Cerita Anak Negeri dari Lapas Anak

Suasana di Lapas Anak Arcamanik.
Foto: Ima

Masa kecil, wangi masakan Ibu, becanda dan bertikai dengan saudara, suara dedaunan di halaman, semburat cahaya pagi, teriakan teman-teman mengajak bermain. Ya, masa kecil dengan cipratan air sawah, pemandian umum, selokan yang bersih, pegunungan yang terlihat teramat besar dan pepohonan rimbun. Suara mengaji dari masjid di antara penduduk menggiring anak-anak bersegera ke masjid, mengaji, shalat juga bermain-main. Ada tawa, ada tangis, ada semangat yang tak terbendung.

Musik anak-anak menggema di dalam ruang keluarga. Ada harapan, ada doa, ada keceriaan, ada ruang-ruang gembira tanpa beban. Tapi tidak di Lapas Anak Arcamanik Bandung, sepi, rasa sesal, pesimis pada masa depan. Ya, kasus mereka beragam, dari pelecehan seksual, narkoba, pembunuhan tak sengaja, hingga pembunuhan berencana. Ngeri? ya.

Tapi, ya, mereka anak-anak remaja dari usia 14- 19 tahun. Meringkuk di lapas dengan seribu alasan dan masa lalu dengan ribuan cerita yang kita tidak tahu seperti apa sehingga membentuk mereka. Menjadi atau tidak menjadi. Bersikap dan mengambil keputusan, atas apapun. 






Ketika Teh Wulan dari Shoutcap mengajak untuk menjadi mentor menulis, buat saya ini waktunya menularkan sedikit yang saya tahu. Tentang kehidupan, tentang proses kehidupan yang membuat bahagia. Setidaknya, bisa mencoba mengulik sedikit celah kebahagiaan diantara sepi dan ketidakpastian. Setiap orang, saya juga mereka pernah mengalami hidup yang serba ajaib. Hanya saja setiap orang punya cerita, dengan segala keteguhannya, di dalam penjara maupun di luar penjara. Ketika Teh Wulan bilang, bahwa program ini diharapkan bisa menjadi referensi kehidupan lain dari kehidupan yang biasa mereka kerjakan: menulis, menggambar, membuat komik, bermusik, berkebun. Saya percaya, apapun bisa berdaya dan menghidupkan.

Rapat pementor di Balai Kota Bandung.

Termin 1: Desember 2016-Juni 2017

Saat pertama bertemu dan memulai kelas, dengan segala referensi yang sudah diberikan petugas juga teman-teman CAN, saya sempat ragu. Tapi dengan menumbuhkan rasa percaya, bahwa kepercayaan dan keyakinan itu menular. Diluar dugaan, mereka cukup apresiatif. Mau menulis meski sesekali ragu dan tak yakin bahwa tulisannya bagus dan semenarik tulisan orang-orang.


Saya coba tanamkan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa setiap kehidupan tiap orang itu istimewa. Mereka dan orang-orang sekitar kita di luar sana. Mungkin hari ini kita merasa terpuruk, tapi manfaatkan waktu hari ini untuk menggali dan mengasah yang bisa kita lakukan. Yang membatasi kita hanya pikiran, jadi dobrak itu, pikiran dan hati tidaklah terbatas. Masih muncul wajah ragu, tapi sebagian tidak. Ada yang mulai berani, tapi sebagian malu-malu. Sudah berani masuk ke kelas menulis pun sudah menjadi keberanian tersendiri.

Ada 8 orang yang ikut kelas menulis. Anak-anak sekitar usia 15-19 tahun, ada yang dari Kota Bandung, Jakarta, juga Cianjur. Lalu saya seperti dibawa kembali ke masa remaja saat itu, yang masih bermain layangan di halaman kuburan, bermain ke rumah teman untuk corat coret dinding kamarnya, mendengarkan cerita cinta teman, berbondong makan baso dan cendol alpukat dekat sekolah. Kehidupan yang sangat jauh dari kehidupan mereka kini. Keputusan melakukan suatu keberanian yang sudah melampaui batas ketakutan. 


Termin ini, hasil karya dikumpulkan dalam bentuk kompilasi buku berjudul #CAN. Isinya ada tulisan anak-anak lapas, gambar juga komik. Sekarang masih diolah, semoga lancar dan dimudahkan proses pembuatan bukunya.



CAN Termin 2: Agustus-Desember 2017

Manusia dilahirkan menjadi pemberani, dan mereka salah satu bagian orang-orang pemberani. Hanya saja, keberaniannya berada di batas aturan keselamatan manusia yang lain. Bisa jadi kesalahan yang mereka lakukan karena referensi hidup mereka hanya sebatas itu. Dan bisa jadi orang-orang yang melakukan kesalahan yang sama pun masih berkeliaran di lingkungan kita dengan peruntungan yang berbeda.



Pertemuan dan koordinasi pementor.

Untuk anak-anak seusia itu, saya percaya, masih ada kesempatan untuk berani berubah. Sekalipun anak-anak seusianya sudah melakukan berbagai langkah untuk kehidupan yang berarti. Bukan berarti, anak-anak yang masuk ke lapas memiliki masa depan suram. Mereka, ya, tanggung jawab kita. Tinggal mengolah dan memperkenalkan bidang lain lalu diterapkan pada sisa keberanian mereka. Tak ada lagi kata menyesal, karena hidup apapun bentuknya bagian dari pelajaran.

(Aduh, urang ngomong naon, sih, ngacapruk teu pararuguh).

Nah, CAN atau Cerita Anak Negeri ini semacam program yang dilakukan oleh segelintir orang yang bergiat di dunia tulis menulis, menggambar dan komik, juga berkebun. Dunia yang riang gembira juga dunia yang membuka referensi kehidupan yang (maha) luas. Kegiatan ini semacam ekskul, karena di lapas anak ini ada sekolah pagi seperti biasa. Lalu ekskulnya ada kelas menulis, gambar dan berkebun.




Oh, ya, berkebun. Termin ke-2 ini, kontributor CAN bertambah, selain penulis blog, wewo dan comiccruwyuk. Ada yang dari komunitas 1000 kebun, kemarin waktu acara koordinasi mentor ada Galih yang nanti akan dibantu oleh relawan.

Kemudian ada Kegiatan Praktis, program yang dipersiapkan untuk mereka yang mau keluar lapas, yaitu:

1. Pelatihan memijat

2. Pangkas rambut

3. Keterampilan memasak.

4. Kelas Calistung

Kenapa ada kelas Calistung? Ya, karena ternyata kami baru tahu bahwa dari 210 penghuni lapas itu ada 9 orang yang tidak bisa baca tulis hitung di usia anak remaja mereka. Dan benar-benar tidak bisa membaca juga berhitung. Jadi, komunitas GSSI akan bergerak di sini untuk melatih baca tulis mereka dan masuk ke waktu kelas sekolah seperti biasa.

Untuk kegiatan yang akan ditularkan berupa keterampilan praktis ini dilatihkan buat mereka yang akan keluar Lapas dalam waktu dekat. Diharapkan, dengan adanya pelatihan ini itu, mereka bisa mendiri dan mengasah kemampuannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lagi. Berdaya dan bermanfaat. Keterampilan memasak kontributornya Bu Marlina dari 1000 kebun. Menariknya, Bu Marlina ini punya komunitas binaan pedagang pinggir jalan seperti pedagang nasi goreng, capcay, seblak, dll. Nanti pedagang inilah yang akan mengajarkan memasak pada penguni lapas yang akan keluar.

Setiap kelas mempunyai projek hasil akhir sebuah pelatihan. Hasil akhir ini agar mereka punya pengalaman berkarya dan rasa berdaya karena menghasilkan sebuah karya. Nah, untuk kelas menggambar, karya-karya mereka akan diposting di instagram. Jadi semacam pameran untuk publik.

Untuk kelas menulis, peserta kelas akan digiring membuat Zines. Setidaknya dalam rentang 5 bulan, ada 2 zines yang akan dikeluarkan dan dibagikan untuk penghuni lapas anak. Mereka tidak hanya menulis, tapi dilatih menjadi tim redaksinya. Berkontribusi juga memilih hasil karya anak-anak juga, mentor hanya bagian mengedit dan mengarahkan.

Gerakan yang sangat menarik. Lepas apakah suatu hari nanti mereka akan memanfaatkan ilmunya atau tidak, setidaknya kita bisa memberi informasi bahwa ada kehidupan lain selain dunia yang membuat mereka masuk ke Lapas. Karena hidup terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. 


Suasana Lapas Anak, yang tampak adalah sekolah anak-anak
di dalam lapas anak Arcamanik.  Foto: Ima

Bandung, 1 Agustus 2017

@imatakubesar

11 komentar:

  1. Waah, kegiatannya seru yaaa, nambah ilmu dan wawasan banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru, Ran. Pengalaman yang luar biasa bisa berada di sana.

      Hapus
  2. Acara yang bermanfaat yaaa..banyak ilmunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah, Bun. Doakan lancar dan bisa membuka wawasan anak-anak selepas dari lapas.

      Hapus
  3. Pengalaman yang menarik banget. Semoga ilmunya bermanfaat dan mereka nggak perlu kembali menjadi penghuni sana. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga,semoga, aaamiiiiin... Nuhun Mba Afifah.

      Hapus
  4. Kereeeennnn! Nulis katanya mah bisa jadi terapi, kayak penyaluran emosi gitu ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi, Lu. Kalo pengakuan beberapa anak mah mereka seneng bisa dapet kelas nulis, jadi sehari2 mereka bisa nis dan kalo malem ga bisa tidur langsung nulis juga. Catetan hariannya banyak banget, Lu.

      Hapus
  5. Sedih banget kalau masih anak-anak udah jadi penghuni lapas. Tapi semoga itu jadi pelajaran berharga bagi mereka. Dan bekal yang diberikan pada saat latihan akan bermanfaat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget, sedihnya. Saya jadi inget anak2 di rumah.

      Hapus
  6. Dari cerita pembuka pertama rasanya campur aduk, sedih dan kasihan. Apapun latarbelakang hingga mereka harus tinggal di sana pastinya kompleks banget ya, Teh.

    Luar biasa butuh kesiapan mental dan fisik menghadapi anak-anak di sana. Program ini semoga bisa bermanfaat buat mereka ke depannya. Tetap semangat berbagi, Teh Ima. :*

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv