Ruang Hening








Sabtu sore ini menjadi ruang hening yang berharga. Ditemani segelas kopi Vietnam drip dan sepotong bolu marmer. Di halaman rumah anak-anak muda berlatih teater, di bawah rimbun pepohonan, langit sendu sedikit gerimis. Lagu Yesterday nya The Beatles jadi tidak terlalu menyayat hati lagi, ya, hari kemarin tidak lagi dirindukan. Saat ini, hari ini memberi ketentraman tersendiri disebabkan hiruk pikuk hari-hari lalu penuh gelombang. Rasa tentram yang dilalui proses “mahal”.

Saat ini saya rindu Holis. Padahal baru beberapa jam lalu dia pergi ke Galeri Pusat Kebudayaan YPK untuk menghadiri pembukaan pameran Marakayangan Drawing. Saya tidak ikut karena Amih tidak ada yang menemani. Biasanya kalau saya harus pergi, kakak saya-Teh Ida-akan menemani Amih di rumah. Tapi hari ini Teh Ida cukup sibuk karena ada 2 orang yang pesan nasi tumpeng, saya fikir dia pasti lelah. Jadi saya memutuskan tidak ikut Holis untuk menemani Amih dan anak-anak.

Lagi pula seminggu kemarin, tiap hari keluar rumah mengikuti proses magang di Rumah Belajar Semi Palar. Bahkan Jumat sore kami kedatangan pasangan #duoraji Kak Wawa dan Kak Satto dari Tangerang bersilaturahmi ke rumah lalu mereka mengajak kami makan malam di luar. Sebetulnya selain makan, lebih banyak menghabiskan waktu dengan diskusi, ngobrol sampai lupa nyeruput segelas kopi.

Obrolan bergulir banyak sekali, terutama proses mereka mengelola komunitas Blogger Crony. Bagaimana kaitan proses hidup yang terjadi sebetulnya dipersiapkan untuk pilihan hidup dia hari ini atau bahkan lebih banyak hidup yang memilihnya.

“Sebetulnya apa yang kita lakukan saat saya jadi jurnalis, EO dan sebagainya menjadi bekal apa yang saya lakukan dalam mengelola komunitas ini. Banyak sekali manfaatnya. Saya selalu percaya, apapun yang kita kerjakan hari ini sudah dipersiapkan di masa lalu.” Ungkap teman.

Saya juga cerita banyak tentang dapat kesempatan magang di Rumah Belajar Semi Palar. Hal yang menakjuban justru karena kesempatan itu hadir di usia saya saat ini. Di tengah persyaratan umum di tengah penerimaan pegawai, usia sering menjadi batasan.

Itulah sebabnya bertahan menikmati menulis dan menggambar sebagai proses memelihara diri. Kedua aktifitas ini tidak mengenal batasan usia, saya menikmatinya. Situasi yang kerap patah tumbuh ini saya serahkan pada semesta, saya fikir selama kita masih dikasih kesempatan hidup ya artinya terus belajar dan mengasah diri berapapun usia kita.

Kejutan lain, proses itu ternyata membuat saya dapat kesempatan ikut pameran Bandung Artist's Book. Saya ikut open call pameran ini karena konsepnya menarik, media yang dipamerkan berupa buku yang berisi berbagai coretan, doodle, permainan kata-kata dan konsep berkarya dari seniman itu sendiri. Kebetulan konsep pameran yang ditawarkan ini sesuai dengan aktifitas yang saya “buat” selama ini. Projek bahagia untuk diri sendiri. Buku ini saya beri judul Jurnal Healing Ima: See. Hear. Feel. Isinya proses latihan menggambar zenart/zentangle atau sekilas orang-orang menyebutnya doodle.

Lagi-lagi, buat saya ini pameran pertama di usia saat ini dan proses panjang menemukan diri di tengah gegap gempita dunia seni rupa. Sangat mungkin akan muncul berbagai persepsi dan berbagai pendapat karena saya bukan seniman spesifik. Saya hanya menjalankan kesempatan untuk memelihara tubuh dan jiwa dengan memilih menulis dan menggambar. Buat saya, proses ini bagian dari penemuan diri dan memberi kesempatan untuk mencintai diri sendiri.

Saya tidak tahu akan tidak mudah atau mungkin akan sangat mudah menghadapinya. Saya yang sekarang rasanya lebih baik-baik saja merespons apapun itu tanpa merasa terbebani. Karena sadar bahwa proses menulis dan proses menggambar ini membuat saya bahagia.

Hal ini disadari ketika banyak hal terjadi hingga satu titik bersetuju untuk berhenti berharap orang lain memberi kebahagiaan, memberi penghargaan dan menaruh perhatian. Diri sendirilah yang membuka kesepatan itu. Merasa cukup dan terus berlaku tanpa menaruh banyak harap. Berapapun besar kesempatan yang ada, kalau kamu tidak percaya pada kemampuan diri dan Pemilik Diri, kita hanya tubuh yang stagnan dan jiwa yang lelah.

Ketentraman yang diberikan segelas kopi Sunda Hejo sore ini, menjadi gambaran panjang proses hidup. Rasa pahit yang dihadirkan kopi membuat segar dan bersemangat. Begitupun hidup, seringkali proses pahit yang dijalani dimasa lalu menjadi energi dan bekal untuk menghadapi hidup saat ini.

1 komentar:

  1. Selalu ada waktunya...apalagi waktu terbaik versiNYA, kita mahh apahhh...cuma bs bersabar menjalani dan menerima. Deep bgt as always teh Ima ... semoga bs jumpa lg.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv