Aku dan Pandeglang #2

#2  Makanan Tradisi menjelang Idul Fitri

Sepanjang hari di bulan Ramadhan dapur “penuh’ dan sibuk memasak untuk makan berbuka dan sahur.  Mama mertua dan kru masak menyediakan makanan untuk 200-an orang: santri, asatidz, dan anggota keluarga di rumah.  Menunya berbeda dari sehari-hari, ya, seringkali ada kolek.  Rasanya belum afdol kalau buka puasa tidak ada kolek, seperti beberapa daerah di Indonesia kolek menjadi menu khas masyarakatnya. 

Seminggu menjelang Idul Fitri, aktifitas sekolah diliburkan, tapi mama tetap sibuk di dapur.  Sudah dua hari ini, mama menyiapkan panganan untuk menyambut hari raya.  Dua hari pertama mama dibantu tetangga memasak rempeyek, dan hari kedua memasak kue cincin, barangkali masih berlanjut ke beberapa hari berikutnya.  Soalnya, tadi sore Teh Neni menyangrai tepung terigu yang dicampur dengan tepung aci.  Kita lihat besok, bahan baku ini akan dibuat apa oleh tangan-tangan ajaib mereka.

Rempeyek resep mama ini rasanya enak sekali, dulu waktu tinggal di Bandung setiap mama nengokin kami, dia selalu bawa 1 toples besar rempeyek.  Biasanya selalu saya simpan di kamar dan dikeluarkan setoples kecil setiap kami mau makan.  Kalau tidak begitu rempeyek renyah bin enak ini akan cepat ludes.  Rempeyek mama ini kaya rasa, lengkap dengan daun jeruk, daun pandan dan menjadi rempeyek favorit keluarga di Bandung.  Artinya rasanya sudah teruji enak, saya kepikiran nantinya mau memproduksi, dikemas dengan layak dan dijual tentunya.  Hasil masak-masak rempeyek ini jadinya beberapa toples besar. Kebiasaan mama, hasilnya ini selalu dikirim ke beberapa kerabatnya, salah satunya ke keluarga Ima di Bandung.  

Lalu, satu lagi yang baru beres dimasak hari ini adalah kue cincin.  Buat orang Bandung kue cincin ini bernama ali agrem dan kalau keluarga di Bima nama makanan ini yaitu ali-ali. Beragam nama dengan satu jenis bentuk dan rasa yang sama, ajaib. Saya jadi bertanya-tanya, dimana asal mula percampuran budaya ini dimulai, perkembangan dan bagaimana proses adaptasinya. 

Tradisi membuat pangan untuk meyambut hari raya disini masih berlaku dan beberapa tradisi lain yang masih lestari.  Biasanya 1-2 hari sebelum hari raya, setiap keluarga disibukan dengan membuat gegemblong dan semur daging.  Saya si-orang Bandung mengenal makanan jenis ini bernama ulen.  Nama gegemblong disini aneh, rasanya asin sementara di Bandung gegembolong atau leboh dikenal dengan nama Gemblong itu rasanya manis.  Yah, di pagi hari sebelum pergi shalat ied kami sarapan ulen alias gegemblong yang di cocol ke semur daging.  Rasanya? Enak! Tergantung semurnya tentunya.  Just it! Oh iya, ada yang lain lagi camilan-camilan yang melengkapi kehangatan hari raya, diantaranya pepes daging, pepes pisang.  Pepes? Disini nama pepes daging bukan daging yang di pepes, tapi daging ayam yang dipotong-potong kecil dicampur dengan sayuran berupa kentang dan wortel diolah sedemikian rupa lalu dimasukan ke adonan tepung beras yang sudah di campur tepung aci dan santan, di bungkus pakai daun pisang lalu di kukus.  Begitupun dengan pepes pisang, pisang yang dipotong-potong kecil dimasukan ke dalam adonan yang sama lalu dikukus.  Hayo tebak, kalau di Bandung nama camilan ini coba?

Bayangkan, semua bikin sendiri.  Betapa sabarnya orang-orang disini dan berani berproses dan mempunyai kemampuan untuk berdamai dengan kreatifitas, tenaga, waktu. 

Kalau diperhatikan, waktu di sini lebih cepat.  Maksudnya, penduduk kampung jam  4 sudah ramai.  Ramai pergi ke masjid, dan disibukkan dengan kegitan-kegiatan rumah tangga juga aktifitas ke kebon, sawah, membuat mebel, warung kelontong buka jam 06.00 pagi dan tutupnya pun larut sekali.  Pergerakan disini begitu dinamis, walaupun kegiatan disini tidak sama dengan di kota, tapi proses bergerak mereka tinggi meskipun nilai tenaga mereka masih belum tinggi.  Bisa jadi karena daya beli masyarakat disini juga tidak sebanyak masyarakat kota.  Di kota, segala sesuatu bisa di beli dengan instan, termasuk pembelian yang tinggi ada di makanan.  Apalagi di hari raya seperti ini, biasanya setiap keluarga melengkapi berbagai panganan khas daerahnya berikut kue-kue adaptasi dari Eropa seperti kue kering kestengel, lidah kucing, dll, menjadi kue khas perayaan apapun.  Jadi daya belinyapun menjadi tinggi, sementara jika kita menyempatkan waktu untuk membuat kue/camilan sendiri tentu pengeluarannya bisa lebih ditekan. 


Asiknya hidup di kampung seperti ini, masih bisa menikmati proses-proses kesabaran, ketekunan, yang dilakukan secara manual.  

6 komentar:

  1. Dari ceritanya rempeknya juara banget tuh.....gegemblongan itu makanan semacem apa ya kak?

    Salam dari Galassia del Sogno

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gegemblong itu beras ketan yang dikukus terus di tumbuk, ditambah kelapa parut dan garam, di bentuk besar-besar. Pas penyajiannya gegemblong itu diiris dan digoreng, ada juga yang dibakar. wuenak...

      Hapus
  2. gemblong tuh warnanya coklat bukan seperti yg ada dibogor

    BalasHapus
  3. Nah, kalo di Pandeglang gegemblong itu sejenis ulen yang warna putih dan digoreng, kalo gemblong yang ada di Bogor sama dengan di Bandung, nasi ketan yang di balut dengan gula aren, warnanya cokelat dan manis.

    BalasHapus
  4. Gemblong karo jadah podo gak ya mbak?

    *gugling disik*

    Oh ternyata podo. istilahe sing bedo. Gegemblong adalah Jadah.

    BalasHapus
  5. btw kue cincin saya baru nemuin di jakarta om, di jawa timur (lamongan) ndak ada, eh tapi ndak tau yah sekarang......
    ======================
    rahasia merawat kelinci yg imut

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv