Kilas Balik Operasi Otak Menggunakan Fasilitas BPJS di RSCM



Saya dan suami pengguna BPJS sejak tahun 2015. Semua bermula dari “Minhaisu layahtahsib,” artinya rezeki datang dari arah yang tidak terduga-duga. Semua proses pertemuan dengan BPJS menjadi salah satu ruang hidup tersendiri. BPJS menjadi salah satu jalan upaya jalan pengobatan yang dilakukan oleh kami untuk mengatasi penyakit suami saya.



Kesannya dramatis banget, ya. Kenyataannya begitu. Benar-benar memompa perasaan atas keadaan yang luar biasa. Saya kadang-kadang suka heran sendiri sama kejadian-kejadian yang sudah dilewati. Dipertemukan dengan berbagai situasi, membuat saya semakin yakin, kalau setiap orang diberi masalah memang sesuai kadarnya. Ini sesuai dengan potongan kalimat Quran surat Al-Baqarah di ayat terakhir (ayat 286),”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya...” dan seterusnya



2015

Februari pagi tahun 2015. Pertemuan hari itu pun diputuskan, saya seperti biasa diskusi dengan Teh Nisa (kakak suami) dan Wa Alwis (suami Teh Nisa) untuk datang ke dokter bedah syaraf di Rumah Sakit Eka Hospital. Kenapa sampai di rumah sakit ini, karena sebelumnya suami saya kena kejang lagi dan harus dibawa ke Rumah Sakit Eka Hospital lalu rawat inap beberapa hari. Dokter syaraf yang merawat suami saya menyarankan untuk menemui dokter bedah. Dokter syaraf tersebut menyarankan untuk bertemu dengan dokter bedah syaraf yang bernama DR. Dr. Setyo Widi Nugroho Sp. BS (K). Karena solusi dengan medis tidak ada pengobatan lain selain bedah otak.

Dengan berbagai pertimbangan, kami pun memutuskan untuk bertemu dengan dokter bedah syaraf. Entah nanti akan memutuskan apa, yang jelas kami dengarkan dulu penjelasannya seperti apa. Meski pada akhirnya kami tahu, solusi yang ditawarkan dokter bedah, ya pasti bedah.

Kilas balik ke tahun 2014 awal saat suami saya kena kejang hebat sampai koma. Saat itu terjadi di Bandung lalu dibawa ke Rumah Sakit Dadali selama 3 hari. Saat itu suara suami saya hilang dan tidak bisa jalan. Karena di rumah sakit Dadali tidak ada alat MRI kepala, jadi suami saya dirujuk ke Rumah Sakit Borromeus. Disana, suami saya dirawat oleh dokter syaraf dr. Chandra dan dokter bedah syarafnya yaitu Dr. Pieter.

Disana suami saya langsung rawat inap, tes MRI Kepala, dirawat sambil menunggu hasil MRI kepala. Dirawat kurang lebih 9 hari di Borromeus, sampai akhirnya kedua dokter tersebut memutuskan untuk melakukan biopsi. Mengambil sample “bendanya” untuk dipastikan jenis penyakitnya apa (uji lab patologi). Karena hasil MRI itu meskipun lebih detil dari CT Scan, tetap harus dibuktikan dengan mengambil sample jaringan. Sehingga menjadi lebih pasti pengobatan dan perawatannya seperti apa.

Indiskasi hasil MRI kepala ada benda/benjolan di permukaan otak bernama High Grade Glioma, tapi belum boleh diobati sampai dipastikan dengan diambil jaringan untuk menentukan pengobatannya seperti apa.

Karena keluarga besar dan (pastinya) suami saya tidak mau di operasi, jadi kami keluar rumah sakit dan membawa suami ke BSD. Disana kami tinggal bersama di rumah Teh Nisa dan Wa Alwis, karena kondisi suami tidak memungkinkan tinggal di rumah Bandung karena cuaca dingin. Jadi kami diberi surat pengantar untuk bertemu Dr. Setyo Widi di Eka Hospital oleh Dr. Pieter. Meski tidak ada niatan bedah otak surat itu saya simpan dengan hati-hati, firasat saya mengatakan surat itu harus disimpan.

Jadi yang kami lakukan selama di BSD selain melakukan pengobatan alternatif seperti mengonsumsi herbal dan akupunktur, saya dan kakak mencari tempat pengobatan alternatif medis. Sayangnya hasil pencarian sana sini semua pengobatan medis semua solusinya bedah. 


Nah, begitulah, keadaan yang pada akhirnya kami memang harus bertemu dengan Dr. Setyo Widi dengan kondisi fisik suami lebih baik dari sejak keluar dari RS Borromeus. Ketika keluar dari Borromeus awal tahun 2014 (Maret), kondisi fisik suami saya lemah. Sensitif terhadap suara, obrolan, tidak bisa bertemu dengan banyak orang. Lalu berobat herbal di Jakarta, rutin minum herbal yang membuat fisik suami saya lebih baik setiap harinya sampai hampir 5 bulan. Dari tak ada suara jadi bersuara, dari tidak bisa jalan jadi bisa jalan cepat. Ditambah kemudian sejak bulan September 2014, suami saya lanjut diakupuntur di Depok, kondisi fisiknya semakin lebih baik dan kokoh. Meski, ya, benda dan potensi kejang itu masih ada.

Begitu bertemu,rupanya Dr. Setyo Widi memberi alternatif cara bedah yang lebih aman/tidak beresiko terhadap sistem syaraf tubuh. Namanya Awake Craniotomy. Bedah otak dalam keadaan bangun. Syarat untuk melakukan bedah syaraf dengan metode ini adalah:

1. Bendanya di permukaan otak dan tidak terlalu dalam.

2. Fungsi fisiknya dalam keadaan baik/tidak ada gangguan.

3. Pasien bersedia melakuan operasi ini.



Perhitungan Allah Maha Tepat, Allah membuat skenario agar suami melakukan pengobatan herbal dulu dan akupunktur selama setahun. Begitu fungsi fisik normal kembali dan siap menjalani operasi ada kejadian suami kejang lagi dan akhirnya bertemu dengan Dr. Setyo Widi. Jadi pertemuan ini benar-benar tidak disengaja, saya masih menyimpan surat pengantar dari Dr. Pieter yang disimpan hampir setahun.



Punya BPJS?

Tanya Dr. Setyo Widi.

Saya jawab tidak punya.

Saya jadi ingat awal-awal suami saya sakit di akhir tahun 2013 (September dan Desember 2013), keponakan saya-Medina- menyarankan saya sekeluarga punya BPJS. Tapi saat itu saya bingung, untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja pas pas-an. Selain itu, saya tidak bisa pergi kemana-mana karena suami saya tidak bisa ditinggal saya dengan kondisi tubuhnya yang kerap diserang kejang.

Dr. Setyo Widi bilang kalau operasi di Eka Hospital harus mengeluarkan dana sekitar 90 juta, hanya untuk operasi saja, belum perawatan selanjutnya. Dalam bayangan saya, berarti harus pegang uang sekitar 150 juta. Untuk operasi dan biasaya operasional saya sehari-hari.

Tapi-lanjutnya- proses operasi bisa ditanggung seluruhnya jika suami saya operasi di RSCM dengan menggunakan BPJS. Lagipula tanggal 24 Maret 2015 akan ada dokter tamu dari Amerika, dia adalah dokter ahli syaraf otak yang akan memperlihatkan berbagai syaraf yang ada di otak. Semua persyaratan ada di tubuh suami saya. “Benda” yang ada di kepala kecil dan posisinya dipermukaan syaraf, seluruh anggota tubuh suami saya masih berfungsi normal, mulai dari penglihatan hingga kesadaran.

Ini benar-benar jalan dari Allah SWT.

Dokter menyarankan saya membuat BPJS, lalu minta surat rujukan ke feskes 1 (rumah sakit di Bandung), kemudian melakukan pendaftaran ke RSCM.

Kalau suami saya bersedia, dia bisa operasi tanggal 24 Maret tersebut.

Sebuah jalan dari Allah terbuka begitu rapi.

Saat itu, persediaan uang sedang menipis. Ada jalan operasi dengan menggunakan BPJS di RSCM dengan dokter ahli dari Amerika dengan teknis operasi Awake Craniotomy dari penemunya langsung.

Ini skenario Allah yang Maha Detil. Sangat rapi.

Setelah diskusi dengan Teh Nisa dan suami, suami saya bersedia dan siap di oprasi. Saya pun segera membuat BPJS, daftar BPJS Online, lalu transfer dan hanya 24 jam fungsi BPJS sudah aktif dan bisa digunakan. Ini terjadi tahun 2015, ya. Sekarang kebijakannya BPJS tidak tahu.

Saat itu, mengingat saya butuh dana operasional buat bulak balik BSD-Bandung dan bolak balik BSD-Jakarta, saya pun segera menghubungi Teh Bibo untuk menjual sawah peninggalan Bapak. Dengan izin Allah, rupanya Teh Bibo baru saja menerima uang kontrakan dan mau membeli sawah saya. Hari itu juga Teh Bibo transfer, lalu saya pun menggunakan uang itu untuk pergi ke RSCM. Survey lokasi dan teknis pendaftaran bagi pasien BPJS.

Setelah beres membuat BPJS, saya pun segera pulang ke Bandung, untuk mengurus surat rujukan di feskes pertama di RS Salamun (Ciumbuleuit Bandung) dan berbagai surat-surat penting. Setelah dapat surat rujukan dari RS Salamun, saya pun kembali ke BSD dan mulai lanjut mengurus pendaftaran di RSCM.



Cara Dapat Surat Rujukan BPJS Dari Feskes 1 dan Feskes 2

Saat itu suami saya posisinya di BSD, sementara saya harus minta surat rujukan dari Feskes 1 (fasilitas kesehatan). Kebetulan Feskes 1 kami dapat di Rumah Sakit Salamun. Akhirnya yang saya lakukan adalah memberikan surat pengantar dari Dr. Setyo Widi bahwa suami saya akan melakukan operasi di RSCM dan tidak bisa datang ke Bandung (Feskes 1) karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Saat itu saya harus ke puskesmas dulu, lalu lanjut ke RS Salamun mewakili suami. Sambil membawa surat pengantar, saya bicara langsung dengan dokter dan memperlihatkan hasil MRI dan surat pengantar dari dokter yang akan mengoperasi suami. Akhirnya surat rujukan pun keluar karena keadaan suami yang tidak memungkinkan datang ke Feskes 1.



Unak Anik Pendaftaran di RSCM Menggunakan BPJS

Petualangan selanjutnya berlangsung di RSCM. Sebelum membawa suami ke RSCM, saya mencari berbagai informasi pendaftaran menggunakan BPJS agar tidak mengurangi energi suami. Kebetulan ada Commuterline yang bisa digunakan dari Stasiun Rawa Buntu (Tangerang Selatan) menuju Stasiun Cikini. Dari Stasiun Cikini saya lanjut menggunakan ojek menuju RSCM, hanya menempuh 5 menit perjalanan. Kadang-kadang, saya ajak Aden ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengalaman naik Commuterline.

Dari sana saya tahu, harus antri jam pagi hari, sekitar jam 07.00 WIB harus sudah antri dan mengambil nomor antrian. Karena pendaftaran klinik hanya sampai jam 13.00 WIB. Itu artinya, maksimal jam 11.00 WIB harus sudah dipanggil oleh bagian loket BPJS. Pernah saya datang jam 09.00 WIB dan mendapat nomor antrian 600-an. Itu bisa jadi dipanggil oleh bagian loket jam 12.00-an. Jadi, sehari datang ke RSCM hanya untuk satu lokasi.

Setelah ambil nomor antrian, saya biasanya cari tempat foto kopi untuk foto kopi surat rujukan, KTP, Kartu BPJS. Tempat foto kopi di RSCM ini ada 2 lokasi (saat itu tahun 2015, ya, tidak tahu sekarang). Tempat foto kopi pertama ada di gerbang depan, ada WC umum seadanya. Kemana-mana saya bawa map yang berisi semua berkas, termasuk hasil MRI, tes darah, EEG, tes Thorax dari beberapa berkas hasil lab dari rumah sakit yang pernah merawat Ayah.

Misal kamu mau kontrol ke dokter di hari pertama, yang harus dilakukan adalah ambil nomor antrian antri BPJS untuk dapat eligibilitas BPJS. Lalu masukan semua berkas ke loket poliklinik untuk mendapat nomor antrian konsultasi ke dokter. Selanjutnya jika harus tes CT Scan, kembali antri lagi untuk dapat eligibilitas BPJS, setelah dapat baru masukan berkas ke laboratorium dan lab lainnya. Kalau dulu kebijakannya, pasien BPJS dapat kesempatan 2 tempat. Misal Kontrol ke dokter dan antri lab. Tapi itu pun harus satu persatu dulu beres baru di sambungkan/didaftarkan ke poli/lab yang lain.

Kalau tidak salah ingat, untuk sampai rawat inap, pasien harus kontrol ke poli dulu bertemu dokter, lalu lanjut tes darah, ke bagian anestesi, tes denyut jantung dan EEG. Proses itu berlangsung sampai 1 mingguan. Begitu terus tiap hari. Antri bpjs, antri foto kopi, antri ke klinik atau lab, ambil hasil, lalu antri untuk mendapatkan kamar rawat inap.

RSCM ini sangat luas, pasiennya banyak dari seluruh Indonesia dirujuk kesini. Ditambah rumah sakit ini sangat luas, sehingga jarak satu lokasi ke lokasi lain sangat berjauhan. Harus rajin-rajin bertanya agar tidak nyasar.



Persyaratan BPJS

Ya, memang. Perawatan kesehatan dengan menggunakan BPJS cukup berliku dan banyak unak aniknya. Harus antri dapat eligibilitas dari BPJS dulu, baru bisa kontrol dokter atau masuk laboratorium untuk tes EEG, MRI, tes darah, Thorax, dll.

Oleh karenanya, begitu kita rawat inap, harus menyiapkan sampai kita harus mempersiapkan foto kopi persyaratan BPJS. Siapin saja banyak-banyak, ya. Diantaranya:

1. Surat pengantar Feskes 1

2. Foto kopi KTP

3. Foto kopi BPJS

4. Foto kopi Kartu keluarga (ketika harus ada tindakan operasi)

Persyaratan ini menjadi jaminan untuk mendapat eligibilitas dari BPJS untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Ketika kita dirawat dan menjalani operasi, setiap beberapa tindakan, misal tes Thorax, kita akan dimintai foto kopi persyaratan BPJS masing-masing 2 lembar. Jadi, siapkan dalam map yang rapi biar kita siap begitu diminta persyaratan.



Kunci BPJS itu Antri, Foto Kopi dan Sabar

Memang sih ribet, kita harus antri untuk dapat surat eligibilitas dari BPJS, sehingga kita harus antri dari subuh agar dapat surat eligibilitas lebih cepat. Meskipun begitu, saya sangat terbantu dengan adanya fasilitas BPJS ini. Eh, tapi makin kesini pelayanan BPJS tiap rumah sakit banyak perbaikan. Itupun yang saya jalani ketika hampir setahun bolak balik kontrol di RSCM-BSD lalu dilanjut Bandung-RSCM setiap satu bulan sekali.

Banyak perbaikan dalam proses antri mengantri di RSCM, mulai dari ambil nomor lalu dipanggil satu persatu sehingga prosesnya cukup lama. Sampai akhirnya ada sistem baru dengan antri dari subuh, lalu maju rombongan membuat proses antri jadi lebih cepat meskipun yang antri BPJS hingga mencapai 600 orang lebih karena loket BPJS cepat dan kerja pekerjanya juga efektif.

Nah, nanti saya juga akan ceritakan unak anik menjalani menjadi pendamping pasien BPJS tiap beberapa rumah sakit. Karena setiap rumah sakit mempunyai kebijakan berbeda-beda dalam memperlakukan pasien BPJS. Mulai dari sistem antri hingga kebijakan obat-obatannya.

Selama ini, saya dan keluarga cukup terbantu dengan pengobatan BPJS. Ribet, iya. Tapi kalau kita tahu prosedurnya seperti apa, ya, jalani saja dengan sabar karena paling utama yaitu tubuh kita kembali sehat.

Lalu buat kita-kita yang sehat tapi memutuskan punya BPJS dan tidak terpakai fungsinya, maka bersyukurlah, karena sakit itu tidak menyenangkan.

9 komentar:

  1. Teteh sama suami pejuang pisan :"
    Bener ya, kitanya yg kudu sabar. Sdh banyak dibantu sama bpjs, smg program kesehatan ini selalu ada utk kebaikan bersama

    BalasHapus
  2. Merinding teh memang Alloh kasih rencana yang rapi sesuai dengan waktu yang tepat ya teh :) pembukaan ayat dinarnya pun bikin aku merinding masyaAlloh akan selalu ada rezeki dari yang tidak terduga ya teh..

    BPJS memang membantu sekali tapi memang betul kuncinya sabar teh Ima karena proses antriannya juga lama sekali hal ini saya tahu dari mertua yang masih aktif pengobatan strokenya :)

    BalasHapus
  3. Ya Allah Teh... luar biasa perjuangannya... Bacanya sampai merinding. Semoga Teh Ima dan suami selalu sehat dan saling memguatkan.

    Bapak saya juga pasien BPJS Teh. 2x operasi glaukoma mata dibantu BPJS

    BalasHapus
  4. Luar biasa ya perjuangan teh Ima..dan pasti ada hikmah di balik itu semua..Allah memang maha pengasih dan maha penyayang. Mudah2an suami teh Ima sehat selalu.aamiin.

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah suami Teh Ima sekarang sdh membaik ya. Pengalaman org2 sih dulu jd member BPJS tuh saat mau operasi, gampang banget Begitu butuh lgs ikut BPJS jd membantu banget emang. Tp emxng dampaknya skrg mulai terasa BPJS defisit banyak banget, skrg makin diperketat baru bs digunakan utk operasi kalau sdh jd anggota bbrp wkt ..dan banyak aturan lainnya utk lebih menata BPJS lebih baik lagi....learning by doing..

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah, Teh. Ada jalannya.
    Baca kisah Kang Holis sama Teteh bikin terharu 😭😭😭
    Kerasa banget memang manfaat BPJS. Ngebantu kami sekeluarga juga.

    BalasHapus
  7. Duh baca ceritanya seketika aku merinding Teh
    Kagum sama perjuangan dan keinginan untuk sembuh
    Semoga sehat selalu yaa Teh

    BalasHapus
  8. subhanallah perjuangannya teh...
    aku pun merasa tertolong juga dengan BPJS, waktu itu dirawat di rumah sakit dan cuma bayar 14rb waktu balik ke rumah.

    BalasHapus
  9. Alhamdullilah ya sekarang udah ada BPJS, sehingga ada titik terang untuk pengobatan

    Walau ya cukup ribet.

    Namun semua ujian merupakan ladang amal.
    Siapa yang berjuang akan disayang olehNya, amin

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv