Setiap orang memiliki standar hidup yang membuat dirinya
senang, nyaman dan merasa berkecukupan. Tapi
apa yang terjadi ketika kita harus
berhadapan dengan sebuah institusi yang memang mengharuskan kita mengeluarkan
uang yang tidak sedikit. Setiap orang
merasa berhak dan membutuhkan sebuah pendidikan, tapi pada akhirnya harus mampu
menahan diri karena harga pendidikan yang semakin menjulang. Lalu ketika kita sakit dan harus menghadapi
perawatan, kita harus dengan rela menahan rasa sakit dan pelayanan kelas
tiga.
Harga sebuah kemiskinan adalah kematian. Kalimat yang seolah sederhana namun menyeramkan. Tapi kenyataan seperti itu yang sering
terjadi di tengah-tengah kita.
Hari ini aku, kami kehilangan calon bayi yang baru berusia 3
minggu. Saat pertama kali tes, ternyata
hasilnya positif. Anak kami akan
memiliki seorang adik, entah perempuan atau laki-laki yang jelas kami telah
menyiapkan sebuah nama. Lamaya, nama
sorang pembuat buku Atlas Islam. Lalu
sayapun memerikasakan diri ke dokter sebagai upaya preventif agar kondisi
kesehatan bisa terjaga. Aku pulang
dengan senyum dan ajaibnya badanku bugar, tidak seperti waktu kehamilan anak
pertama.
Karena kondisi badan yang segar, aku tidak mengukur
diri. Berhari-hari semua pekerjaan rumah
dilakukan sendiri, seperti nyapu, ngepel, nyetrika, masak, gosok wc,
jalan-jalan bareng dan lain-lain. Aku
menikmatinya, sangat. Hingga suatu
subuh, perut terasa melilit tapi tak dihiraukan. Bisa jadi karena biasa mengalami rasa sakit
jadi tidak terlalu dianggap penting. Aktifitas
pagipun bisa dilakukan, seperti memasak, menyapu, ngelap meja, gendong dan
mandikan anak. Tak lama setelah suami
pergi mengajar, tiba-tiba keluar darah dan tidak sedikit, begitupun
siangnya. Akupun segera tidur,
meluruskan tubuh dan tertidur sambil menyusui anak. Ketika bangun, rupanya pendarahan semakin
banyak dan kembali keluar bersamaan dengan air seni. Aku segera menghubungi dokter, dia bilang
nanti malam segera datang ke tempat prakteknya dan kalau kantung janinya masih
bagus akan dipertahankan tapi jika sebaliknya harus segera di kiret
(dibersihkan). Pembersihan ini dilakukan
agar tidak terjadi pengaratan dan infeksi dalam.
Setelah magrib kami pergi ke tempat praktek dokter, ternyata
hasil USG terlihat janinya sudah rusak dan harus segera di kiret. Malam itu, hujan, saya, suami diajak memakai
mobil dokter bersama ke rumah sakit. Selama
perjalanan, dokter mengatakan bahwa aku akan diberi harga khusus. Pembersihan, obat, biaya rumah sakit
diusahakan mendapat harga yang minimal.
Tak ada pilihan lain, mau tidak mau aku harus pinjam uang ke kakak
karena uang yang diberi ibuku tidak pula mencukupi. Aku segera melupakan rasa malu dan hanya satu
yang aku fikirkan, aku harus melewatinya sekalipun dengan rasa malu. Proses pembersihan tidak lebih dari 5 menit,
semua berlangsung begitu cepat.
Kebahagiaan dan kesedihan begitu cepat berganti, janin berwarna
kehitaman itu kini telah beralih di ember kecil. Terbang menuju langit ke tujuh
bersama burung-burung yang cantik di pagi harinya, pergi merenggut sebagian
jiwaku.
Calon anak keduaku tidak bertahan, adalah sebuah keajaiban
pula dia bisa bertahan selama 2 minggu dengan kondisi rahim yang tidak kuat. Ibuku menyarankan agar tidur satu malam saja
di rumah sakit, aku menerima sarannya.
Tidur satu malam saja di hotel rumah sakit kelas tiga. Hanya untuk tidur dan sekedar melepas sedikit
rasa lelah dan penat. Akupun dibawa ke
ruangan, tak lama beberapa suster yang lain datang. Mereka mengatakan, bahwa
aku diberi harga khusus dan dokter bilang aku sudah boleh pulang malam itu
juga, jadi sebaiknya aku tidak bilang ke dokter kalau aku menginap di rumah
sakit. Secara halus seolah-oalah
sebaiknya aku pulang jam 06.00 pagi. Aku
cukup mengerti arah pembicaraan ini, mereka khawatir aku bertemu dengan dokter
dipagi harinya karena tugas kontrol ke pasien-pasien lain. Bagiku ini terdengar seperti sebuah bentuk
nego dan pengusiran yang halus. Katanya
lagi, kalau bilang ke dokter, nanti dianggapnya aku mempunyai uang dan harus menambah
Rp. 500.000 sebagai biaya kontrol bagi dokter.
“Memang mau gitu nambah segitu?” Ucapnya setengah mengancam, bagi
pandanganku yang setengah sadar dari hasil bius. Aku tidak mau mengambil pusing, aku langsung
setuju dengan nego meraka yang berkesan menekan namun pembawaanya sangatlah
halus. Jika memang demikian, aku ingin
tahu apakah paginya akan mendapatkan sarapan pagi.
Malam kian larut, aku tidak dapat tidur. Entah karena obat entah karena amnesia. Akhirnya akupun membaca buku antologi Story
Cake For Ramadhan yang sengaja dibekal.
Ternyata buku ini bisa membangun imajinasi, membawa perasaanku kembali
adem dan tertawa geli.
Pagi hari, disela kemalasan, aku akhirnya berbenah
menyiapkan diri untuk pulang. Aku
kembali bertanya, apakah akan diberi sarapan.
Hmmm… benar dugaanku, tak ada sarapan pagi, tak ada sabun, tak ada sikat
gigi maupun pasta yang biasa mereka siapkan untuk pasien rumah sakit. Jangan-jangan di rumah sakit itu tidak
tertulis namaku sebagai pasien rawat inap. Di dapur maupun kebutuhan lainnya.
Aku memutuskan untuk segera berbenah diri dan pulang. Aku tidak ingin kembali ke rumah sakit
itu. Ada sisa luka yang terlalu dalam,
kehilangan dan kesakitan. Di halaman rumah
sakit, langit bitu begitu ramah, pepohonan menyambut dengan derai tawa yang
sejuk, kamipun memutuskan berjalan sebentar.
Menikmati tanah dan udara pagi.
Kembali merenungi sikap para suster, harga sebuah kematian, kehilangan,
kesehatan yang begitu mahal.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan komentar Anda. adv