Saat saya berada di lingkungan SMA, berkerudung menjadi satu bagian hidup. Saat itu saya cukup tomboy, ketika ada acara di sekolah, pakaian saya seputar jeans, kemeja dan kaos. Kadang di padukan dengan jaket jeans atau jaket corduroy. Di lingkungan SMA, apapun bentuk padu padan pakaian kita tak menjadi masalah. Ekspresi kita pun tak terbatas. Maksudnya, kemampuan kami tetap terolah dengan ikut berbagai ekskul, mengikuti perkembangan film, musik. Semua baik-baik saja.

Tapi begitu masuk ke lingkungan yang lebih beragam, terutama ketika saya masuk kuliah. Beberapa orang merasa heran dengan cara saya berpakaian. Meskipun memakai kerudung, tapi paduan baju saya memakai jeans, kaos, dilapis kemeja flannel kotak-kotak, tas ransel (yang itu-itu aja), sepatu keteplek, kadang alas kaki memakai sandal gunung (ini pernah ditegur sama dosen). Dalam berpakaian, saya banyak terpengaruh oleh kakak-kakak laki-laki saya. Agak sulit menggunakan baju yang berkesan feminine. Saya merasa tidak nyaman dan jadinya tidak percaya diri. 





Rasa heran yang ditunjukan oleh lingkungan beragam juga ketika saya ternyata suka teater dan saat itu cukup aktif. Saya sendiri tidak merasa membatasi diri karena saya berkerudung. Saya merasa baik-baik saja, tak ada yang salah. Saat itu saya fikir seni persoalan kreatifitas, pasti selalu ada solusi dalam mengakali kebutuhan panggung. Tapi, beberapa lingkungan mempunyai penilaian dan anggapan berbeda, alasannya sederhana: seni itu bebas jadi kalau berkerudung segala ekspresi/gerak kita akan terbatasi. Saya fikir, ketika saya berkerudung saat itu saya merasa bebas. Lha, gak nyambung kan. Jadi biarkan saja, tiap orang punya pengetahuan dan keyakinan yang berbeda-beda. Lama-lama saya mulai mengerti, ada anggapan berbeda tentang perempuan yang sudah memutuskan memakai kerudung. Tapi saya punya anggapan lain, bahwa kerudung tidak menjadi halangan untuk berekspresi. Kami sama-sama punya otak dan jiwa.

Bedanya, saya berkerudung dan mereka tidak, persoalan hati dan pikiran, hanya Allah yang paling tahu jiwa yang tersembunyi. Saya tidak berhak menilai seseorang dari tampilannya, malah kadang, saya suka lupa kalau saya berkerudung. Tapi memang, saat itu perempuan yang berkerudung itu masih sangat jarang dan “tuntutan”/anggapan orang-orang pada perempuan berkerudung adalah perempuan baik-baik, lembut, calon ibu, istri yang soleh (saya aminkan saja, meski masih jauh dari benar dan suka galau ala remaja saat itu).

Tentang baju, sewaktu kuliah, saya senang sekali memakai celana jeans, kaos yang dilapis dengan kemeja kotak-kotak. Hehe… Baju flannel kotak-kotak saya banyak, ada yang warna coklat, biru, kuning. Suami saya (dulu masih teman baik, hehehe… intermezzo) kalau cerita tentang gaya pakaian saya dulu, dia sampai ingat semua jenis kemeja kotak-kotak. Kebetulan gaya pakaian saya dengan kakak perempuan saya nyaris sama. Kadang kalau tak ada kuliah, saya datang ke dapur teater pakai sandal swallow. Paling rapi saya pake celana jeans, t-shirt dan cardigan. Teman perempuan saya bilang, katanya saya paling pinter padu padan baju buat kuliah padahal bajunya itu-itu aja. Tadinya saya tidak ambil pusing, karena saya kalau udah suka satu baju, bisa dipakai berkali-kali sampai tidak layak pakai lagi. Pantaslah saat itu saya bukan mahasiswi yang kurang banyak “peminat” karena cuek sekali. (Hahaaa… )

Beda keadaan begitu masuk tahun 2005-2010, perempuan-perempuan berkerudung bertambah banyak. Perusahaan tidak antipati lagi pada pekerja perempun berkerudung. Semakin banyak perempuan berkerudung yang menggisi segala ruang-ruang kreatifitas, berani berekspresi dan menunjukan kemampuannya di berbagai bidang. Bergerak dengan keadaan itu, bermunculan pula perancang yang mengkhususkan diri mendesain baju muslim. Seperti metamorfosa perancang senior Itang Yunaz dan hadir beberapa merk yang mengkhususkan diri di baju muslim. Kondisi ini memancing dan bertumbuhan tren pakaian muslim untuk memenuhi kebutuhan dan menciptakan gaya hidup perempuan muslim, yaitu berhijab dengan berbagai model dan kebutuhan.

2 tahun lalu, sekitar tahun 2014, saya datang ke acara Jakarta Fashion Week. Saya terperanggah dengan booth-booth pakaian muslim yang sangat menarik, banyak sekali, desain yang beragam dan unik sekali. Saya merasa bahwa Indonesia ini patut diacungkan jempol karena keberanian dalam menciptakan karya desain pakaian muslim yang indah-indah. Ini artinya, disetiap adanya aturan yang membatasi disitulah ada kebebasan lain yang meluaskan kretifitas kita dalam berkarya.

Kini, saat saya harus bertemu, berkumpul dengan keluarga maupun teman-teman. Mereka yang menggunakan kerudung bukan sesuatu yang asing lagi atau merasa rikuh/terheran-heran pada pakaian yang kita gunakan. Model baju muslim semakin banyak dan beragam jenisnya memenuhi kebutuhan masing-masing pengguna sesuai aktifitasnya. Saya sendiri sekarang semakin nyaman dengan pakaian atasan sepanjang lutut atau sepertiga kaki. Biasanya saya selalu memilih warna-warna aman, seperti hitam, putih, abu-abu, coklat. Semua warna ini bisa dipadukan dengan jeans, celana warna coklat dan hitam.

Perkembangan fashion muslim yang dinamis ini membuat kita sama-sama belajar dan bijak dalam menilai seseorang dari pakaiannya. Pemilihan pakaian yang tepat dan sesuai kepribadian, membuat kita nyaman dan berpengaruh banyak saat harus berhadapan dengan orang-orang.

Bandung, 25 November 2016
@imatakubesar

4 komentar:

  1. Aku teman baik itu hehehe

    BalasHapus
  2. Aku ngalamin, Mak, foto ijazah harus kelihatan kupingnya kwkwkw. Tapi kuingat ingat waktu SD itu kerna aku enggak berkerudung. Jadi dibilangin harus kelihatan kupingnya, biar sah. Entah bagaimana setelah SMA dan berkerudung pun aku merasa kudu kelihatan telinganya. Sudah jd mindset apa ya. Bahkan KTP pertamaku pun begitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eum, seingat ima, itu aturan dari pemerintah. Bahkan tahun 1995, perempuan yang naik haji, foto di passport rambut tetap harus kelihatan. Jadi kami harus buka kerudung untuk kebutuhan ijazah, passport, dll. Ajaib ya?

      Hapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv