Belajar Teater Belajar Kehidupan

Seseorang pernah bilang-maaf saya lupa namanya-begini,”Kalau kamu ingin belajar seni, maka datanglah ke Bandung, Jakarta, Yogjakarta atau Tasikmalaya. Kalau kamu belum kesana tidak afdol, pelajaran seni kamu belum khatam.” Bisa jadi benar bisa salah, bisa jadi ada persepsi begitu karena di Kota Bandung salah satu gudang ilmu seni. Kenapa saya berani mengatakan bahwa seni adalah sebuah ilmu, karena di Bandung banyak institusi yang mengkaji ilmu seni dan desain. Diantaranya, ITB (Institut Teknologi Bandung), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), UNPAS (Universitas Pasundan), STSI sekarang ISBI (Institut Seni Bandung Indonesia), STDI, Maranatha, Widyatama, ITENAS, Universitas Telkom. Dan jangan lupa, di Bandung banyak sanggar-sanggar, kantung budaya, ruang-ruang budaya, ruang diskusi, galeri, tempat pertunjukan yang kemungkinan langka di kota lain. Atmosfir berkesenian dan berkarya lainnya di Bandung sangat mendukung. 

Mungkin karena pendidikan inilah, orang-orang yang hidup di Bandung kreatifitasnya tak terbatas, berani berekspresi dan berani mewujudkan idenya. Kota ini memberi aura yang berbeda dalam melahirkan karya seni. Bandung menjadi kota yang hidup, berkarakter dan punya jiwa.


Kebetulan, saya lahir di Bandung, sejak kecil pernah diajak ke acara-acara pertunjukan teater dan melihat orang-orang latihan teater di halaman rumah. Tak hanya itu, kadang-kadang, saya suka melihat orang-orang mengekspresikan gambarnya di atas kanvas, pertunjukan-pertunjukan di panggung budaya dan datang ke acara pasar seni yang sering di gelar di setiap sudut kampus. Keindahan seni ini telah saya nikmati sejak kecil, bisa jadi karena pengalaman visual saat dini, muncul keinginan untuk bisa keliling Indonesia bahkan dunia untuk menikmati berbagai pertunjukan maupun pameran seni di berbagai tempat. Bahkan kalau bisa, saya ingin bisa menjadi pelaku mendapat kesempatan keliling dunia sambil berkarya. Ini keinginan masa kecil saya yang tak berani saya tunjukan ketika saya tumbuh remaja. Berjalan dengan waktu dan pertemuan dengan berbagai teman-teman di SMA, orientasi saya berubah yaitu ingin kuliah agar mudah mendapat pekerjaan. Haha! Standar banget, kan.

Tapi saat masuk di dunia kuliah, wawasan dan lingkungan kampus membuka banyak hal. Energi masa kecil ini muncul lagi dan mengarahkan saya untuk masuk ke unit kegiatan teater di kampus UNISBA yaitu STUBA (Studi Teater Unisba) pada tahun 1997. Saya masuk kuliah tahun 1996, tapi mulai beraktifitas di unit kegiatan teater pada tahun 1997. Masa berteater itu masa yang sulit dilupakan karena telah memberi banyak manfaat pada kehidupan saya dikemudian hari, bahkan di dunia yang sekarang saya geluti yaitu blogger. Kehidupan saya tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman dalam berteater dan berkesenian di Bandung. Banyak stimulus dan peristiwa teater yang membuat khazanah pengetahuan meningkat. Dalam teater belajar kami belajar respon merespon dan berinisiatif tinggi, saling mengisi, impovisasi untuk menanggulangi kesalahan di atas panggung, menyelesaikkan masalah tepat waktu, menyelesaikan masalah sesederhana dan setepat mungkin. Proses ini memberi efek, bekal yang sangat berarti yang bisa diterapkan di kehidupan nyata.

Saya mau cerita tentang atmosfir seni pertunjukan (teater) sekitar tahun 1997-2005, karena di pertengahan tahun 2006 saya berhenti main teater. Sebuah pengalaman dan situasi yang unforgettable moment Bandung pisan yang menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Mungkin buat orang-orang yang baca tulisan ini biasa saja, karena setiap orang pasti punya pengalaman batin dan orientasi yang berbeda-beda. Tapi buat saya yang pemalu, pengalaman ini sangat berharga, karena ini yang membukakan sudut pandang kehidupan untuk saya, termasuk memunculkan keberanian dan energi berkarya yang terpelihara hingga sekarang.

Masuk ke kehidupan berkesenian teater seperti membukakan pintu kehidupan, energi saya benar-benar dikeluarkan atas nama seni, berbagai pertunjukan dan kesungguhan hidup. Kehidupan menjadi lebih berwarna. Dalam setahun, saya bisa terlibat untuk beberapa pertunjukan dan kegiatan kampus lainnya. Seperti bisa mengatur waktu latihan untuk pertunjukan, menggarap acara taaruf kampus sambil kuliah, dll. Tidak tahu energi dari mana, saya seperti kecanduan untuk main teater dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya. Bahkan ketika latihan teater sambil kuliah, membuat hati saya lebih seimbang. 

Foto: Dokumentasi Stuba, 1997.


Foto: Dokumentasi Stuba.
Tahun 1997, saya mulai mengikuti diklat selama setahun, disana kami harus ikut program latihan-latihan rutin seperti olah tubuh, olah sukma, pemeranan, kajian naskah, mempelajari musik, make up dan kostum, manajemen produksi lalu semua pelajaran itu diaplikasikan dalam bentuk ujian akhir berupa resital teater. Sejak itu saya mulai dilibatkan baca puisi di berbagai momen untuk melatih keberanian dan percaya diri, serta mengenal yang namanya persiapan latihan untuk sebuah pertunjukan. Karena di unit kegiatan ini, resital menjadi kunci lulus tidaknya menjadi anggota.

Saat itu saya baru tahu, ternyata untuk membuat sebuah pertunjukan teater bisa memakan waktu lama. Rata-rata 3-4 bulan, tapi saat kami membuat resital teater memakan waktu lebih lama yaitu sampai 9 bulan. Bisa jadi karena ini pun bagian dari rangkaian diklat, karena semua proses kami pelajari bertahap dan dari nol, seperti reading, pendalaman tokoh, membuat kostum, membuat artistik, mempelajari make up karakter, menjalin kerjasama penonton, mencari dana dan banyak lagi. Rasanya hampir setiap hari kami datang ke dapur-sebutan tempat ngumpul anggota UKM teater yang disediakan oleh kampus. Di dapur selain mempelajari banyak hal tentang teater, kami pun sering diajak diskusi, pengarahan, berbagi pengalaman dan berbagi banyak hal. Ketika ada pertunjukan di kampus-kampus lain dan gedung pertunjukan, sebagai anggota baru, wajib nonton sebagai bahan studi pertujukan dan hasil analisanya wajib dituliskan.

Pertunjukan pertama saya dalam resital ini mengangkat naskah Kalijaga, saya berperan menjadi ibunya Kalijaga, ini pertunjukan teater pertama saya. Meskipun mendapat peran sedikit, tapi latihannya setengah mati. Semua pesan sangat terpatri: “Tidak ada peran besar atau kecil, semua pemain punya kapasitas yang sama dan sama-sama penting. Karena dalam teater semua kerja kolektif dan saling melengkapi. Kalau tidak ada satu orang maka pertunjukan tidak akan jalan.” Jadi tak ada alasan buat kami latihan bolong-bolong, karena ini sangat mempengaruhi aura latihan. Rupanya, proses latihan sehari-hari terasa beda ketika sudah didukung dengan kostum, musik, tata cahaya, artistik panggung yang dramatis, menjadi sangat nikmat dan indah menjadi tontonan. 

Ketika masuk tahun 1998, terjadi sebuah momen yang bersejarah, dimana saat itu masyarakat sudah kesal ketika Soeharto diangkat menjadi presiden untuk kesekian periode. Maka terjadilah reformasi yang berpengaruh pada kehidupan di masyarakat. Pemerintah yang bebal terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), membuat negeri ini dikuasai oleh golongan tertentu saja. Kegelisahan dari orang-orang kritis semakin muncul karena kondisi KKN ini terjadi pembiaran, pemakluman, mengakar, tumbuh segar dikalangan Orde Baru dan mau tidak mau membudaya di masyarakat.

Proses resital ini agak tersendat, eksistensi mahasiswa pada kegiatan pertunjukan berkurang karena perhatian tertuju pada suasana pelengseran Presiden kedua Indonesia yaitu Pak Soeharto. Setiap iklim di kampus menjadi panas, tiada hari tanpa demo, tiada hari tanpa performing art, jeprut, seni jalanan hingar dimana-mana dan setiap ruang publik dipenuhi jadwal diskusi menuju diskusi lainnya. Seni menjadi jembatan kegelisahan komunikasi masyarakat yang dipendam sejak lama, para seniman membuat karya yang sesuai jamannya. Di ruang-ruang perkuliahan, para dosen membebaskan mahasiswanya untuk keluar kelas dan menyarankan untuk mengapresiasi momen bersejarah ini, ketika ada long march mahasiswa dari satu titik ke gedung pemerintah. Kampus-kampus menjadi ruang-ruang orasi budaya, saat itu di UNISBA pernah datang Alm. Harry Roesly dan Sri Bintang Pamungkas melakukan orasi budaya. Saat itu, semua kegelisahan menularkan banyak keberanian, sebuah gerakan yang tak terbendung keluar dari berbagai ruang-ruang institusi pendidikan. Bahkan, rektor UNISBA pun bergabung dengan mahasiswa ikut angkat bicara dan mendukung mahasiswa untuk turun jalan.

Suatu malam, di Jalan Purnawarman yang merupakan salah satu pusat kota Bandung, tepatnya di gedung GMNI (sekarang pertokoan BEC-Bandung Electronic Center), menjadi salah satu tempat pertunjukan monolog “Marsinah” oleh Ratna Sarumpaet. Monolog ini dikejar oleh pengapresiasinya, karena merupakan salah satu pertunjukan yang dicekal pada masa Orde Baru. Ini salah satu pertunjukan yang tak terlupakan dan monumental,karena menceritakan seorang buruh perempuan yang berani melawan pada pengusaha lalu dibunuh dengan keji. Marsinah lenyap dengan kondisi yang memilukan, tapi pengadilan tutup mulut. Ini hanya satu dari sekian kasus yang terjadi di tanah air, hukum tanah air yang dimanfaatkan oleh kalangan politisi dan pengusaha. Saat itu, pemberitaan dan pertunjukan yang mengungkapkan kebenaran dari masyarakat masih dianggap tabu dan seolah menjadi gerakan perlawanan dan meresahkan pemerintah maupun pengusaha. Saya bersama teman-teman menonton pertunjukan ini, suasana sangat tegang karena dimana-mana dijaga kesatuan kepolisian. Memang, jaman itu kelompok seni, komunitas atau perkumpulan-perkumpulan mahasiswa sering dipantau pergerakannya. Bandung menjadi salah satu kota kritis dan membangun keberanian untuk sebuah pergerakan.  Dititik ini saya mengerti, bahwa seni bisa menjadi alat yang ampuh untuk membuat sebuah pergerakan, karena ia mampu menularkan kejadian maupun sejarah dengan rasa.   Tahun 1998, Presiden Soeharto pun turun, kondisi politik dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan sehingga membuat situasi di Indonesia serba kacau.

Tahun 1999, iklim politik masih tidak menentu. Karena orang-orang mulai gagap terhadap perubahan politik dan iklim pemerintahan. Reformasi seperti jadi ajang kebebasan yang sulit dikendalikan oleh beberapa kalangan. Masa itu, masyarakat kita seperti air soda yang dikocok, saat dibuka tutupnya isinya menyebar kemana-mana. Hukum dan undang-undang berantakan, pemerintahan cari aman menjadi sosok reformis.

Ketika kondisi perpolitikan tak menentu, ketika itu pun gairah pertunjukan-pertunjukan dan penontonnya seperti kehabisan energi karena menaruh perhatian pada kondisi politik, ekonomi, pertikaian antar ras yang tak stabil. Meskipun begitu, saya bersyukur masih bisa terlibat di beberapa pertunjukan dengan kelompok teater kampus dan kelompok teater Bandung lainnya. Tema-tema pertunjukan yang diangkat masih seputar kondisi politik, masyarakat dan pemerintahan saat itu, meskipun apresiasi masyarakat ke dunia pertunjukan teater makin surut tapi karena cinta pada teater, semangat itu tetap tumbuh dan kesempatan selalu ada. Pengalaman berteater dengan kondisi politik seperti itu menjadi situasi yang abstrak, menarik juga menekan.

Meskipun kondisi tak stabil, ajakan dari teman-teman yang kreatif untuk terus berkarya selalu ada. Dan yang paling saya syukuri, teman-teman selalu mengajak saya untuk terlibat di beberapa pertunjukan, sebagai pemain maupun pimpinan/tim produksi. Untuk mewujudkan sebuah pertunjukan dan kegiatan kesenian adalah sebuah bentuk pemeliharaan budaya agar tidak terbawa arus yang tak menentu.

Sejak masuk Stuba kesempatan bermain dan terlibat dalam beberapa pertunjukan teater menjadi terbuka, seperti ketika Kang Oban (kakak angkatan di Stuba) membuat naskah teater berjudul “Kholdi” saya diajak menjadi pemain dan bendahara pementasan itu. Selain membuat naskah, beliaupun menyutradarai pertunjukan tersebut. Peran yang tidak biasa buat saya, karena menjadi sosok yang bisa membebaskan karakter dan gerakan. Proses pencarian gerak dan kostum selalu eksplore hingga detik-detik akhir pertunjukan. Lalu, datang ATB (Apresiator Teater Bandung) mengajak kerjasama dengan Stuba untuk menggarap naskah “Bla… Bla… Bla…” yang disutradarai oleh Kang Agus Safari. Melalui Kang Agus saya mempelajari pola penyutradaraan yang menarik. Karena kami diberi tahu cara pencarian bentuk karakter tiap tokoh menjadi beragam. Proses ini membuka banyak pengalaman pertunjukan dari satu gedung ke gedung, dari kota ke kota. Tahun berikutnya, saya diajak menjadi pemain lagi di sebuah pertunjukan eksistensialis berjudul “Antigone” yang disutradarai oleh Haikal Agung. Beliau mengangkat naskah Yunani dan melewati proses latihan yang mengasah kepekaan dan pencarian bentuk yang eksploratif. Selanjutnya, diajak menjadi aktor dalam menggarap naskah “Mogok Asmara” atau judul aslinya “Lysistrata” yang disutradarai oleh Kang Irwan Guntari. Dan banyak lagi. Melalui pertunjukan-pertunjukan ini, membawa saya dan teman-teman bisa pentas di kampus-kampus, Gedung Pertunjukan Dago Tea House Bandung, Gedung Kesenian Surabaya, Gedung Kesenian Dadaha Tasikmalaya, dan lain-lain.

Melalui teater, impian masa kecil itu sedikit demi sedikit terbuka, mengenal satu kota dengan kota lain sambil berkarya. Sebuah pengalaman indah dan tak terlupakan. Setiap produksi satu teater, masing-masing mempunyai pengalaman batin, ilmu dan proses kreatif yang berbeda-beda.

Tahun-tahun itu adalah tahun yang paling berharga, banyak sekali manfaat dari berlatih teater, memproduksi pertunjukan memberi bekal setiap unsur kehidupan. Pengalaman dan kekuatan mental berkarya bisa diterapkan dalam segala unsur pekerjaan dan kehidupan kini. Pengalaman berteater adalah belajar hidup. Melalui teater membuka banyak sudut pandang dan arti kebahagiaan hidup. Karena diadalamnya kami mempelajari dan mengenal kehidupan dari satu naskah ke naskah, dari satu kelompok kerja ke kelompok kerja lainnya. Bagaimana kami bisa lebih memahami dan menyatukan diri dengan lingkungan dengan melatih olah sukma. Hal yang paling hebat lagi yang saya rasakan, terlibat dari satu teater ke satu pertunjukan teater lain menjadi bekal yang bergizi dalam membuat sebuah kehidupan terkecil yaitu keluarga. Itulah, yang membuat saya sulit melupakan iklim dan kondisi berkesenian yang begitu kental di Bandung.

Bandung, 27 Februari 2016
Imatakubesar


11 komentar:

  1. seruuu yaa Imaa main teater..
    dulu pernah liat temen yg lagi latihan meni pengen ketawa, bodor, tapi salut sama ekspresinya..

    Hayoo ima , main teateer ntar aku pengen nonton

    BalasHapus
  2. luarrr biasa teteh.. :)
    aku pun dari dulu pengen main teater tapi nggak pede..
    terus akhirnya ikutan lomba teater pas di kuliahan sama anak2 bandung, eh menang hahaha.. seru yahhh.. :D

    BalasHapus
  3. Wih keren Mbak pengalamannya berteater. Saya selalu kagum melihat para pemain teater yang bisa menghilang sekaligus hadir dalam perannya.. Semoga sukses ya Mbak giveawaynya.. :)

    BalasHapus
  4. Sesekali adain blogger Bandung ain teater, seru kayaknya, dulu waktu SMK aku beberapa kali ikut main teater dan emang seru banget

    BalasHapus
  5. Aku belum ada pengalaman tentang teater pernah kecil-kecilan aja waktu SMA sama kuliah dan itu pun gak pede :D

    Moga sukses ikuta ga nya

    BalasHapus
  6. Inget zaman latihan di ccl, nggak nyangka khan aku yg kalem dan imut ini pernah ikut teater, #janganmuntahya hihihi

    BalasHapus
  7. Inget zaman latihan di ccl, nggak nyangka khan aku yg kalem dan imut ini pernah ikut teater, #janganmuntahya hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hey,main-main le CCL lagi atuh, tiap hari Sabtu suka ada latihan rutin. Ih, kamu kereeeen.

      Hapus
  8. Main theater itu harus pake "hati" ya teeeeh

    BalasHapus
  9. saya pingin lagi main teater, waktu sekolah di Sukabumi aktif banget

    BalasHapus
  10. Toss Ima. Aku juga banyak mengalami perubahan cara pandang, pemikiran, dan tentunya hidup karena teater. Kangen main dan nonton teater lagi. Uhuhuhuhu....
    Makasih udah ikutan GA saya. :)

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv