Mendapat kesempatan dari Bunda Dini untuk membuat kegiatan
di sebuah rumah singgah bernama Rumah Cinta Anak Cancer terletak di Sukagalih Bandung. Dia mengajak untuk kami agar mau "menghibur" anak-anak kena kanker dan sedang menjalankan pengobatan di Rumah Sakit Hasan sadikin (RSHAS). Dengan Bunda Dini sendiri saya tidak pernah bertemu selama 7 tahun,
melalui jejaring sosial akhirnya ada komunikasi yang terputus sekian lama,
selama itu tentu sudah melewati banyak hal.
Sekarang dia sudah punya anak laki-laki yang lucu usia 3 tahun,
sementara saya sendiri sudah punya 2 anak.
Dari masih sendiri lalu pas ketemu sudah bergerombol, rasanya semakin
tersadarkan bahwa hidup itu sekejap mata.
Merunut kebelakang rupanya selama
itu banyak juga hal yang dilakukan, terutama saat harus berhadapan dengan
situasi dan harus mengambil keputusan.
Bernostaginya selesai, sekarang saya mau menceritakan
tentang ajakan Bunda Dini ini. Suami
saya mengusulkan untuk mengajak Kang Setiawan. Dia komikus. Sehari-harinya bikin komik dan melakukan
banyak kretaifitas seni lainnya, sepertinya bakal cocok diajak agar kegiatan
ini lebih menarik. Rupanya dia malah antusias
sekali.
Rumah singgah ini kelola oleh Abah-begitu ia ingin dipanggil, diperuntukan buat
pasien-pasien kanker yang menjalani kemoterapi di RSHS,
pasien kelas 3 yang menggunakan fasilitas Jamkesmas. Abah sendiri punya pengalaman anaknya kena
kanker dan meninggal dunia. Berbekal
pengalaman sepertinya hidupnya kemudian didedikasikan untuk pasien-pasien yang
menjalani proses pengobatan. Menurut penjelasan
Abah, ia sering prihatin pada pasien dan keluarganya yang harus menjalankan
kemoterapi atau bahkan sekedar tes darah padahal kebanyakan mereka berasal dari
luarkota. Seperti dari Pandeglang,
Tasik, Ciamis, lalu harus mengantri lama di lorong-lorong/pelataran padahal
mereka sedang sakit. Ada pula berhari-hari
tinggal di RSHS untuk menjalani jadwal kemoterapi. Berbekal pengalaman, kecintaan dan
keprihatinannya, ia menggalang dana dan ngontrak rumah agar mereka bisa
istirahat di rumah singgah tersebut.
Lalu apa yang kami lakukan?
Sebenarnya ide bermunculan dan semakin liar tapi saat diskusi ada satu
ide yang sama yaitu pengen mengecat rumah tersebut agar lebih segar dan nyaman
ditempati. Semacam terapi warna untuk
yang tinggal bagi yang beristirahat.
Tapi sementara itu rencana pengecatan dijadikan agenda kedepan,
pertemuan pertama langsung di hari Sabtu tanggal 4 Januari. Ayah, Kang Awan (panggilan dari Setiawan) dan
saya berencana membuat paper toy atau papercraft, yah semacam itulah. Pasien
dan orangtuanya diajak buat menggunting pola, menempel-nempel hingga membentuk
sebuah benda. Pola sudah tersedia di
internet, lalu di print. Sebelum hari H,
Ayah dan Kang Awan mencoba menempel-nempel pola sampai membentuk gajah dan
burung. Lucu sekali!
Eh, iya. disela diskusi biar kami bersemangat tim ini dinamakan "KEMON" kepanjangan dari "Kesenian Momen". Ungkapan "kemon" ini plesetan dari "come on!" kalau ungkapan bahasa sunda menjadi "Hayu, urang kemon!".
Ah, hari H tiba acara dimulai jam 09.00 WIB. Saya hanya mengajak Alif, sementara Bayan
dititipkan ke Ceu Sanah. Kamipun
berangkat dari Ledeng, menembus dingin dan cerah khas udara Bandung. Ada rasa yang berbeda, ada kekhawatiran jika
nanti anak-anak kurang menyukai kami, ada kekhawatiran ini itu tapi terselip
rasa yang berbeda. Melebihi rasa bahagia,entah apa. Setelah merasa cukup merasakan rasa itu, saya
lebih memilih untuk tenang sepanjang perjalanan saya berfikir dan menulis di
handphone beberapa alternatif dongeng yang melibatkan dua binatang tersebut
jika nanti suasana dirasa monoton.
Kami datang terlambat.
Ternyata anak-anak sudah menunggu, beberapa yang lain masih ganti perban
dan diberi obat dimasing-masing kamar.
Ada setumpuk tahu goreng dan pisang goreng di meja mencuri mata
saya. Untunglah sudah makan, perut
tidakterlalu kosong jika nanti makan pisang kebanyakan keliatanlah kalau saya ini
doyan makan. Apalagi pisang goreng. Owh!
Meleleh. Lupakan pisang goreng. Fokus dengan kegiatan, sambil menunggu
beberapa anak lagi acarapun dimulai.
Bunda Dini yang membuka acara dan kamipun mengenalkan
diri. Suasana ternyata lebih cair dari
dugaan,para orang tua begitu antusias dan semangat. Tanpa banyak basa basi acara langsung
dimulai, Kang Awan membagi kertas dengan pola gajah dan burung ke pasien dan
memberi petunjuk garis mana saja yang harus digunting. Semua bekerjasama menggunting mengikuti pola
dan menyiapkan potongan kecil doubletip untuk menggabungkan kertas menjadi
sebuah bentuk. Ada orangtua yang dengan
cekatan menggunting sambil tak berhenti becanda, ada anak yang tekun dan
konsentrasi menggunting-gunting pola gajah, semua terasa riang dan ringan. Seolah tidak ada rasa sakit disana, semua
seperti orang-orang sehat kebanyakan.
Lihat, betapa mereka bersemangat!
Beberapa orang berhasil membuat paper toy sampai tuntas
berbarengan dengan suara adzan dzuhur. Tapi semua merasa bergembira termasuk
Alif yang (Alhamdulillah) bisa membaur dan ikut bermain dengan anak-anak yang
seusianya.
Nah, ini dia hasilnya:
Kamipun pulang. Ada
rasa hangat yang berbeda. Entah apa.
Ternyata tidak ada ilmu dan proses yang dulu-dulu seolah sia-sia selama kita
melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Semua ada manfaatnya. Hari itu, berbagi kesenangan dan kreatifitas
dengan seni. Sebuah paper toy yang memberi
semangat yang berbeda, disaat hari-hari mereka dipenuhi dengan proses
pengobatan seolah tanpa akhir dan melelahkan.
Setiba di rumah, Bunda Dini mengirim pesan:
“Teteh –Zazaakillahkhairan—kana bantosannana, anak-anak meni
seneng pisan… Gak sabar nunggu hari Sabtu tiba kembali.” (artinya: Teteh, terimakasih atas bantuannya, anak-anak sangat senang… TIdak sabar menunggu kedatangan hari Sabtu lagi.)
Yah, sebenarnya kami lebih senang. Hiks
"Hayu, urang kemon!"
Rame yaaa... Itu keknya tempatnya sempit yaaa.. Tapi justru kalau sempit begitu makin akrab sih ya..
BalasHapusKegiatannya sangat bermanfaat. Salut!