Bapak: Menangkap Matahari di Pasar Baru

Saya dan kedua kakak saya, Teh Atik dan Teh Ida
berfoto di pintu masuk los-los basahan Pasar Baru Bandung (Oktober 2021)


Dulu tiap subuh saya ke sini (Pasar Baru Bandung) bantu Bapak dan Amih jual ayam. Dari masih sekolah dasar saat bangunan Pasar Baru masih peninggalan bangunan Belanda, lalu zaman kuliah pun ikut bantu Bapak saat pasar dipindahkan sementara ke jalan pasar baru belakang, terus mengalami kemerosostan jualan di bangunan baru. Allahumafirlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu… Bapak, nuhun

Bapak saya pedagang ayam di Pasar Baru. Saya selalu suka kalau diajak Amih ke Pasar. Pergi ikut Amih selepas shalat subuh, lalu naik mobil bak dijemput Mang Giman. Mang Giman jemput Amih setelah mengirim ayam-ayam ke warung-warung nasi pelanggan Bapak. Sementara, Bapak berangkat dari rumah jam 22.00 WIB menuju gudang di Gang Abdur Rahim (Pasir Kaliki), dulu Bapak nyewa tempat ini dari Gudang PJKAI. Sekarang lokasi ini sudah jadi pintu masuk Paskal Square.

Sejak kecil, saya lebih suka diajak Amih ke pasar dari pada pergi ke sekolah. Pernah suatu subuh saya nangis karena Amih pergi diam-diam, lalu saya digendong kakak menyusul Amih. Saya pun pergi ikut Amih ke pasar.

Saya suka pasar, suka lihat lampu berwarna orange, suara mesin kelapa, orang-orang yang hilir mudik, tumpukan ayam, lihat Bapak yang bersemangat menyortir ayam. Bapak berbalut kaos swan, celana pangsi, dan kopyah rajut warna putih. “Pak, Haji!” Begitu panggilan pelanggan Bapak.

“Ima, entong motongan hayam! Maneh mah budak sakola, nyepeng spidol weh jeung bon!” (Ima, jangan memotong ayam, kamu anak sekolahan, pegang spido dan bon saja) Terus dia ketawa. Bapak tidak mau anak-anaknya meneruskan usaha bapaknya, dia pengen kami jadi anak sekolahan, jadi anak yang kerja kantoran. Berbaju rapi, wangi, sekolah di ITB.

Ya, begitu seterusnya, begitu saya beranjak dewasa pun, saat saya ingin dapat tambahan uang kuliah, jadi saya pergi ke pasar bantu Bapak. Tapi tetap saja, Bapak tidak pernah mengizinkan saya potong ayam, dia hanya mengizinkan menyortir ayam, memasukan ayam yang sudah dipotong ke dalam kresek, menyiram dan membersihkan los ayam, begitu seterusnya setiap hari.

Bapak dan Amih pasangan yang disiplin untuk urusan shalat, puasa dan bekerja. Hampir tidak pernah terlambat, selalu tepat waktu. Amih dan Bapak tidak pernah berlebihan memberi, itu yang saya rasakan. Baju sehari-hari sering dipakai tukeran, tidak pernah kami diajak makan ke restoran mewah di akhir pekan, atau diajak jalan-jalan ke tempat wisata. Dari SMP-SMA sekolah di daerah Panatayuda pulang pergi sendiri naik angkot dari Ledeng ke Panatayuda memakan waktu 30 menit menuju sekolah. Begitupun saat kuliah dan bekerja hingga sering pulang larut malam naik angkutan kota sendirian.

Saat kuliah, muka saya penuh jerawat, karena memang tidak punya skin care. Untuk minta ke Amih segan, karena kebutuhan Amih banyak memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Ya, kami 16 bersaudara. Saat saya lahir sudah punya keponakan dan ada keponakan yang seumuran. Tak hanya itu, beberapa kakak sedang membangun keluarga kecilnya, ada kakak yang remaja, bahkan sedang kuliah. Jadi kebutuhan Amih banyak juga. Kalau saya butuh sepatu atau skin care, saat itu tidak terlalu diperlukan/dipentingkan jadi tidak langsung dibelikan karena Amih baru saja bayar SPP, bayar semesteran, pajak, pungutan ini itu, bahkan kebutuhan lain yang lebih besar.

Kembali tentang Bapak dan Amih, mereka pasangan solid. Bapak yang tidak pernah absen berdagang, bisa jadi hanya libur saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha saja. Selebihnya tetap buka. Bapak tidak mau tahu uang itu digunakan untuk apa saja. Semua yang urus Amih. Kebetulan saja, Amih pinter membagi pendapatan untuk berbagai kebutuhan yang super duper banyak.

Pernah Bapak bilang begini sama Amih,”Mih, mun meunang menta, Bapak mah mendingan maot tiheula, soalna Bapak mah teu bisa ngurus budak.” (Mih, kalau boleh meminta, Bapak lebih baik meninggal lebih dulu karena tidak bisa mengurus anak) Begitu yang sering saya dengar kalau mereka sedang berbincang. Ya, Bapak bekerja ke gudang jam 22.00 WIB untuk melakukan proses penyembelihan ayam. Dia khawatir ayamnya tidak halal karena proses penyembelihan ini menjadi tangggung jawabnya. Lalu mulai membuka los di Pasar Baru untuk langganan harian.

Bapak saya, Mochammad Mas'ad.
Foto diambil saat ibadah haji tahun 1982.

Buat Bapak, bekerja adalah ibadah, mungkin itu sebabnya Bapak bertumbuh menjadi pekerja yang konsisten, disiplin dan punya militansi tinggi. Beliau hanya tahu bekerja, selebihnya Amih yang mengurus. Jangan tanya Bapak tentang ayah parenting, saya tidak pernah tahu cerita detil atau pembelajaran etika dan sebagainya dari Bapak. Saya tidak pernah mendapat pelajaran itu, tapi saya belajar dari kegiatannya sehari-hari dari bangun tidur hingga tidur lagi.

Selain itu saya diajarkan oleh Amih dan kakak-kakak bagaimana merawat Bapak. Mulai gosok WC, menyiapkan makan, menyiapkan air panas, mengantar Bapak ke depan rumah, menyiapkan kebutuhan buat ke pasar, melap meja dan menyapu bekas makannya. Meskipun begitu, tetap saja saya tidak mendapatkan apresiasi, biasa saja. Sehingga saya tumbuh menjadi manusia yang biasa tidak mendapat apresasi dan aneh sendiri ketika mendapat apresiasi.

Bertahun kemudian, saya diminta Amih untuk berhenti kerja di Tobucil (toko buku berbasis komunitas yang saat itu di Imam Bonjol). Amih terlalu khawatir saya bekerja di Tobucill dan tetap berproses teater yang membuat saya sering pulang larut malam. Jadi Amih menyuruh saya keluar dari Tobucil dan berhenti main teater, saya boleh tetap bekerja dan main teater asal mau menikah. Kalau tidak mau menikah dengan yang dijodohkan, saya harus berhenti dari segala kegiatan lalu jual ayam. Saya ambil opsi kedua, yaitu, jual ayam di Sersan Surip.

Terus terang saja, awalnya saya kesulitan. Karena Bapak tidak pernah mengajarkan dan mengizinkan saya memotong ayam. Dia hanya membolehkan saya pegang spidol, bon dan memasukan ayam yang sudah dipotong ke dalam plastik. Berbekal kekuatan visual dan bertahun tahun melihat para pekerja Bapak yang memotong Ayam, saya nekat! Ternyata, saya bisa memotong ayam, dibelah dua, dibagi empat, dibagi delapan, dibagi sepuluh, hingga dibagi 12. Saya belajar banyak dari konsekwensi saya memilih jual ayam daripada harus dijodohkan.


Saya tidak tahu, apakah Bapak setuju atau tidak. Tapi dia pernah melihat saya sesaat di seberang jalan, lalu segera pergi lagi. Kami memang tidak pernah ngobrol. Bapak tipe pendiam, kesulitan berbahasa. Sejak kecil saya selalu ingin dekat dengan Bapak. Selalu berangan-angan bisa dekat dengan Bapak seperti dr.Huxtable yang ada di serial keluarga Huxtable di RCTI, tokoh bapak yang suka becanda, dekat dengan anak-anaknya, fleksible.

Upaya saya ingin dekat dengan bapak dengan membacakan Koran tiap pagi, bawakan makan, minum, air panas, membersihkan bekas makannya, menyiapkan isi kaneron untuk bekal ke pasar (kaos, baju koko, sarung, pangsi, bon dan spidol), setiap hari. Tapi tidak pernah terjadi dialog, apakabar? Bagaimana sekolah? Apa kamu bahagia? Tidak. Kadang kami duduk satu meja, lalu makan jeruk bersama-sama dalam diam. Pernah suatu hari Bapak bilang begini,”Geus atuh imah teh tong disapuan wae, ke ge kotor deui.” (Sudah dong, jangan menyapu saja, nanti juga kotor lagi) Saya cuma tersenyum sambil meneruskan beres-beres.

Buat Bapak, bekerja adalah ibadah. Ibadah disini ibarat menangkap matahari sebagai salah satu energi hidup bumi. Ya, Bapak tidak sempurna seperti bapak-bapak yang lain. Tapi proses hidupnya sepenuhnya diberikan untuk mendatkan energi hidup, kebahagiaan hidup anak-anaknya agar mendapatkan pendidikan yang layak, tempat tinggal, mengenal Tuhannya-Allah dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Beliau mampu menumbuhkan anak-anaknya dalam setiap tarikan nafas doanya, dalam diamnya, bertahan dalam pekerjaannya, menyatu bersama segala luka batinnya.

Nuhun Bapak, selamat hari Bapak, semoga energi bekerja dan ibadahnya terus mengalir menjadi amal yang tidak pernah putus.  Allahumma firlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu...

1 komentar:

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv