Sepotong Sabtu Pagi

Sabtu pagi, melukis udara pada wangi kopi.  Sekantung bekal, buku catatan, gadget, kopi hangat yang dimasukan ke dalam botol, air mineral, beberapa lembar foto kopi surat pengantar dan kartu jaminan kesehatan.  Totte bag mengangkut semua itu menuju tempat yang menjadi akrab bebeberapa bulan ini.  




Sementara dua bocah di rumah, tengah bermain di tenda mainannya.  Tawa dan manja ingin ini itu.  

Sabtu pagi, jalan cukup lancar tapi tidak jalur menuju pegunungan, padat dan penuh wangi asap mesin.  Setiap akhir minggu seperti tak ada lelah, atau mungkin meredakan lelah.  

Mobil kuning muda dengan supir yang tak menutupi luka dibalik wajah kusamnya.  Kami duduk di muka, bukan delman.  Tapi angkot dengan knalpot dan suara mesin berdengung kencang.  Aku mengantuk.  Mungkin belum minum kopi. 

Bandung, udara yang sama, pepohonan lebat disepanjang jalanan memainkan matahari.  Para pekerja jalanan memainkan asap rokok, lalu menghantam tanah dengan sekop dan cangkul.  Kulit-kulit terbakar, mata-mata tajam, wangi selokan membius waktu pada masa kecil bersama Abah, kakek kami pecinta cucu juga pedagang bako menuju kebun binatang.  

Beberapa kilo perjalanan, beberapa belokan, tak ada satupun penumpang yang naik.  Wajah supir mulai terlihat gelisah, sementara kami sedikit menahan kantuk.  Suara mesin kereta api di bawah jembatan mengibaskan kantuk, bayangan terbawa ke sebuah perjalanan kereta beberapa tahun lalu.  Ramai pedagang, perempuan-perempuan dan para lelaki mengejar harap, menumpahkan cinta untuk orang-orang yang menunggu di rumah.  Tempat pulang.

Sabtu pagi hari ini, tidak sama dengan Sabtu pagi di hari lalu. Bergelas kopi, berpiring nasi, ribuan pintu, membawa ingatan datang dan pergi, pada masa, pada ruang, pada musim gugur. 

Disini, kami tiba.  Pedagang yang sama, tukang beca yang sama, tukang baso tahu yang sama.  Menu apa siang ini yang akan kita santap, lelaki?  Sepiring kentang atau semangkuk soto?  

Tidak pagi ini, kita tunggu setengah hari untuk bersantap saat matahari bermain dengan waktu panggilan shalat.  

Ruang pasien di ujung gedung bertingkat seperti ruang tunggu di stasiun kereta.  Sabar menunggu panggilan dari suster berwajah indah.  Kursi-kursi dibungkus kulit imitasi abu-abu, tak ada yang tersisa.  

Di depan resepsionis,
"Dapat nomor 25, ya.  Harap tunggu."

Bandung, 30 September 2017
@imatakubesar

8 komentar:

  1. Kontrol ya, Im? Syafahallahu yaa. Met wiken^^

    BalasHapus
  2. Kontrol ya, Im? Syafahallahu yaa. Met wiken^^

    BalasHapus
  3. nomer 25 itu kalau baru 1 orang yang diperiksa mah lumayan lah kurang lebih nunggu 3 jameun

    BalasHapus
    Balasan
    1. 2 jam-an teh, belum antri ambil obatnya. Asooy...

      Hapus
  4. wah selamat ya ditunggu kata bijak nya

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv