Rabu Sore Bareng AARC

Trotoar Jalan Asia Afrika Bandung.

Halo Sore, apa kabar? Sini, minum bandrek sama-sama di teras rumah, sambil melihat anak-anak bermain dengan gembira, sementara para ibu sibuk memanggil mereka untuk mandi sore dan menyuruh pergi mengaji di masjid dekat rumah. Tak hanya anak-anak yang beraktifitas sore, para ibu pun mulai memasak untuk makan malam atau memanfaatkan waktu untuk membaca koran pagi atau baca buku. Katanya, sore adalah waktu yang cocok untuk membuat karya, baca buku dan diskusi, karena otaknya sedang kondisi tenang. 

Seperti setiap Rabu sore, di Museum Asia Afrika Bandung, ada komunitas baca AARC (Asia African Reading Club). Mereka punya program mingguan untuk membahas salah satu tokoh pahlawan dan membahasnya dari berbagai sisi. Awalnya, saya ikut acara jalan-jalan dengan tema Napak Tilas Inggit Garnasih di seputaran jalan Ciateul sampai seputaran Alun-Alun. Selain jalan-jalan, teman saya-Kang Adew Habtsa bilang, akan ada pula pertunjukan monolog Inggit di Balai Bahasa UPI Bandung yang merupakan bagian rangkaian kegiatan Milangkala Inggit Garnasih (Milangkala, artinya hari lahir). Kesempatan ini pun saya ambil untuk mengapresiasi pertunjukan monolog Inggit Garnasih yang dibawakan oleh aktor perempuan bernama Lely Mei. Disini saya ketemu Deni Lawang, dia cerita sedikit tentang kegiatan Tadarus Buku di AARC, dia mengajak saya untuk datang: “Datanglah, ‘curi’ semangat yang ada di tiap sudut Museum Asia Afrika.” Deni Lawang, Adew Habtsa, Lely Mei adalah penggiat yang memelihara sejarah dan mengembangkan dalam beragam kegiatan seperti diskusi sore, pertunjukan, menerbitkan buku, sebagai bentuk langkah nyatanya. Selain mereka bertiga ada beberapa yang lain seperti Nizar, Pramukti. Sudah lama saya tahu komunitas AARC ini, sudah lama ingin datang, tapi anehnya, keadaan selalu tidak memungkinkan.



Program mereka rapi sekali, setiap bulan sudah ada jadwal buku tentang tokoh yang akan kami baca. Dalam 6 pekan ini dari awal bulan Februari akan tadarus dan membahas buku tokoh pahlawan Indonesia, yaitu 100 Hari Haji Agus Salim. Teknisnya sederhana, setiap minggu sudah ada tema yang diangkat, di awal sesi semua yang datang membaca buku secara bergiliran, satu halam per halaman. Begitu adzan magrib, berhenti dulu lalu istirahat sebentar untuk shalat. Setelah shalat, kami kumpul kembali, mulai mendengarkan pemateri dan diskusi sesuai tema yang diangkat. Interaksi sangat menarik, ada yang mendengarkan, bertanya, berbagi pengetahuannya, suasana pun terasa cair dan hangat. Meski waktu Tadarus Buku berlangsung cukup lama yaitu dari jam 16.45-20.30 WIB, tapi waktu terasa cepat. 


Suasana Tadarus Buku di Museum Asia Afrika Bandung.
Saya baru datang dua kali sejak awal bulan Februari itu, tapi “belajar” pada kehidupan Agus Salim, kepala dan hati ini terasa penuh dan menimbulkan pemahaman yang nyata dari makna hidup. Pertama datang di pertemuan pertama, tema yang diangkat tentang Agus Salim dan Literatur. Disini, kami dikenalkan buku-buku hasil karya Agus Salim,dari buku ini kami diberi pemahaman tentang pola hidup Agus Salim yang disiplin dan senang belajar. Dari buku-buku hasil karya Agus Salim tersebut, saya jadi tahu gaya hidup dan proses pencarian spiritual ketuhanannya.

Di ruang segi empat, sudut lorong museum, seluruh peserta seperti diliputi jatuh cinta dan ruang ‘belajar’ yang luar dan santai. Meskipun satu sama lain tak banyak saling mengenal, tapi suasana tak menjadi kaku, semua dibuat ringan dan bersahabat. Tak hanya pembicara yang menjadi nara sumber, tapi peserta yang datang bisa ikut membagi pengetahuannya. Yang tahu berbagi ilmunya, yang tidak tahu menyerap dengan suka cita.

Selesai acara selesai, kami berjalan melangkahkan kaki keluar museum dan menapak kaki di trotoar, bangunan-bangunan di Jalan Asia Afrika tampak begitu megah. Lampu-lampu kota menerangi malam dan sisa-sisa bangunan hasil intelektual Belanda membawa saya pada masa-masa perjuangan ketika tanah ini diduduki kolonial. Negeri kaya yang diperlakukan budak di negeri sendiri. Kemegahan bangunan di setiap ruang-ruang Kota Bandung seperti bicara tentang air mata dan keringat para pribumi yang diasingkan di tanahnya sendiri. Bukti sebuah ilmu pengetahuan bisa menguasai sesuatu dan pribumi semakin kehilangan hak kepemilikan.




Bandung, 6 April 2016
@imatakubesar

4 komentar:

  1. Keren juga ya, tempatku belum ada Club semacam ini, jadi kebayang gmana ya kalo diadain kayaknya sih keren, doaen Mba Ima.

    BalasHapus
  2. wah bisa dijadikan inspirasi tuh program kaya gtu

    BalasHapus
  3. di tempat saya juga belum ada program kaya gini, siapa tau bisa jadi inspirasi

    BalasHapus
  4. Keren programnya, biasa buat inspirasi

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv