Tubuh yang Berkata, Tubuh yang Bersikap

GIAP THAN, 60 menit pertunjukan lakon koreografis untuk enam penari yang ditampilkan di Gedung Sunan Ambu-STSI merupakan hal yang menarik untuk dijadikan bahan studi. Régine Chopinot sebagai koregrafer berusaha menyampaikan alternatif bahasa tubuh sebagai sikap pemberontakan atas kondisi sosial sekarang ini.
Lima orang penari masuk panggung, meruang lalu duduk dipinggir panggung dengan menggunakan kostum setelan berwarna putih. Ada yang menggunakan kemeja dan celana panjang, kaos kutung dan celana pendek, kemeja panjang dan celana pendek. Seakan menyimbolkan tubuh itu sendiri yang jujur dengan keberadaanya seperti apa tampak secara kasat mata.
Pemusik yang mengiringi para penari ini terdiri dari satu orang laki-laki dengan memakai kaos hijau dan jeans berwarna hitam tampilan yang cukup casual dengan hanya menenteng gitar elektrik. Dia duduk menghadap panggung hampir berdempetan dengan penonton dan hanya disinari oleh satu buah lampu sorot. Musik mengiringi dengan tempo paduan klasik dan jazz mengikuti detak-detik aliran jantung kehidupan. Sebuah warna musik yang menarik sebagai simbol tarik menarik setiap kontradiksi situasi tatanan masyarakat.
Panggung gelap lalu sedikit-sedikit mulai menyala menyinari objek (perempuan) yang mulai bergerak mulai mengeksplorasi artistic berupa gabungan kain spanduk “OMO” (salah satu merek produk rumah tangga) yang memenuhi background panggung. Empat orang penari laki-laki duduk tablo namun berkesan wajar dan mereka duduk dipinggir panggung. Mereka memperhatikan gerak perempuan itu seakan menjadi bagian dari reaksi atas daya pikat yang tak berlebih, wajar sehingga memang menampilkan sebuah gerakan yang apa adanya. Sehingga hasil dari gerakan tersebut seakan memberikan sebuah jawaban bahwa perempuan tersebut dalam keadaan menggoda maupun sebaliknya memberikan pancaran yang menarik. Lalu munculah satu orang laki-laki mulai melakukan gerakan sebagai bahasa reaksi atas perempuan tersebut sambil mempermainkan artistiknya.
Selanjutnya sementara sepasang penari tadi menyudahi tarian lalu duduk dipinggir panggung, dua orang penari laki-laki menyambung cerita dengan bergerak seakan menyampaikan aksi tanpa reaksi. Laki-laki yang satu bergerak menarik perhatian pasangan yang tablo. Mereka bergerak begitu detil dari jemari kaki, cara melangkah, gerakan tangan begitu leluasa tanpa gangguan otot yang sulit untuk digerakkan. Namun tidak berusaha untuk mendistorsi gerakan itu sendiri.. Sangat menarik! Pembebasan tubuh yang menghasilkan gerakan yang baru, artistik dan sederhana. Dari dua orang laki-laki ini, seakan menyampaikan sebuah hasil aksi-reaksi pada gender yang sama.
Lalu satu orang laki-laki yang lain mulai bergerak dan ikut mengekplorasi laki-laki yang menjadi objek gerak. Dari gerakan ini, mereka bertiga seakan menyampaikan sebuah situasi penekan dan yang ditekan dengan hanya memegang kepala objek oleh dua orang laki-laki tersebut dan gerakan kaki, bahu, tangan yang begitu tampak ringan saat berloncatan, tarik-menarik, dan bahasa tubuh penekanan mental yang mereka sampaikan begitu gamblang namun detil dan wajar. Satu orang laki-laki yang berada dibawah tekana dua orang laki-laki begitu disampaikan dengan gerakan yang pas tanpa ada lompatan yang berulang-ulang lalu mencapai gerakan yang over. Mereka bergerak dengan tatanan yang halus seperti halnya detak jantung dan udara yang menjadi nafas kita sehari-hari. Tak berlebih tak kurang.
Lalu mulailah peleburan gerakan ditampilkan oleh lima penari sementara diakhir pertunjukan seorang penari bergerak dibalik kain dengan gerakan yang sangat aneh sehingga terasa mustahil untuk dilakukan oleh satu orang penari sehingga hasil bentuk kain tersebut seakan menyampaikan ada dan tiada.
Artistik panggung yang lainnya berupa lampu lampion kotak berwarna putih berjumlah 6 (enam) buah yang digantungkan dilangit-langit panggung. Lampu menyorot panggung dengan warna yang sentimental. Hasil cahaya menggunakan warna general dan hangat seakan proporsi hitam putih dalam sebuah foto. Ruang panggung yang begitu naïf, sepi, dingin seakan memberikan penjelasan jujur tentang perasaan dan dibuat bahwa perasaan itu adalah begitu adanya. Ada dan begitulah adanya.
Lakon ini seakan menyampaikan pemberontakan sosial pada faktor-faktor yang mendominasi mereka. Baik berupa besarnya pengaruh produk sehingga mempengaruhi gaya hidup, tuntutan masyarakat dan hal-hal yang mempengaruhi hidup manusia itu sendiri sehingga menimbulkan kegilaan atau tindakan yang saling mempertahankan ego.
Dari gerakan itu sendiri, koreografer sepertinya melupakan kaidah-kaidah tarian yang sudah mendarah daging lalu ia seakan memecahkan gerakan yang sudah digariskan dengan membebaskan gerakan, bandel dari garis-garis keindahan sehingga memunculkan bentuk lain yang justru menjadi tawaran lain untuk dinikmati. Dari gerakan itu juga kita dapat melihat sisi “pemberontakan” pada garis-garis gerakan pada tarian itu sendiri.
GIAP THAN, sebuah tawaran gerak pada eksplorasi ruang yang menumbuhkan aliran kreasi yang berbeda sehingga menumbuhkan daya tarik sendiri.
Koreografer : Régine Chopinot, Muisk dan Pemeranan : Gianni-Gregory Fornet, Tata Panggung dan Kostum : Jean Michel Bruyere, Tata Cahaya : Maryse Gautier, Penanggung Jawab Urusan Teknik : Patrick Barbanneau, Artis : BUI Tuan Anh, HA THE Dung, TRAN THI TUYET Dung, NGUYEN ANH Duc, HA THAI Son, QUACH HOANG Diep.

Bandung 7 Juni 2005. 16:09 WIB

3 komentar:

  1. Anonim12:16 PM

    cool :)..

    BalasHapus
  2. heuheu.. tadi lupa bilang.. di link skalian ya blognya neng ima.. :D

    BalasHapus
  3. ya kalau sudah terbiasa jadi reflek,

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv