Hidup ikut merasa tumbuh, stagnan, apatis atau mati
bersamaan dengan luka di masa lalu yang kerap mengiringinya. Hidup selalu bertemu dengan pertemuan, dan
pertemuan selalu memicu benturan seseorang dengan seseorang yang lain. Ada dua
pilihan, membiarkan luka rusak sampai berkembang biak atau segera diobati
bahkan sampai bekas lukapun ikut terkikis.
Sayangnya kebanyakan kita, lebih memilih memelihara luka dan menanam
menjadi sejarah abadi, bahkan menularkan rasa luka ini pada orang-orang
terdekat agar merekapun turut membenci seseorang yang pernah melukainya. Sebuah persoalan yang tidak akan pernah
berhenti dan bahkan bisa menimbukan rasa benci yang berlapis-lapis menjadi
alasan untuk tak ada kata maaf dalam hidupnya.
Lalu bagaimana dengan proses Ramadhan sebagai bulan terapi
hati, intropeksi diri, dan proses-proses lain yang mestinya mampu merekonstruksi
hati yang sudah sedemikian dangkal?
Masing-masing dikembalikan pada diri sendiri, apakah mampu untuk memaafkan,
berdamai dengan masa lalu dan memulai hubungan baik dengan proses hidup yang
lebih baik. Seandainya kita mampu
seperti itu, idul fitri tentunya menjadi ajang panen dan memperkuat hubungan
sosial, tidak hanya memperbaiki persoalan keimanan pada Allah tapi juga
perbaikan hubungan pada sesama manusia.
Idul fitri menjadi rutinitas mudik, rutinitas berkumpul, sebuah
proses pertemuan dengan sanak saudara, tetangga, sahabat, teman kerja dan
banyak lagi. Bahkan ada yang memilih untuk saling berkunjung di momen idul
fitri, padahal kesempatan untuk bertemu dan berkunjung sebetulnya bisa
dilakukannya kapan saja. Mau tidak mau,
pada akhirnya semua orang harus melewati proses bersalaman, pelukan, ucapan
saling memohon minta maaf dengan orang yang bermasalah maupun yang baik-baik
saja. Sebetulnya, ini adalah momen yang
tepat untuk menjalin komunikasi lebih baik, proses bersalaman, memberanikan
dengan mengungkapkan kata maaf sebuah cara untuk membangun kembali komunikasi
seseorang. Bisa jadi proses ini bagian
dari melembutkan hati, memberanikan diri dan menghalau rasa gengsi, rasa malu,
rasa bersalah, mengakui proses dan prestasi seseorang, menerima dan muncul
sedikit demi sedikit rasa menghormati diri apa adanya dan saling memaafkan
dengan tulus.
Pada kenyataannya dalam banyak kasus, seringkali memori rasa
sakit hati lebih menguasai diri. Sehingga
membukakan telapak tanganpun terasa kaku, berusaha tidak kontak mata, dan
berusaha mencari aman dengan orang lain yang tidak bermasalah. Salaman, kata-kata maaf seolah menjadi ritual
tahunan. Sering kali, ketika ada
stimulus yang membuka ingatan masa lalu, membuat seseorang kembali membuka luka
lama, menimbulkan masalah baru dan muncul beragam masalah yang berlipat-lipat.
Pada akhirnya, bagi sebagian orang yang tidak “mampu”, momen
idul fitri hanya sebagai rutinitas dan ajang basa basi agar bisa berkumpul
secara fisik saja. Kalau tidak menjadi
basa basi, tentunya akan ada perubahan karakter dan pembawaan yang lebih baik
antara beberapa pihak yang dianggap bermasalah dan berbenturan hati. Bila saja suatu waktu terjadi satu gesekan
kecil, akan menimbulkan luka-luka lama diungkapkan dengan gamblangnya.
Rupanya proses memafkan dan dimaafkan tidak sesederhana
susunan katanya. Perlu perjuangan untuk menyatu dan bersahabat dengan
kata maaf.
ramadhan ini sebagai bulan perenungan hati bagiku refleksi diri,,semoga lebih berarti...
BalasHapus