Hidup di Tengah Pandemi

Pandemi mengajarkan kita untuk menyederhanakan hidup, menyederhanakan pikiran, menyederhanakan keinginan, menghargai dan menerima diri.

(matakubesar, 10/06/2020)

Beningnya cuaca langit dan awan di tengah pandemi.
Foto: Ima

Rasanya sulit percaya ketika muncul kabar wabah di Kota Wuhan Cina disebabkan virus corona covid 19. Sulit membayangkan jika kita pun mengalami hal yang serupa, berada di tengah situasi lock down untuk mengatasi resiko penularan covid 19 yang agresif. Pasti banyak hal yang terdampak, selain urusan senang-senang hingga urusan penting-penting. Kekacauan di negeri tirai bambu menimbulkan berbagai persepsi dan analisa dari berbagai sisi, mulai dari perang biologis, perang ekonomi hingga azab dari Tuhan. Lepas dari analisa konspirasi itu semua, sayangnya banyak korban meninggal karena sakit yang disebabkan covid 19.

Suatu pagi selesai shalat dhuha, saya buka buku doa. Saat itu lembaran yang terbuka, doa tentang terhindar dari wabah dan resesi ekonomi. Perasaan yang bercampur aduk muncul, antara ragu dan takut membacakannya karena ada rasa takut, ngeri hingga proses penolakan wabah itu akan sampai di Indonesia. Tapi dengan menguatkan diri, saya pun membacakannya sambil terbata-bata, hingga berhasil melawan rasa takut itu dengan berkali-kali membacakannya. 


Seling beberapa minggu, situasi yang tak diharapkan pun terjadi. Kabar tersiar bahwa covid 19 menelan korban warga Jeman, Itali, Amerika, Korea, Spanyol, Vietnam lalu tiba-tiba mucul pasien covid di Depok. Betul, kota Depok yang berada di Indonesia, hanya menempuh waktu 3 jam dari Bandung. Sejak covid mulai mengenai beberapa orang, aktifitas fisik di sekolah dihentikan mulai 16 Maret 2020. Kegiatan yang menggunakan gedung pemerintah dihentikan/tidak boleh ada, segala aktifitas yang melibatkan keramaian, kerumuman harus dihentikan sementara waktu. 

Jalan Merdeka Bandung di situasi pandemi 
bulan Juni, 10/2020
Foto: Ima

Awalnya memakan korban puluhan pasien, namun karena sifat penularan cocid 19 ini sangat agresif. Lalu mulai banyak yang berteriak di medsos orang-orang yang menganggap enteng keberadaannya dengan berbagai statement. Mulai dari mengangkat ayat Quran, teori konspirasi, menjadi ajang menyalahkan pemerintah bagi yang beda pilihan. Namun ada juga yang bersegera membuat gerakan saling bantu, saling tolong, mengumpulkan dana dengan mengadakan konser musik live di media sosialnya, baca puisi hingga menjual gambar untuk membantu sesama. 

Situasi pameran seni rupa Jabar 2020 yang terhenti karena himbauan 
pandemi covid di GPK Bandung. Foto: Ima

Keadaan ini ternyata terus memanas, muncul 2 kelompok orang yang percaya adanya covid 19 dan orang yang tidak percaya adanya covid 19 ditengah bertumbangan pasien hingga puluhan ribudribu tenaga kesehatan karena covid 19. Sebagian masyarakat Indonesia ini memang unik, ada orang ahli yang bicara tidak dipercaya tapi begitu ada statement yang disebar lewat whatapp group hingga media sosial seperti facebook, twitter dan instagram mudah dipercaya lalu ditelan bulat-bulat. Seolah-olah kebenaran itu harus berpihak pada dirinya.

Sayangnya keadaan ini semakin memburuk. Masuk pada bulan ketiga fase lockdown atau kita mengenal dengan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sekarang virus itu mulai menyebar dan mengenai ribuan warga Indonesia. Sudah 3 bulan kami menjaga diri dan lingkungan dengan tinggal di rumah saja selama tidak ada kepentingan yang mendesak.

Satu sisi di tengah situasi yang serba terbatas dan tertekan, saya merasa "istimewa" hidup di tengah pandemi covid 19. Karena mengalami perubahan pola hidup drastis, tak boleh berkumpul, tak boleh bersentuhan, kemana-mana harus pakai masker dan tetap di rumah untuk menghindari penularannya. 

Ima dan Holis
Foto: Ima

Cukup rumit dan ribet saat beradaptasi dengan perubahan ini. Tapi, pelan-pelan dijalani, disadari secara penuh, ternyata kami baik-baik saja. Banyak hal yang menarik yang dilakukan dan bermunculan orang-orang baik yang terus bergerak mengatasi situasi ekonomi yang terbatas karena pandemi.

Kini Jalanan sunyi, toko-toko tutup, berbagai kegiatan berhenti dengan berbagai kegelisahan yang terus hadir ke permukaan. Semakin hari, saya menikmatinya.  Hati yang aneh. Sulit, iya. Khawatir, iya. Terdampak? Tentu. Tapi ini saatnya lebih kita mengasah mata, telinga, mulut, rasa, diri, pikiran untuk mengejawantahkan langkah. Menumbuhkan diri ditengah ruang-ruang terbatas. 

Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan New Normal, hari ini, 11 Juni 2020 saya mulai memberanikan diri membeli gorengan di depan rumah.

Pukul 06.15 wib pergi ke depan cari makanan buat makan pagi dan cemal cemil anak-anak karena mau ditinggal kontrol ke dokter. Kemungkinan siang atau sore baru sampai di rumah. Rencananya mau beli bala-bala dan ulen untuk teman sarapan segelas kopi panas. Begitu sampai di depan, pedagangnya tidak menggunakan masker. Gorengan di atas meja (pinggir jalan) terbuka begitu saja, minimal ditutup plastik pun tidak dilakukannya. Setidaknya ditutup untuk menghindari debu dan angin yang berseliweran.

Museum Kota Bandung (Jalan Aceh) di tengah pandemi covid 2020.
Foto: Ima

Dia melayani sambil ngobrol dengan pembeli, herannya lagi pembeli juga ngambil gorengan pakai tangan kosongnya, tanpa pakai masker, membuka pembicaraan pagi dengan ngeluh sana sini tentang aturan masker dan SOP berasosiasi di tengah pandemi sambil sesekali rapihkan rambutnya yang terurai.

Aku membayangkan banyak droplet, cipratan-cipratan tipis dimulutnya bertebaran di atas gorengan itu. Mungkin juga serpihan ketombe dari uraian rambutnya yang ikut berterbangan.

Akhirnya, setelah terpaku beberapa saat dengan situasi yang dramatis itu, saya pun belok ke warung beli mie instan, telur dan energen. Buyar makan gorengan dengan kopi. Saya pun pulang dengan kekhawatiran yang berlapis-lapis.

Jam 08.15 wib, tiba di rumah sakit tempat suami kontrol ke dokter syaraf. Selama masuk pandemi, pintu keluar masuk pasien dan berbagai pengunjung hanya satu. Setiap orang yang masuk wajib cek suhu tubuh dan cuci tangan. Setelah melewati prosedur itu, kami segera menuju ruang rawat jalan.

Setelah cek tekanan darah dan berat badan, suami saya harus isi form yang wajib diisi yang menerangkan bahwa pasien tidak terjangkit covid dengan sejujurnya. Pertanyaan-pertanyaan dalam form itu berisi keluhan mengarah gejala covid, kalau memberikan jawaban bohong akan dipenjara. Menurutku, ini artinya sebagai upaya melindungi banyak orang. 



Penampilan dokter selama 3 bulan ini berbeda, lebih ketat. Kami mengetahui perubahan ini karena sudah 5 tahun suami saya tidak bisa lepas dari obat sehingga harus kontrol setiap bulan. Kali ini dokter menggunakan penutup kepala, masker, kacamata (face shield), baju khusus untuk melapis bajunya (bukan APD). Begitu masuk ke ruang rawat jalan tidak ada kontak fisik antara dokter dan pasien untuk tes syaraf pada kaki, mata dan degup jantung seperti biasa. Kami hanya diberi beberapa pertanyaan, ngobrol tentang kondisi fisik Ayah setiap bulannya dan membicarakan situasi pasien Covid 19 di rumah sakit ini.

Kata dokter, sekarang ini, setiap hari pasien bertambah 5 orang yang terinspeksi covid. Bahkan beberapa lantai digunakan untuk ruang isolasi. Semua pasien yang masuk lewat UGD apapun sakitnya, harus melewati rapid tes. Jika harus rawat inap sekalipun penyakitnya bukan karena covid 19, perlakuan dokter pada pasien sama. Semua dokter menggunakan standar baju yang digunakan dalam menghadapi pasien covid, yaitu masker, baju APD, kacamata dan tidak boleh bocor. 

Manusia adalah makhluk yang adaptif, saya fikir kita bisa melewati dan mengatasi keadaan ini. Kita harus mulai terbiasa ketika harus tes covid 19 dahulu saat kita jatuh sakit meskipun bukan sakit yang diakibatkan virus corona. Perlakuan ini mesti sikapi dengan tenang, sama seperti harus cek suhu tubuh, tekanan darah dan berat badan sebelum identifikasi penyakit.

Perubahan prilaku mesti disadari ketika harus keluar rumah, kita harus dapat memperkirakan situasi yang dihadapi dan diantisipasi segala kemungkinannya. Mulai pakai baju apa, barang-barang apa saja yang harus dibawa untuk menjaga kebersihan diri ditengah situasi pandemi.

Dengar dan ikuti himbauan, anjuran, pola bersosialisasi di tengah pandemi. Ribet, iya, takut berlebihan juga jangan. Kalau tidak bisa bantu orang, minimal jaga standar kesehatan buat diri sendiri (masker, cuci tangan, tidak berkerumun, nyampe rumah ganti baju). Karena apa yang kamu lakukan, berpengaruh banyak pada kesehatan hidup orang lain.

Asli, sakit dan ngurus yang sakit itu rasanya tidak enak, lho!

Semoga keadaan semakin membaik dan pandemi ini segera berakhir. 

Ima.Juni 2020

Foto: Ima

12 komentar:

  1. Aku, mbak san semua yuk makin kuatan dan tingkatkan doa bersama agar masa2 pandemi ini segera enyah dan kita semua bisa kembali seperti sediankala yah mba. Aamiin :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaamiiiiin... ayo kuatin doa, maksimalin ikhtiar, semoga kita selamat dan dimudahkan segala urusan.

      Hapus
  2. Baca postingan ini jadi teringat tante saya yang sedang sakit. Setelah diperiksa ke dokter, ternyata kankernya kembali hadir. Padahal udah setahunan badannya enak. Jadi sebentar lagi akan operasi dan melakukan serangkaian pengobatan kembali. Semoga siapapun yang sedang sakit segera disembuhkan dan kembali pulih. Buat yang sedang menemani pasien juga tetap terjaga kesehatannya. Aamiin

    BalasHapus
  3. Andai kita semua bisa bergotong royong dan mengikuti aturan protokol kesehatan mungkin bisa membantu memutus rantai penyebaran covid 19 yang agresif itu, tapi ini kan... Ahsudahlah mulai dari diri sendiri aja ya jaga kesehatan jangan sampai tertular dan menularkan virus.

    BalasHapus
  4. oh god! sekarang kita cuma bisa bersabar dan terus berdoa semoga semuanya cepat berakhir. amiin

    BalasHapus
  5. Huhu sedih deh masih banyak yang ngga sadar protokol kesehatan. Emang harus hati Hari kalo Beli makanan di luar d momen kayak gini yah Mbak.

    Btw akupun ngga pernah kebayang si Coro bakal sampe ke Indo waktu itu kupikir cuma d Wuhan aja :(

    BalasHapus
  6. Pas awal-awal aku sempet panic buying dan pilek gara-gara sering nonton berita hehe. Akhirnya stop breaking new, sedapat nya aja dan menyaring info Teh... Alhamdulillah banyak sekali hikmahnya, suami bisa wfh, berkebun dan saya bisa senam hampir tiap hari di rumah sampe perut ada abs nya hhe... Semoga keadaan lebih baik dan kita makin sayang bumi

    BalasHapus
  7. Nggak paham sama orang-orang yang menganggap remeh covid ini. Nanti giliran tertular malah menyusahkan orang lain (keluarga), nakes, dan masyarakat. Padahal menjalankan protokol kesehatan itu nggak berat lhooo. Semoga covid segera pergi dari muka bumi ini ya. Aamiin.

    BalasHapus
  8. Iyaah bener kak, yang ada sekarang kita harus saling menjaga satu sama lain. Rajin olah raga dan menggunakan masker jika ingin keluar rumah. Semoga pandemi ini segera berakhir yaa kak. Aamiin

    BalasHapus
  9. Semoga suami Mbak bisa segera pulih dan tidak bergantung lagi kepada obat-obatan. Asli nggak enak banget bolak-balik rumah sakit mengurus orang sakit itu.

    BalasHapus
  10. Semoga kita sehat selalu ya. Karena sekarang ini menjaga kesehatan sangat penting. Yang aku rasakan di tengah pandemi ini sedih karena jauh dari keluarga. Semoga saja pandemi ini segera hilang ya.

    BalasHapus
  11. i think we life beside the pandemic mba, so we can take care not
    not afraid but more alert. Keep healthy ya Mba

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv