Lihat, Dengar, Rasa: Memotret Hidup Mengikat Makna Melalui Blog



 Setiap karya menghasilkan sentuhan yang berbeda-beda karena melibatkan jati diri atas proses hidup masing-masing. –Art Space Humanika


Pertama kali saya memanfaatkan blog sebagai proses menulis saat bekerja di Tobucil (Toko Buku Kecil), sebuah toko buku alternatif berbasis komunitas.  Disana saya bertemu dan berinteraksi dengan beragam orang dari berbagai komunitas.  Salah satunya kenal dengan salah satu komunitas Food Not Bom yang kerap menyuarakan Do It Yourself yaitu melakukan kegiatan dan memenuhi kebutuhan sendiri dengan membuat sendiri.  Banyak program yang mereka lakukan mulai dari musik sampai mengolah sisa makanan layak makan dari beberapa dapur hotel, dll. 


Melalui mereka saya jadi faham fungsi blog dan bagaimana efektivitas blog bisa menghubungkan pesan dan memperkuat jaringan komunikasi antar komunitas yang memiliki vibrasi yang sama.  Tahun-tahun itu, sekitar 2002-2005 saat saya bergerak aktif di sana, komunitas menjadi wadah yang menarik dalam menampung “para pemimpi” yang kerap bergerak mengikuti kata hati dianggap minoritas di tengah masyarakat saat itu.  Seperti menjadi musisi, penulis, handmader, perupa, penggiat teater dimana peminatnya segelintir orang bahkan fasilitas pendidikan di bidang tersebut masih sedikit.



Selama beraktivitas di Tobucil, saya pun aktif latihan untuk pertunjukan teater.  Meskipun saat itu saya lulusan Ekonomi Manajemen, aktivitas saat di unit kegiatan mahasiswa membawa jiwa saya berlari pada gerbong seni pertunjukan teater.  Dengan iklim teater di Bandung-agar saya bisa bertahan hidup-harus diimbangi dengan bekerja freelance.  Karena, latihan teater pun seringkali dilakukan berjam-jam, sama halnya pekerjaan pada umumnya, mulai dari siang ke sore bahkan dari sore ke larut malam.  Saya sering pulang malam, bisa karena selesai latihan atau karena ada acara diskusi buku yang kerap diadakan sore hingga malam hari di toko.


Kalau pendapat kebanyakan orang, proses ini adalah sekadar kegiatan atau hobi, tapi buat saya proses ini bagian dari pilihan pekerjaan yang saya ambil.  Selepas beres kuliah, saya kerap diajak oleh beberapa kelompok teater yang mengasah kemampuan analisa naskah, karakter, olah sukma dan olah raga dalam mewujudkan sebuah peran/tokoh.  Pola ini terus menerus dilakukan, beres pertunjukan satu lanjut pada pertunjukan yang lain, otomatis proses ini kerap membuat otak dan hati mampu mempertajam berbagai situasi.



Bisa proses menganalisa ini banyak terpengaruh oleh kebiasaan mata saya menangkap beragam kejadian sejak kecil.  Amih sering ajak saya ke pasar atau saya memaksa Amih ikut berdagang ayam di Pasar Baru.  Menangkap riuh rendah pasar, warna suara, mengenal beragam kulit, pembawaan orang-orang yang memberi nada pergerakan berbagai karakter manusia.  Cahaya sendu dari lampu-lampu bohlam di tiap los pasar dililit sarang laba-laba menghitam dan tebal.  Sesekali laba-laba menerkam lalat yang gagah berani terbang disekitarnya, terjebak lekat, lalu perlahan kehabisan nafas. 


Sementara mata berganti pandang pada laki-laki berbadan pendek kokoh mengangkut belanjaan seorang nyonya.  Diantaranya penjual makanan dan tukang kopi berkeliling menawarkan sarapan pada tiap pedagang.  Ada yang menolak, ada yang menikmati.  Sebuah pertunjukan yang berulang, berganti peran tiap babaknya.


Wajah Bapak bergantian frame dengan wajah Amih menjadi pusat perhatian pedagang di tengah pasar, mendengung, merayap, bergerak serupa sarang tawon.  Saya kecil duduk terkesima kadang menyelusup diantara mereka untuk menyusur setiap lorong pasar yang becek, warna lampu yang temaram, bau sampah bercampur bau daging, ikan, sayur dan beragam rempah.  Beberapa sudut mengeluakan wangi makanan serupa gudeg dan kare.  Saya lebih memilih berdesakan dengan ibu-ibu yang memilih kue-kue basah.  Lalu segera kembali ke jongko ayam Bapak, kembali duduk menikmati kue basah di sebelah tolombong.





Tak hanya di pasar, hampir tiap hari rumah kedatangan tamu silih berganti.  Kadang saya mengambilkan makanan juga mendengarkan perbincangan mereka.  Kadang tamu itu menangis, kadang cerita tanpa koma dan titik.  Amih dan saya hanya mendengarkan, tak lama Amih pergi, lalu kembali sambil menyelipkan beberapa lembar kertas yang diselipkan saat salaman ketika tamu itu pamit.


Saya arahkan pandangan ke halaman rumah kerap ramai teriakan teman-teman bermain.  Segera berlari dari kedatangan tamu yang lain dengan menggunakan sandal swallow lalu ikut permainan galah asin, sorodot gaplok, disambung permainan lain di Ci Iim.  Sementara di tempat lain sekumpulan orang dewasa kerap mengolah kegiatan keagamaan untuk anak-anak, mengenalkan huruf dan mengenalkan alam.  Suasana dan kecenderungan beragam kelas komunitas ini menghadirkan karakter individu-individu yang bersifat kolektif.  Mulai dari gesture, gaya bicara, berpakaian, hingga kecenderungan sudut pandang dalam mengatasi keadaan. 


Mata, telinga, rasa, terbiasa melihat dan menganalisa hal-hal sederhana terlihat asik, dramatis bahkan romantis. 





Ditengah gegap gempita kehidupan, mata ini pun kerap ditarik meredakan diri di sawah, jalan-jalan setapak, riuh pepohonan, bambu, angin, bermain air di mata air.  Melalui nyanyian tongeret di pagi kadang sore hari, tubuh ini, hati ini, pikiran ini, pergerakan ini selalu dibangunkan dari tidur lelap bahwa diri bagian dari pergerakan alam.  Dua dunia yang ramai dan dunia yang tenang mengisi ruang-ruang kosong. 


Tubuh manusia tak lebih makhluk yang bergerak, diberi jalan karena doa-doa, harapan-harapan, mimpi yang pelan-pelan menjelma pada setiap bentuk pada waktu yang tepat pada saat jiwa kita sudah dianggap kokoh layaknya pohon yang matang bertumbuh melahirkan buah.  Kelebihan kita sebagai manusia, diberi keleluasaan untuk berfikir, meraup ilmuNya dan bagaimana melahirkan bentuknya menjadi apa.


Alam dan manusia yang bergerak diantaranya kerap memberi pembelajaran tak berkesudahan.  Semakin dipertanyakan semakin dicari lalu bergerak didalamnya.  Kejadian-kejadian pun memberi berbagai gambaran mengenai langkah yang harus dilakukan saat menghadapi kegelisahan, ragu, dilematis.  Kadang kehilangan kendali, bertentangan hingga akhirnya mengerucut pada sebuah pertemuan pada pertemuan yang sesuai pandangan diri.



Menulis di blog memberi ruang keleluasan dalam berekspresi.  Ketika saya berhenti beraktivitas teater dan berhenti bekerja, hati saya berontak, ada sesuatu yang kurang.  Kalau kembali lagi berkarya teater, rasanya tidak mungkin karena tanggung jawab domestik masih sulit ditebak.  Kondisi kesehatan saya pun masih harus dijaga karena melahirkan cesar.  Sementara kerja teater merupakan kerja kolektif jika ada satu pemain yang tidak bisa latihan efeknya produksi teater akan tersendat. 


Lalu saya mulai merunut berbagai kesukaan, hal yang bisa saya lakukan dan proses yang pernah dilakukan dengan situasi yang paling mungkin.  Rupanya proses-proses itu berakhir pada dunia menulis di media blog.  Blog menjadi wadah buat saya mengekspresikan berbagai pandangan dan sebagai laboratorium berkarya.  Dia menjadi bagian dari proses pembelajaran diri, belajar pada kesalahan diri yang berulang, kebodohan pun belajar terhadap situasi sosial yang dinamis dan beragam.


Sempat saya sendiri sering merendahkan proses-proses hidup yang dijalani dan kerap merendahkan diri.  Cenderung merasa biasa-biasa saja.  Namun setelah ada kejadian yang “luar biasa” selama bertahun-tahun sehingga saya merasa kehilangan “hidup”.  Justru ingatan masa kecil, ingatan saat berteater, ingatan kegiatan-kegiatan lain di masa lalu menjadi referensi dan memperkokoh dalam menyerap berbagai tanda lalu hadir dalam bentuk semangat-semangat hidup lalu melahirkan tulisan.


Saya cenderung pelupa, tulisan-tulisan di blog cukup sering membatu dalam proses merunut dan menganalisa masalah dalam melahirkan beragam solusi.  Tak hanya merumuskan masalah, namun langkah dan tindakan yang harus dilakukan kerap melibatkan intuisi dan memahami waktu yang pas dalam mengambil langkah.  Proses-proses itu justru yang menggiring dan membantu saya bertahan dan proses menulis kembali.


Hey, pencipta blog dan orang-orang yang berhasil bertahan dengan nge-blog, selalu berkarya dan terus belajar pada hidup. 

Salam.

21 komentar:

  1. Kisah2 kehidupan setiap manusia yang menggambarkan potret kehidupan layak dituangkan dalam sebuah rangkaian kata indah ya Ima.
    Seperti tulisan ini penuh dengan makna terdalam sisi kehidupan. Ah, semoga saja dengan menulis di blog dapat menjejakan cerita dan memaknai arti serta mengambil hikmah dari kehidupan itu sendiri. Semangat berkarya, yuk!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kehidupan manusia itu indah, semakin jeli, semakin banyak hal yang bisa kita rasa. Siap, Teh Nchie, semoga karya-karya kita selalu tumbuh dan menumbuhkan.

      Hapus
  2. Semangat selalu ya Mba dan untuk semuanya para penulis dan pecinta blog. Tuangkan semua buah pikiranmu, jangan ragu, tuliskan saja, biarkan mengalir sampai jauh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah, semoga ilmu kita semakin bertambah dan bermanfaat, ya, Mba. Nuhun sudah mampir...

      Hapus
  3. filosofis banget mbak, tulisannya. Keren


    Ternyata banyak sekali makna-makna hidup yang bisa kita pelajari di dalam menulis blog

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, nuhun, mba. Kehidupan bisa jadi guru, bisa jadi ilmu, menuliskan kembali semacam mengikat ingatan agar jadi doa kebaikan.

      Hapus
  4. Udah lama banget berarti kenal sama blog ya. Kelihatan dari tulisannya enak banget untuk dibaca. Mengalir santai gitu. Dari ngeblog banyak banget memang sisi positif yang bisa kita dapat.

    BalasHapus
  5. Sangat dalam tulisanmu, saya sedang menganalisa proses perjalananmu untuk menjadi blogger yang sarat dengan pengalaman hidup untuk memenuhi jiwamu. Tulisannmu benar-benar dalam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hatur nuhun, Teh Ina, semoga dapat memetik hikmah dan ilmunya. Nuhun

      Hapus
  6. Aduh, rasanya jarang sekali baca tulisan blog yang estetik begini. Sungguh menghapus dahagaku yang lama kering diterjang bacaan-bacaan .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah, alhamdulillah... "tulisan blog estetik". Indah sekali. Nuhun, Ja.

      Hapus
  7. Baru tau kalo teh Ima pernah di tobucil

    Sayapun senang merekam sekeliling trus menulis karena banyak sisi lain dibanding cuma baca buku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Generasi lama, Bu, sekitar tahun 2002-2005, zaman di Trimatra dan Kyai Gede. Hehe...

      Merekam sekeliling ini luar biasa ya bu, kadang perlu diksi yang tepat untuk menuliskan dan kita dapatkan juga suasana yang kita rasa.

      Hapus
  8. waahh kakak pernah kerja di TOBUCIL? tapi saya baru kenal komunitas tobucil setelah kenal suami sekitar tahun 2010an karena beliau anak komunitas juga cuman di dunia musik indi, hehe. btw, saya jadi kangen menulis di blog dengan bahasa mendayu dayu seperti kakak. indah sekali. semangat ngeblog kak!!

    BalasHapus
  9. Sedang naik turun nih mbak nge-blog nya gegara tagihan invoice blog yg membludak *curhat

    Perjalanan kisahnya menarik bgt ya mbak ima, bisa banget biar cerita anak cucu nih. Menulis blog jg menjadi salah satu jalan yg membuatku percaya diri ketika ditanya org tentang kesibukan ku.. Seneng rasanya ketika jawab 'sibuk ngeblog', hihi

    yuk ah tetep semangat lg

    BalasHapus
  10. Beberapa waktu terakhir saya sempat merasa demotivasi buat ngeblog karena terbawa tekanan blog harus begini begitu. Apalagi saya juga bukan tipe yang konsisten menulis tiap hari. Pada akhirnya hanya kecintaan pada dunia menulis kayaknya yang membuat kita bisa terus bertahan di dunia blog ya

    BalasHapus
  11. Aku baru btay istilah tobucil hehe.
    Alhamdulillah ya Mbak dianugerahi fisik sempurna sehingga bisa menyerap setiap pesan dala. kehidupan dengan maksimal. Lalu menuliskannya di blog, menjadi r jam jejak dan pembelajaran bagi yang lain juga

    BalasHapus
  12. Menarik kisah nge-blog nya, mbak.. Aku kenal blog sejak kuliah dan bahkan pernah bikin blog sebagai tugas kuliah. Tapi masih ga menyangka bisa dapet cuan dari nge-blog

    BalasHapus
  13. Samaan teh, aku kuliah ekonomi manajemen, tapi sukanya maen teater kok. Yuk ah terus berkarya dengan ngeblog

    BalasHapus
  14. banyak manfaat yang didapatkan dari blog, selain kenal teman-teman baru, melatih kemampuan menulis juga bisa menambah penghasilan. Sayangnya saat ini semangat ngeblog saya sedang jatuh ke titik nadir, hiks :(

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv