Mengapresiasi Pameran 60 Tahun Tisna Sanjaya

Karya Tisna Sanjaya berjudul Potret Diri Sebagai Kaum Munafik.
Foto: Ima

Hari Senin tanggal 9 Juni 2018, DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) Nurul Huda dapat undangan menghadiri acara pameran seni rupa Tisna Sanjaya di Galeri Nasional Indonesia. Pengurus DKM pun mendapat fasilitas bis untuk datang ke acara tersebut dan bersemangat untuk datang. Tak hanya pengurus masjid, beberapa warga dan saudara akhirnya bergabung satu rombongan pergi bersama-sama.

Ini momen menarik buat saya, melakukan perjalanan bersama penggiat masjid dan warga ke acara pameran seni rupa bukan ke destinasi wisata. Peserta terdiri dari 30 orang, dari anak kecil hingga dewasa. Sebuah pengalaman ‘spiritual’ yang berbeda. Mungkin ini kesempatan langka, para pengurus masjid bisa hadir di acara pameran karena Kang Tisna merupakan ketua DKM Masjid Nurul Huda. 


Foto bersama rombongan DKM Nurul Huda dan seniman lainnya.
Di Terminal Ledeng kami berkumpul, naik bis ukuran kursi 35 orang. Ada yang sudah datang dari jam 08.00 wib, jam 09.00 wib, kami sangat bersemangat berangkat ke Ibukota. Sengaja jadwal berangkat jam 09.30 meskipun acara dimulai jam 19.30 wib agar santai dan bisa mampir dulu ke Masjid Istiqlal maupun Monas. Hahahaaa... seru pisan.

Jam 13.30 WIB

Kami tiba di Masjid Istiqlal. Meskipun saya termasuk sering datang ke Jakarta, tapi kali ini beda. Kalau dulu datang ke Jakarta dengan penuh kekhawatiran karena tujuannya ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Dari setiap hari bolak balik naik commuterline dari Serpong (Rawa Buntu)-Jakarta (Cikini), seminggu sekali untuk kontrol paska operasi, hingga sebulan sekali untuk pengobatan. Ada setahun lebih kami bolak balik Serpong-Jakarta, Bandung-Jakarta, ‘piknik’ menikmati proses pengobatan disana, makan makanan sekitar rumah sakit, berjalan di lorong-lorong rumah sakit yang dinamis oleh para dokter yang sedang studi, masyarakat dari berbagai sudut kota untuk melakukan pengobatan. Ramai. Energi wajah antara optimis juga lelah berseliweran di sana. 





Saat itu, gedung-gedung yang berjajar di seputar pusat kota Jakarta yang saya lewati tampak mencekam dan hampa. Tapi perjalanan kali ini berbeda, langit, jalanan, orang-orang, bis-bis Trans Jakarta, Commuterline yang melintas, ojek onlline yang berseliweran, sampah di beberapa sudut kota, pergerakan dinamis kota, menjadi visual yang menarik. Ada kerinduan berbeda dan rasa syukur berlipat-lipat sehingga saya dan suami bisa berada di atas bis bersama-sama dengan riang gembira. Menikmati makan siang dengan nasi kotak Mak Ida di dalam bis, istirahat dan shalat di Masjid Istiqlal, tentu foto-foto di berbagai sudut.

Kurang Lebih Jam 15.00 wib

Meneruskan perjalanan ke Galeri Nasional yang lokasinya tak jauh dari Masjid Istiqlal. Hanya dalam waktu beberapa menit kami tiba di tujuan utama. Spanduk-spanduk bertuliskan Pameran Tisna Sanjaya bertajuk Potret Diri Sebagai Kaum Munafik, berjajar dari halaman depan ke belakang. Satu persatu peserta turun dari bis, jalan kaki menuju halaman gedung utama. Kang Tisna sudah menunggu di halaman gedung dan bercengkrama dengan siapapun yang ada disana.

Salah satu hal yang menyenangkan datang ke acara seperti ini, kita bisa bertemu dengan teman-teman yang sudah lama tak bertemu. Seperti Pam yang sedang mengurus acara pameran Teguh dan Windi dengan tema Visible Form of Feelings, pamerannya di gedung sayap kanan. Pam ini teman saya sewaktu kami sama-sama kerja di Tobucil (Toko Buku Kecil) semasa di Kyai Gede Utama. Jadi kejutan sekali bisa bertemu lagi di ranah seni, Jakarta pula. Tak hanya Pam, saya juga ketemu dengan Kang Adi. Kami kenal saat sama-sama naik mobil Travel ke arah BSD dari Bandung. Kebetulan satu kursi dan kami ngobrol banyak, ternyata Kang Adi ini potografer di Selasar Soenaryo dan teman saudara saya Kang Isa juga Kang Tisna. Memang kalau datang ke acara-acara seperti ini, ada saja yang kita kenal.

Di gedung sebelah kiri ada pameran Mas Azhar Horo, temanya From My Eyes. Ngobrol-ngobrol sedikit dengan perupanya, rupanya dia dari Jogja dengan berbaris prestasi di dunia seni rupa. Gambarnya unik, merespon terhadap kondisi sosial sekarang dengan tehnik pixel-pixel dengan media cat di atas kanvas. 





Ada hal yang menarik masuk ke ruang pameran di Galeri Nasional, kamu harus menyimpan tas di tempat penitipan dan tidak boleh mengambil foto dengan menggunakan blitz, dan serentet aturan lainnya.

Puas berputar-putar dan menikmati karya seni yang keren-keren, rupanya waktu masih jam 16.30 wib. Jadi beberapa dari kami memanfaatkan waktu jalan-jalan ke Stasiun Gambir, mencari sesuatu yang bisa di teguk dan di kunyah. Kebetulan lokasi stasiun Gambir ini besebrangan dengan Galeri Nasional. Di sana banyak counter makanan dan minuman, dari roti, gorenggan, baso, fast food, caffee, mini market. Pergilah kami ke sana, cukup jalan kaki naik ke jembatan penyebrangan dan foto sama-sama di atas jembatan. Menikmati kota di ketinggian dengan latar monas, rupanya asik juga (hahahhaaa...). Pokonya, seru-seruan lah.

Selepas menikmati kopi di Gambir, kami kembali ke Galeri Nasional untuk ganti baju dan shalat Magrib. Begitu mau keluar dari pintu stasiun, kami bertemu dengan seniman-seniman Bandung. Ada Kang Feri Curtis, Kang Dedi Koral, Kang Gusjur, dll. Kejutan sekali bisa bertemu mereka dan tentu membahagiakan.

Pameran Potret Diri (Sebagai Kaum Munafik) 




Suasana di halaman Galeri Nasional sudah mulai ramai, kursi-kursi ditata rapi untuk pembukaan. Angin cukup kencang dengan suhu panas lembab. Pintu kaca Galeri utama ditutup rapat, tamu-tamu yang sudah hadir duduk-duduk di kursi. Sebagian yang lain di teras-teras dan di halaman masjid.

Waktu bergerak cepat, jam 19.30 wib acara dimulai sesuai jadwal. Halaman Galeri Nasional dipenuhi oleh pencinta seni. Saya sendiri baru kali ini menghadiri pembukaan pameran dengan pengunjung sangat banyak seperti yang mau menghadiri konser musik. Energinya begitu kuat. Dari mahasiswa hingga seniman profesional duduk rapi di setiap kursi dan bata-bata disekelilingnya.

Acara dibuka oleh Dirjen Pendidikan, kurator dan pemaparan konsep karya oleh Kang Tisna. Menurutnya, karya-karyanya ini merespons keadaan sosial, agama, politik yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Banyak sekali orang yang beragama (Islam), namun seringkali tingkahlakunya tidak islami yaitu menimbulkan kekerasan, berucap kasar (menuding, mencaci, marah-marah, saling menjatuhkan, buang sampah sembarangan, dll), perpecahan antar penganut agama yang sama. 





Memegang konsep ini, kemudian saya mulai berkeliling galeri. Begitu masuk ke pintu utama, di sayap kiri mata saya di distorsi oleh aquarium berisi sampah dan lumpur dari Citarum. Mata saya terkesima dengan sampah-sampah yang bertumpuk seperti lukisan. Sampah seperti sudah menjadi bagian yang tak ada habisnya dan “menghiasi” setiap sudut keindahan kota-kota dan desa-desa.

Di sebelah kanan ada televisi yang menampilkan video proses kreatif pembuatan karya. Melalui video ini pengunjung bisa lebih memahami konsep besar dari semua karya yang dibuat. 





Begitu masuk lagi ke ruang berikutnya, ada 33 kanvas di atas sajadah merah dengan cetakan bentuk kaki, tubuh orang, kedua tangan, wajah. Karya tersebut berjudul Potret Diri Sebagai Kaum Munafik. Begini kutipan di dalam katalog pameran:

“Bagi Tisna selembar kain sajadah adalah “ruang”, sejajar dengan peristiwa ketika ia menyusuri ruang-ruang gelap pada pelat-pelat grafis etsanya. Gerakan sujud di atas sajadah maupun pelat etsa bagi Tisna memiliki makna religius (yakni sebagai doa) sekaligus estetik (sebagai seni). Sujud bagi Tisna adalah gestur dan bentuk performans untuk merendahkan diri kepada yang paling dasar, mengakui diri yang kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar. Melalui gerakan sujud, Tisna membuat citra-citra jejak tubuhnya yang mengecil , muka, tangan dan kaki terpapar di atas pelat setelah mengolesi bagian-bagian tertentu tubuhnya dengan antara lain berbagai bahan rempah (kunyit, jahe, cabai), untuk menghasilkan warna dan aroma khas tertentu. Wewangian aroma dari bahan-bahan organik itulah pengalaman estetik dan alam yang dicerapnya sehari-hari, yang menautkan kepekaan akan tubuh, rasa dan citra.” (Hendro Wiyanto, 26 Juni 2018)

Di pintu berikutnya, pengunjung dihadapkan dengan sebuah instalasi patung seorang laki-laki yang terlentang. Patung itu ditumpuk dengan bantal bantal hingga menggapai atap. Di masing-masing bantal itu bertuliskan ideologi, agama, kapital. Menariknya lagi, instalasi itu berjudul Bilal.

Saya cukup lama melihat instalasi tersebut sambil berusaha memahami maksudnya. Kalau tafsiran saya dengan “bahan baku” yang terbatas, instalasi ini tak lebih dari kondisi kita (manusia Islam) yang kerap menggunakan agama, seni, kapitalisme, politik dan berbagai faham untuk kepentingan pribadi. Seorang Bilal zaman dahulu untuk mempertahankan keyakinannya disiksa dan diuji oleh kaum Quraisy dengan tumpukan batu besar di atas tubuhnya, dan dia bertahan hingga di merdekakan oleh Abu Bakar. Bercermin pada pada kisah Bilal zaman Rasul, “Bilal” zaman sekarang ujiannya adalah di nina bobokan oleh mimpi-mimpi kapitalisme, agama, seni, politik.

Di ruang utama kita bisa menikmati layout 33 buah karya-karya etsa yang disusun memutar, di tengahnya ada sebuah instalasi ruang kaca berisi kertas-kertas dan mesin cetakan etsa. Ruang kaca itu ibarat proses otak dan hati yang melahirkan karya-karya. Sementara karya etsa yang disekelilingnya seperti bentuk praktik beragama dan berkesenian: ruang ibadah. 





Belum selesai di ruang utama, di ruang lain ada 33 cetakan etsa dan aquatint pada kertas hahnnemuehle. 33 karya itu diberi judul Dzikir. Masing-masing gambar memaparkan sebuah cerita dan situasi-situasi sosial yang hadir di lingkungan sekitar Kang Tisna.

Di ruang yang sama, ada perahu berisi lumpur yang tanami benih padi dan di ujung perahu itu ada sebuah patung Kang Tisna yang menggunakan jubah. Tangannya mengangkat ke atas sambil mengepal dan memegang kuas gambar. 





Untuk lebih bisa memahami refleksi karyanya dikaitkan dengan tingkat kepekaan Kang Tisna, kita bisa masuk ke ruang yang lain. Di ruang itu kita bisa membaca proses perjalanan hidupnya Kang Tisna sejak kuliah dan kegiatan berkeseniannya selama ini. Pengunjung seolah diajak ke dimensi masa lalu dan memahami sudut pandangnya terhadap pergerakan sosial. Melalui karya seni Kang Tisna, kita seperti diajak mencatat sejarah polemik sosial politik di negeri ini.



Kembali ke Bandung

Selesai menikmati setiap karya-karyanya, potret diri itu seperti menunjuk pada saya sebagai manusia. Seolah membangunkan diri (saya) atas ruang hidup yang seringkali dibiarkan kosong, berdebu, berkarat, diabaikan. Tentang hati yang sering mendobrak nilai kehidupan. Seharusnya manusia bisa menafsirkan 99 sifat-sifat baik Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari dan pelajaran hidup agama seharusnya mampu diaplikasikan untuk kebajikan bagi seluruh alam. Namun kenyataannya, manusia itu sendiri kerap mengabaikan, menyalahgunakan, menyalahtafsirkan demi keserakahan pribadi sehingga merusak unsur-unsur kehidupan. Bumi.

Datang ke acara pameran karya seni seringkali memberi udara segar atas diri yang kerap berhenti pada suatu titik. Sesaat saya lelah, sesaat abai, sesaat wajah menghadap Tuhan tapi hati menolak dan berlari ke tempat lain. Begitupun saat mengapresiasi pameran ini, banyak energi hidup yang berkumpul pada setiap karyanya, dia bercerita, bergerak, bercabang menuju langit dan tumbuh di tiap celah kehidupan manusia. Ada makna yang kuat di dalamnnya.

Kami pun pulang ke Bandung, dengan kepala yang penuh.


Bandung, 13 Juli 2018

Imatakubesar

11 komentar:

  1. Keren-keren karyanya ya, Teh. Ingin rasanya lihat langsung dari dekat kalau seperti ini..he
    Salam kenal ya..

    BalasHapus
  2. Keren-keren pisan karyanya teh. Perlu banget ya datang ke pameran karya Seni gini, selain nambah pengetahuan bikin hati tenang juga hehe

    BalasHapus
  3. Karyanya keren pisan ya teh, emang kalau datang ke pameran seni gini suka bikin bahagia

    BalasHapus
  4. aku suka kagum sama orang2 yang suka sama seni.
    maklum, aku mah orangnya kayak gak mudeng gitu sama sesuatu yang nyeni, apalagi lukisan2 abstrak. Duh, aku mah lieur... mending baca bukuuu... hihihih

    BalasHapus
  5. Subhanallah, makasih sharingnya Teh, selamat buat Kang Tisna semoga sehat dan sukses selalu.. Suatu kehormatan bagi saya jika kelak bisa mengadakan pameran tunggal di Galnas😊 aamiin

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah Teteh dan suami dapat kesempatan bagus ini ya, ikut seneeeeng

    BalasHapus
  7. MasyaAllah, banyak pelajaran yang bisa dipetik

    BalasHapus
  8. Teh Ima, seneng liat bisa bepergian lagi dengan Akangnya. Semoga bertambah sehat dan semangat berkarya lagi

    BalasHapus
  9. Eh baru tahu Kang Tisna pameran lagi. Aku ketinggalan :(

    Sukses buat Kang Tisna, semoga sukses terus :)

    BalasHapus
  10. Wah mantaps nih sering dengar namanya dulu, jadi pengen liat dari dekat karya-karyanya :)

    BalasHapus
  11. Seruuu jadi hiburan tersendiri ya teh, dan terutama jadi banyak merenung. Pekerja seni itu mmg kereen ❤️

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv