Judul Buku: Sapatualang Edisi Jalan-Jalan ke Bukittinggi dan Padang
Penerbit: Stiletto Book
Cetakan/Tahun: Cetakan 1, Oktober 2025
![]() |
| Buku Sapatualang edisi Bukittinggi dan Padang. (Foto: koleksi pribadi) |
Yunis Kartika kembali mengeluarkan buku terbaru gendre perjalanan. Kali ini mengangkat judul Sapatualang edisi Jalan-Jalan ke Bukittinggi dan Padang. Melalui penerbit Stiletto Book ini, Yunis menceritakan tentang pelbagai perjalanannya di Bukittinggi dan Padang bersama suami. Perjalanan ditempuh melalui jalur darat, menyusur pulau Sumatera menuju Ranah Minang. Mereka menyetir kendaraan bergantian, saat lelah mereka pun istirahat di beberapa titik peristirahatan. Proses perjalanan yang menarik.
Yunis aktif dipelbagai organisasi, salah satunya jadi anggota Mapala Argawilis (unit kegiatan mahasiswa) saat masih kuliah di jurusan teater di ISBI (Institut Seni Bandung Indonesia) tahun 1997. Sepertinya kegiatan menjadi anggota Mapala Argawilis mengolah keberanian atau fase tumbuhnya inspirasi untuk melakukan perjalanan seperti ini. Tidak hanya melakukan perjalanan intuitif, tapi saya percaya setiap perjalanan yang dilakukannya diiringi dengan bekal ilmu dan kesiapan fisik. Terlihat dari setiap kisah dibalik destinasi yang didatanginya, memberi kekayaan pengetahuan dan nilai hidup masyarakat tersebut.
Melalui Sapatualang, perjalanan penulis ke berbagai lokasi membuka jendela pengetahuan dan mengolah rasa pembaca. Buat yang awam kota Bukittinggi dan Padang, buku ini menimbulkan kesadaran kekayaan hayati, kekuatan akar budaya, kehidupan sosial yang kaya.
![]() |
| Jam Gadang. Foto: Akun IG Yunis Kartika |
Buku seri Sapatualang ini unik, penulis menghadirkan sepatu sebagai tokoh utama. Seolah-olah sepatu menceritakan setiap langkah kakinya menuju titik-titik destinasi bersama Yunis. Dalam beberapa situasi, sepatu menjadi mata dan rasa pencerita. Sepatu menjadi tokoh perjalanan yang hidup namun pengemasannya tetap realis. Dimana si sepatu mencatat perjalanan menemani Yunis dan suaminya mengikuti petualangannya.
Bisa jadi, ide ini hadir karena Yunis memiliki latar pendidikan teater di ISBI. Sehingga muncul sisi dramatis si sepatu. Seperti muncul situasi sepatu ketika harus melewati jalan yang becek dan berlubang.
Mungkin itu sebabnya judul besar buku ini Sapatualang, gabungan dari Sapatu (sepatu, bahasa Sunda) dan petualang. Buku Sapatualang kali ini merupakan seri ketiga, Saputualang pertama yaitu Jalan-Jalan ke Bangka, lalu seri kedua merupakan catatan Jalan-Jalan ke Belitung. Kamu bisa mengoleksi ketiganya.
Catatan perjalanan dalam buku mungil namun kaya pengetahuan ini dibagi 2 bab. Bab pertama mengangkat kota Bukittinggi yang membahas 6 judul, sementara bab kedua membahas perjalanan ke Padang yang mengangkat 9 judul. Setiap judul memaparkan situasi lokasi yang dikunjungi, waktu yang ditempuh dari satu lokasi ke lokasi lain, tiket masuk ke lokasi wisata, sejarah bahkan kearifan lokal masyarakatnya.
Di Bukittinggi, kita seolah diajak melakukan perjalanan mengenal tokoh bangsa Bung Hatta dengan mendatangi museum rumah kelahirannya, mengunjungi Jam Gadang, Lubang Japang, Ngarai Sianok, Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma dan Lembah Anai.
![]() |
| Museum rumah kelahiran Bung Hatta. Foto: IG Yunis Kartika. |
Sementara di Padang, pembaca akan diajak melakukan perjalanan reflektif di Masjid Raya Sumatera Barat, Museum Adityawarman, Museum Randang Padang, Pantai Air Manis (lokasi legenda Malin Kundang), Jembatan Siti Nurbaya, Monumen Korban Gempa Padang, kuliner khas Ranah Minang, jejak sejarah Pantai Buruih sampai ditutup dengan tips lokasi belanja dan transportasi di Padang dan Bukittinggi.
Setiap kisah destinasi dipaparkan secara detil, baik kondisi fisik maupun nilai-nilai kehidupan suku Minang yang divisualisasikan dengan kata-kata. Melalui catatan penulis, kita menemukan Bukittinggi dan Padang merupakan kota yang istimewa karena identitas budaya yang dijaga kuat. Selain memelihara budayanya, masyarakat setempat memelihara bangunan fasilitas publik di Padang Lama pada masa kolonial Belanda. Ada bangunan yang didirikan pada abad ke-19, gedung De Javasche Bank pada tahun 1830, gedung perusahaan dagang pada tahun 1926, selengkapnya bisa membuka buku Sapatualang.
![]() |
| Gedung peninggalan kolonial Belanda di Padang Lama. Foto: IG Yunis Kartika |
Setiap catatan destinasi dari buku mungil ini memaparkan peradaban Ranah Minang dari segala sisi, sehingga memberi gambaran luas nilai kehidupan yang membentuk identitas masyarakat yang dikunjunginya. Sayangnya, foto yang melengkapi catatan kurang begitu jelas, karena ukurannya kecil, hitam putih dengan pencahayaan agak gelap. Meskipun begitu, cukup memberi suasana destinasi yang dikunjunginya. Buat pembaca yang mulai penasaran, bisa jadi mencari foto-foto lokasi di media sosial Yunis Kartika.
Sebagai buku travel, konsep buku ini cocok juga untuk teman perjalanan untuk mengisi suasana dan inspirasi. Ukurannya A5, kecil, bobotnya ringan karena menggunakan kertas jenis bookpaper berwarna krem, sehingga praktis untuk dibawa ke mana-mana. Meski bawa barang banyak, buku Sapatualang bisa jadi buku panduan yang diselap selip di kantung tas.
Membaca seri buku traveling Sapatualang jadi mengingatkan aku pada sepotong adegan film Notting Hill. Film komedi romantis mengangkat tema kehidupan pemilik toko buku di Notting Hill. Menjadi perhatian aku, tokonya ini hanya menyediakan buku-buku spesifik bertema perjalanan; buku-buku referensi destinasi perjalanan. Melihat settingan buku-buku di film tersebut memberi gambaran besar tentang kebutuhan buku bertema perjalanan agar kita bijak ketika menginjakan kaki di tanah orang dan bisa mendatangi lokasi-lokasi yang penting.
Melalui seri buku Sapatualang, kita diajak lebih dalam mengenal nilai budaya, alam, makanan yang mempengaruhi akar budaya setempat. Perjalanan yang diikat dengan dengan tulisan bisa bertahan lebih lama. Kumpulan kata ini menjadi estafet pengetahuan agar siapa pun yang membacanya dapat meluas hati dan pikirannya untuk terus menjaga bumi dan penghuninya.
Ima. Bandung, 13 Desember 2025




