Mengoptimalkan Industri Kreatif di Era Digital

1

Tanggal 31 Mei 2018 lalu, JNE sebagai penyedia jasa logistik mengadakan Focus Group Discussion (FGD). Tema yang diangkat menarik sekali, Bersaing Secara Global Dengan Industri Kreatif. Pembicaranya pun banyak, ada Agung Suryamal (ketua kadin Jawa Barat), Slamet Aji Pamungkas (Kasubdit Pengembangan Kota Kreatif Badan Ekonomi Kreatif), Rimma Bawazier (Enterpreneur Fashion), Eri Palgunadi (VP of Marketing JNE), Setiaji (Chairman Supply Chain Indonesia) dan sebagai moderator yaitu Hendra Wibawa (Redaktur Bisnis Indonesia Pembicara). Masing-masing pembicara itu mengutarakan perpetaan dunia ekonomi kreatif, logistik, pemerintah dan perkembangan dunia digital dalam menghadapi era globalisasi. Sore itu para narasumber memaparkan masing-masing bidang yang digelutinya selama 10 menit dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Uraiannya sangat mencerahkan, kita semakin faham bahwa persaingan global bisa dikendalikan jika semua sektor saling mendukung.

2

Perkembangan teknologi membuat perputaran ekonomi bergerak cepat. Situasi ini dapat dilihat semakin banyak informasi produk maupun jasa bertebaran dan menjadi begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kondisi ini terasa sekali begitu muncul media sosial yang begitu hdup di tengah kehidupan masyarakat. Percepatan komunikasi terjadi begitu lugas, satu individu dengan individu yang lain saling mempengaruhi dan memberi berbagai pengaruh. Situasi ini harus disadari oleh berbagai sektor agar pertumbuhan industri kreatif bergerak dan saling memberi dampak pada berbagai unsur. Hal ini didukung dengan adanya pertumbuhan teknologi yang diterima oleh masyarakat. “Industri kreatif sangat memberi peran dengan instrumen media sosial.” Begitu menurut Ketua Kadin Jabar Bapak Agung Suryamal. “Sektor yang unggul di Bandung diantaranya handy craft dan digital.” Lanjutnya. Di Bandung, kedua unsur ini bergerak beriringan. Dunia digital mendukung pertumbuhan dunia kreatif sehingga berbagai karya dapat diketahui oleh masyarakat banyak, menginsiprasi maupun menarik minat para konsumen. Iklim ini tentu harus didukung oleh berbagai sektor, diantaranya pemerintah, swasta, masyarakat yang peka dengan keadaan.

Kreatifitas itu sebuah bentuk usaha masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang. Ide tidak pernah mati, dan ide ini akan hidup jika semua sektor mendukung. Tercatat pada tahun 2016, nilai eksport industri kreatif mencapai $ 20 milyar. Pada tahun ini, 2018, diharapkan meningkat menjadi $ 40 milyar. Disinilah peran industri kreatif mendorong produk UMKM melakukan eksport dan dimonetisasi, sehingga bisa bersaing dengan produk dari luar negeri. Di Amerika, ekonomi kreatif pendapatanya lebih besar dari penjualan. Ekonomi kreatif itu beragam, ada craft, fashion, seni, kuliner. Namun ada 3 isu strategis yang kurang mendukung ekonomi kreatif ini dapat berjalan dengan lancar, diantaranya:

  1. Sumber daya manusia: pendidikan manusia kurang mendukung.
  2. Pemasaran: masih banyak produk yang belum di monetisasi.
  3. Riset dan edukasi masih bermasalah, contohnya banyak generasi muda yang risetnya belum berkembang.
  4. Permodalan.
  5. Infrastruktur.
  6. Regulasi.
  7. Kreasi & berfikir.
Contoh yang terjadi di masyarakat, komunitas animator berharap BeKraf bisa mengusahakan televisi nasional bisa menayangkan animasi lokal. Diharapkan televisi nasional dapat menayangkan –setidaknya-1 jam saja selama seminggu animasi hasil karya orang Indonesia. Karena terlalu banyak animasi asing yang sudah masuk ke televisi nasional. Dan ternyata kerjasama izin usaha itu tidak berhasil karena ada mekanisme pasar. Berhubungan dengan JNE, salah satunya bagaimana rantai nilai ekonomi kreatif, dimulai dengan kreasi, berfikir, mulai memproduksi dalam memproduksi butuh modal dan sebagainya. Salah satu fungsi JNE banyak sekali program-program ekonomi kreatif yang sudah punya produk tapi terhambat dengan ongkos kirim. Industri kreatif ini perlu konservasi, karena sekarang ini tidak banyak anak muda yang mempelajari keahliannya untuk mengolah sebuah karya. Contohnya pembuat wayang yang kerap mengeksport karyanya ke Eropa, menurut pengakuannya, anak muda kita tidak banyak yang belajar membeuat prosuk-produk keratif (kriya) seperti wayang dan keramik. Justru, orang-orang yang belajar membuat wayang banyak dari luar negeri. Jadi bisa saja suatu hari, 20 tahun kedepan, kita tidak bisa menemukan wayang di Indonesia tapi menemukan wayang di Eropa. Oleh karena itu, konservasi ini sangat penting untuk memelihara industri kreatif di tengah masyarakat. BeKraf terhambat dengan sumberdaya, dana, sehingga tidak ada perpanjangan tangan dengan daerah-daerah. 2015 insyaallah salahs ayaratnya ada 4 syarat, emmepertahankan ekomi kreatif harus didukung oleh 5 aktor:
  1. Akademisi: butuh sekali untuk riset
  2. Pembisnis: pembisnis untuk mendukung 
  3. Komunitas: hasil riset akademisi itu mengakat riset para komunitas
  4. Pemerintah membantu dengan regulasi, sebagai sarana ruang sendiri

Situasi ini diakui oleh Rimma Bawazier yang sudah bergelut bertahun-tahun di dunia fashion. Beliau berbagi pengalaman mengelola 2 brandnya( Kaima Malabis dan Syakila Modes) dengan BeKraf dan peran penting JNE sebagai media kirim produknya ke konsumen. Perkenalan Rimma dengan dunia fashion dimulai dari sering ikut ibunya ke Tanah Abang untuk membeli baju muslim dan dijual kembali. Rupanya usaha ibunya ini menarik minat Rimma untuk mengelola usaha yang sama, yaitu dunia fashion. Sejak lulus SMA, Rimma diterima PMDK di IPB, namun dengan pertimbangan Ibunya, Rimma kuliah D1 di bidang fashion. Pada tahun 2010, Rimma membangun Hijaber Community, ternyata banyak yang punya bakat seperti Rimma di bidang baju busana muslim. Melalui komunitas ini sering melakukan fashion show muslim kecil-kecilan. Kaima Malabis semakin berkembang, tadinya membuat baju made by order jadi ready to wear. Begitu muncul sosial media usahanya ikut meningkatkan penjualannya. Dalam proses perjalannya, banyak sekali naik turunnya, seperti di bulan Ramadan biasanya harus melakukan produksi 3-5 kali lipat. Setelah Idul Fitri, penjualan pun sepi kembali dan mulai musim haji naik lagi. Banyak cara meningkatkan penjualan dengan melakukan kerjasama dengan e commmerce, influencer, dan membuat berbagai event. Persoalan sekarang yaitu penjahit yang bagus itu ada di pelosok-pelosok, seperti di Tasikmalaya, Garut, dan yang menjadi penjahit ini orang-orang yang sudah tua. Sulit sekali menemukan anak muda yang menjadi penjahit, mereka memilih menjadi desainer fashionnya. Selain penjahit, persoalan yang muncul yaitu banyak juga bahan baku mahal karena bahan baku yang dibutuhkan hasil import. Tantangan yang lain adalah Rimma bisa menghasilkan produk baru 4 bulan-5 bulan sekali. Tapi begitu dikenal dipasaran, hasil desainnya itu dijiplak oleh masyarakat dan dijual dengan harga murah. Sehingga cara mengantisipasinya dengan mengeluarkan produk baru 1 bulan sekali. Sekarang ini Rimma bekerjasama dengan desainer-desainer, sehingga produknya selalu baru. Kemudian ada kesempatan mengajukan kerjasama dengan BeKraf untuk fashion show di Chicago, ternyata terpilih. Berangkatlah Rimma ke Chicago dengan BeKraf untuk mengikuti acara Islam Internasional Fashion Fair in Chicago tahun 2016. Di Amerika banyak sekali pendatang muslim dari Iran, Irak, Bangladesh. Banyak sekali booth-booth disana masih berupa abaya hitam, gamis india. Rupanya hasil desain muslim dari indonesia itu modelnya beragam sekali, mulai dari celana, baju yang miring sebelah, mereka melihat fashion desain di indonesia sangat maju. Produk busana yang tidak harus longdress tapi top bottom memakai kerudung, warna nya beragam. Mereka antusias dengan produk Indonesia. Jadi melihat ini, produk karya desainer Indonesia sudah mulai bisa diterima di ranah internasional, diharapkan fashion muslim indonesia bisa menjadi trend fashion muslim dunia di tahun 2020. Kreatifitas dan desainer indoneisa tidak kalah dengan fashion global, tapi masalahnya kemungkinan produk-produk fashion Indonesia ini bisa diserap oleh khalayak internasional. Salah satu hal yang penting industri yang mendukung upaya ini yaitu kurir, logistik seperti JNE.

5 

Perkembangan bisnis dunia kreatif 10 tahun ke belakang ini berkembang pesat, di antara rentang waktu 2007 hingga 2018, terutama ketika ada peran digital marketing dan perkembangan e-commerce yang menarik banyak minat. Pelaku usaha semakin beragam, dari mahasiswa, pekerja kantoran hingga ibu rumah tangga yang memanfaatkan dunia digital sebagai media usahanya. Setiap orang bisa menjadi enterpreneur dan ini terbukti oleh pengakuan Bapak Eri Palgunadi yang sering dialog dengan para pengirim barang melalui JNE. Uniknya mereka menjual barang hasil karya sendiri atau hanya menjualkan produk punya orang lain. Diantara mereka banyak yang memanfaatkan komersialisasi produk di dunia digital. JNE yang mempunyai peran logistik sangat menarik melihat fenomena ini. JNE mulai dengan membangun departeman sosmed sendiri untuk memahami generasi mmilenial dalam melihat proses bisnis yang berimplikasi pada proses bsnis. Yang terjadi hampir satu dekade terjadi polarisasi 3 pilar e-commers, produk bisa masuk pasar global:

  1. Logistik 
  2. Solusi pembayaran yg cukup baik 
  3. Pemasaran: tokopedia, buka lapak, membangun kluster-kluster influencer, kluster komunitas, dll, dan berpengaruh pada JNE. 

 Sebagai gambaran, sejak jembatan Suramadu ada, kita bisa cut cost yang tadinya 100% jadi 70%, tentu ada efeknya. Bandara husen saja, banyak penerbangan langsung dari Bandung sudah ada. Pembangun logistik memberi efek yang baik terhadap proses pengiriman. Dalam 10 tahun ini, banyak proses perbaikan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti rencana pemerintah membangun bandara di daerah Purbalingga. Perlu disaradi bahwa di Purworejo banyak menghasilkan ikan bawal, sehingga JNE membuat kantor di Semarang untuk memfasilitasi itu. Melihat perkembangan jual beli sekarang sangat luar biasa setelah adalah digital marketing. Dengan itu JNE selalu membuat inovasi-inovasi pelayanan seperti antar produk di hari yang sama.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv