Hujan Sore Itu

Suatu hari.  Foto: Ima

Sunyi sore itu, dingin melekat, membalut ruang. Di lantai tujuh, di balik jendela, di balik tirai, beriringan bersama denyut mesin jantung, hujan runtuh menuju bumi. Hingga asap yang menggumpal membungkus setiap denyut kota menyesakkan kota, hilang, lenyap. Hujan seperti tirai, menutup setiap bentuk. Berbuih awan gelap, pecah cahaya petir. Beraduan, menyebar ia ke segala arah.

Percikan air hujan menyusur kaca bening, merambat pelan, menyatu dengan diam dan ketakutan. Tapi tubuh, tetaplah berdiri. Seperti seekor kupu-kupu yang menghinggapkan kakinya di balik jendela ruangan ini. Tertidur dia. Menyesap pewangi ruangan, ketukan hujan dan suara AC.

Perempuan muda dengan segelas kopi di genggaman, memainkan pikiran pada setiap sudut di masa lalu. Tentang rindu dan tawa di suatu pagi, di suatu petang, di suatu malam. Bergelut dengan rindu, bergelut dengan tawa sahabat, menangkap setiap mimpi yang tidak juga reda dan pertanyaan-pertanyaan yang melayang ke udara.

Matahari belum juga tampak, tirai pembatas ruang bergerak-gerak, angin masuk lewat pintu terbuka. Pegawai kebersihan rumah sakit masuk, lalu menjalankan tugasnya. Memainkan tangkai sapu, tangkai besi pel yang tampak berat, membersihkan bawah ranjang yang agak berdebu, ujung kursi tiap sudut ruang. Wangi cemara menyeruak dari kain pel basah yang bersentuhan dengan lantai putih gading, melebur pekat dengan wangi obat-obatan. Ada senyum dibalik wajah lugunya.

Bunyi roda makanan berbaur dengan deru hujan, ruang-ruang hening, sesekali suara dering telepon dan langkah kaki dari sepatu keteplek petugas kesehatan. Kupu-kupu pun terbangun, dia kembali terbang menuju langit-langit dan hinggap di tirai berwarna abu-abu.

Dibalik jendela, hujan reda. Ada sinar matahari yang melimpah, serupa warna orson di hari raya. Di jalanan, orang-orang berhamburan keluar, berjalan di trotoar, berebut angkot, berebut bis, motor-motor saling menyusup diantara mobil-mobil yang merayap pelan. Di lampu merah, anak-anak sambil bermain-main dengan air yang menggenang, mereka mengelap kaca-kaca mobil berharap upah.

Di lantai tujuh, semua bergerak serupa titik-titik. Ruang-ruang rindu berkejaran, melahap waktu, menggilas kesombongan. Mata hanya mampu melihat, berkata dalam hati, mengunyah kuat-kuat setiap keluh.

Dimana mimpi, dimana hati, dimana jiwa. Sementara langkah kita terhenti, segala hidup terlepas, terseret ombak, diterkam angin. Tak ada lagi jalan yang tampak, hanya hamparan tanah yang kosong, sisa hujan dan pohon-pohon rubuh.

Wangi kopi membangunkan perempuan, menyimpan semua lalu pada waktu, membuka diri pada hari ini, mencecap cemas . Beradu rasa, hadir menggengam diri pada hari ini, detik ini, pada nafas yang mengisi setiap paru-paru, mendenyutkan nadi, menggerakan desir darah pada tiap sel.

Masa lalu serupa rindu, tapi hari ini serupa perputaran pohon yang terus tumbuh, berdaun, berbunga, berbuah, kering, berjatuhan, bertumbuhan lagi, rimbun dan semakin subur. Mungkin hari ini, pepohonan bertumbangan, tapi tidak esok hari.


Bandung, 2 November 2017
@imatakubesar

6 komentar:

  1. Hujan yang selalu memberikan kenangan.
    Kenangan yang indah.

    Semoga rinai hujan ini setia menemani kesendirianku, tapi tidak untuk sebuah rasa.
    Sepi.

    BalasHapus
  2. Mau bales pake kalimat puitis juga, tapi ga bisa heuheuheu

    BalasHapus
  3. Aku selalu suka dengan hujan yang tanpa petir, menentramkan pikiran dan hati.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv