Napak Tilas Inggit Garnasih

"Bandung banyak museum yang harus diberdayakan, bahkan Bandung sendiri adalah museum.  Banyak sejarah yang tertoreh di tiap sudutnya"
Ujar Pramukti.

Rumah Inggit Garnasih tampak luar. (Foto: Ima)

Sejak saya duduk di sekolah, dalam pelajaran sejarah, nama Inggit Garnasih sama sekali tidak dikenalkan. Meskipun kemudian hari namanya disematkan menjadi sebuah nama di salah satu jalan Kota Bandung. Tapi banyak penghuni Bandung tak tahu siapa Inggit Garnasih, perannya apa bagi negeri ini, hanya sebatas nama jalan. Begitu cari di buku sejarah, tak ada satu bab pun yang menjelaskan siapa dan kiprah perempuan ini. Lalu kondisi ini semakin ditegaskan dalam dialog terakhir di pertunjukan monolog yang dibawakan oleh Lely Mei di UPI Bandung tanggal 24 Februari 2016, “Aku hanya mengantarkannya ke gerbang kemerdekaan lalu menghilang menyatu dengan angin, air, tanah, menyebar dan lenyap di permukaan bumi”. Kurang lebih begitu dialog yang saya tangkap. Mendapat kesempatan melihat langsung pertunjukan ini membuat merinding dan menyentuh hati. 


Ruang depan, dihiasi foto dan lampu jaman dulu.  (Foto: Ima)





Bulan Februari Museum Sri Baduga bekerjasama dengan penggiat AARC (Asia African Reading Club) di Museum Asia Afrika di Bandung, API Bandung, Laskar Inggit, mengadakan rangkaian acara Napak Tilas dan Milangkala Inggit Garnasih. AARC dan API Bandung sebuah komunitas yang menghidupkan ruang Museum Asia Afrika. Dalam ruang ini tumbuh gerakan untuk menyebarkan semangat nasionalme. Kegiatannya proaktif mendukung aksi literasi, diantaranya, Tadarusan buku, penerbitan, konser musik Adew Habtsa, monolog dan napak tilas seperti ini. Mereka yang bergerak dan peduli dalam komunitas ini ada Adew Habtsa, Deni Rachman (Lawang Buku), Iiw, Pramukti, Lelyana Mei dan Erlyene. 


Sepertinya Februari adalah bulannya Inggit Garnasih, diangkat momen ini karena beliau lahir di bulan Februari. Ini merupakan acara Napak Tilas dan Milangkala* Inggit Garnasih ke-128 tahun di kediaman Inggit Garnasih di Jalan Ciateul No. 8 Bandung. Lokasinya tak jauh dari terminal Kelapa (Abdul Muis) dan Tega Lega. Saya mendapat informasi dari postingan akun facebook Adew Habtsa dan Deni Lawang Buku. Jam 07.30 WIB rombongan yang akan mengikuti napak tilas mulai berkumpul. Di halaman rumah sudah mulai ramai, begitupun di dalam rumah Inggit, beberapa orang yang membaca tulisan di tiap foto yang dipasang pada dinding, ada yang berfoto-foto dan menjelajah sisa rumah yang sudah direnovasi. 





Ruang baca. (Foto: Ima)
Di setiap sudut rumah ini, diberi petunjuk, seperti ruang baca, kamar tidur, tempat membuat bedak dan jamu, di setiap dinding menggantung foto-foto Presiden Soekarno dan Inggit Garnasih. Lalu ada beberapa foto kunjungan Fatmawati (istri presiden Soekarno)dan Ali Sadikin saat Inggit mulai sakit. Rumah ini seperti bercerita sendiri tentang jejak-jejak perjuangan dan cinta antara Soekarno-Inggit Garnasih. Di dinding samping, ditulis penjelasan kronologis kehidupan Soekarano dan Inggit. Tak banyak yang tahu tentang sejarah ini. Sempat terdengar obrolan antar anak SMA itu dan gurunya, mereka bertanya-tanya dan memastikan tentang sejarah Inggit, siapa Inggit dan apa hubungannya dengan Pak Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia.

Ada sekitar 40 orang berkumpul, ada anak-anak SMA dengan pakaian seragamnya, mahasiswa dan ada pula seperti saya yang senang mengapresiasi acara budaya dan sejarah. Kamipun berkumpul, mendapat sedikit pengarahan titik-titik lokasi yang akan menjadi tujuan kami. Titik bersejarah yang akan kami kunjungi dari rumah Inggit Garnasih (Jl. Ciateul) menuju Banceuy yang merupakan monument penjara yang pernah dihuni Soekarno, lalu ke Gedung Indonesia Menggugat tempat Soekarno disidang danmengajukan Pledoi pada pemerintah kolonial Belanda, lalu terakhir ke pemakaman umum di Bababakan Ciparay (Kopo) tempat Ibu Inggit Garnasih dikebumikan. Sebelum berangkat, kami menyanyikan Indonesia Raya bersama-sama, berdoa lalu dengan menggunakan bis, rombongan dibawa ke Monumen Penjara Banceuy. 



Berkumpul di halaman ruman, menyanyikan lagu Indonesia Raya
dipimpin oleh Adew Habts dan Lelyana Mei. (Foto: Ima)

Posisi Banceuy ada di pusat kota, dekat dengan alun-alun Bandung dan Masjid Agung. Karena jaman dulu, tata kota selalu memegang panduan, ada tempat ibadah, pasar, pemerintahan, penjara dan alun-alun. Begitupun dengan tata kota Bandung jaman kolonial, di pusat itu ada Masjid Agung, alun-alun, di depan alun-alun ada pemerintah kota berikut tempat orang-orang yang dihukum gantung dan penjara. Jadi, di penjara Banceuy inilah Soekarno dipenjara oleh pemerintah kolonial Belanda. Sekarang, penjara Banceuy ini sudah tidak ada karena sudah dipindahkan, disisakan satu kamar penjara yang pernah dihuni oleh Soekarno untuk mengenang perjuangannya. Lokasi penjara ini berubah wujud menjadi Bank swasta, pertokoan dan perkantoran.


Monumen penjara Banceuy.
(Foto: Ima. 2017)
Beberapa tahun lalu sekitar tahun 2007, monumen penjara ini dikelilingi pertokoan dan tertimbun jaman, sejarah hanya torehan usang dan terlupakan. Bahkan dijadikan tempat tidur gelandangan dan menjemur pakaian. Suasana kusam, berantakan dan tak dipedulikan, seperti tak ada yang tahu bahwa lokasi ini sebuah tempat bersejarah dan menyimpan proses yang panjang menuju kemerdekaan. Namun kunjungan kali ini memberi banyak kejutan, kondisi monumen berubah drastis. Pemerintah kota Bandung memberi perhatian pada hal-hal detil dan mengandung sejarah. Bangunan monumen penjara Soekarno ini menjadi lebih tertata dan terawat. Disana ada petunjuk yang menjelaskan bahwa lokasi itu adalah monumen penjara Banceuy. Ada satu ruang penjara yang sempit, hanya satu yang disisakan, dicat ulang, ada foto, bendera dan alas tempat tidur. Di halaman penjara ada patung kepala Soekarno dan tulisan sejarah di tempelkan di tiap sisi dinding. Suasana terlihat lebih dramatis dan mengundang romantisme sendiri.

Tak jauh dari Banceuy, kami menuju Gedung Indonesia Menggugat. Gedung ini tempat Soekarno di sidang atas pergerakan yang ia lakukan dalam melawan kolonial Belanda. Sidang ini sangat monumental, karena Soekarno membacakan Pledoi itu selama 2 hari. Masyarakat berkumpul, ruang sidang disesaki oleh pendukungnya. Sekarang gedung ini menjadi ruang publik yang bisa digunakan oleh siapapun untuk diskusi, kegiatan-kegiatan berkesenian, pameran karya seni, launching buku, seminar dan kegiatan kreatif lainnya.

Selesai mengunjungi gedung Indonesia Menggugat, rombongan dibawa ke pemakaman yang terletak di Babakan Ciparay, Kopo. Suasana syahdu menghampiri hati kami ketika pemandu menunjukan posisi makam yang kami tuju. Makam ini dibuat seperti pendopo, posisi makam di tengah pendopo, yang ziarah duduk lesehan. Di wilayah makam ini, ada makam anak angkatnya Bu Inggit yang kita kenal Bu Omi. Kami semua duduk dan berdoa bersama untuk mendiang Inggit Garnasih, suasana tampak syahdu. Selesai berdoa, kami dibawa kembali ke rumah Inggit di Ciateul untuk istirahat dan diskusi.



Pulang ke rumah Inggit, seperti menorehkan banyak masa lalu yang gaduh lalu tenggelam ke dasar laut. Tertelan riuh teknologi, mesin-mesin industri, kemarahan, abu-abu kota. Kami seperti tenggelam dibalik gedung-gedung dan dinding kota yang semakin menelan kami ke dasarnya. Kembali ke rumah masing-masing dengan rasa yang bersalah, saya seperti pohon yang direnggut hingga akar-akarnya. Karena terlambat mengetahui masa lalu, seperti memotong banyak energi dan tumbuh tanpa mengerti arti merdeka. 




Bandung, 29 Februari 2016

Imatakubesar

11 komentar:

  1. wah seru ya, bisa mengenal sejarah . Aku juga suka museum, perlu adtang nih ke sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru dan seru. Seperti menemukan oase.

      Hapus
  2. Baru tau ada museum ini di Bandung. Eh Bu Inggit kan dari Surabaya kan ya Mbak? Dsana kyknya ada jg ya rumahnya yg dijadikan museum, jk tak salah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rumah Ibu Inggit baru direnovasi, skrg jadi rumah sejarah. Sedangkan bu Inggit sendiri dari Banjaran Bandung. Beliau istri kedua sebelum jadi presiden, dan semasa perjuangannya Bu Inggit banyak memberi peran dlm masa2 itu.

      Hapus
    2. Rumah Ibu Inggit baru direnovasi, skrg jadi rumah sejarah. Sedangkan bu Inggit sendiri dari Banjaran Bandung. Beliau istri kedua sebelum jadi presiden, dan semasa perjuangannya Bu Inggit banyak memberi peran dlm masa2 itu.

      Hapus
  3. sy penasaran sama sistem tadarusan bukunya mba ima :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asik Des, per orang baca beberapa halaman bergantian. Abis shalat magrib lanjut diskusi.

      Hapus
  4. keren mbak artikel nya .ibu inggit garnasih adalah contoh wanita yang tangguh kuat tapi lembut di satu sisi ini lah yang harus nya kita tiru .banyak banget pelajaran yang bisa di dapat dari ibu .tapi yah begitu jasa " nya seolah di lupakan dan hanya di anggap hanya angin lalu .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Persoalan politik, seringkali beberapa sejarah seperti berusaha dikubur.

      Hapus
    2. ya benar sekali mbak

      Hapus
  5. Banyak sejarah bangsa kita yang sudah dengan sengaja dikubur mereka yang entah apa maksud tujuannya, seolah tak lagi takut dengan Tuhan.

    Salam,
    Rava.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv