Refleksi Cinta Negeri

Foto: Ima


Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
Di buai di besarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
...




Ini adalah salah satu lirik lagu kebangsaan berjudul Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Lagu-lagu kebangsaan kerap membuat saya ingat masa kecil. Menembus kabut dengan mengenakan baju putih merah, menjadi pengibar bendera, berlarian di sawah, mandi di sumber mata air, mengaji di masjid setelah waktu shalat magrib, menonton pertunjukan-pertunjukan rakyat, lalu keadaan berubah.  Mata air menyusut, sawah-sawah berubah jadi bangunan-bangunan perumahan, masjid-masjid sepi.  


Begitupun suasana pedesaan di kampung Bapak yang elok kini di’bunuh’ oleh timbunan sampah, pabrik-pabrik kain dan kemiskinan yang mengganas, pohon-pohon bambu yang kini berubah jadi pagar bata yang catnya memudar, sungai-sungai besar dan bening berubah jadi selokan penuh kotoran dan pembuangan pabrik.


Angkat tangan yang tersentuh hatinya dengan menyanyikan lagu kebangsaan di atas, itu artinya rindu itu masih tersimpan, hati terdalam kita masih cinta tanah air. Cinta masa lalu dan kini, rindu masa lalu dan rindu pembenahan demi masa depan.


Pertama kali air mata saya mengalir dan degup jantung saya berdetak kencang, ketika lagu-lagu kebangsaan diputar ketika kejadian reformasi tahun 1998. Presiden saat itu dituntut turun langsung oleh gerakan mahasiswa, meski keadaan menjadi caos begitu ada sekelompok orang menyusupi penyerangan terhadap etnis dan merampok toko-toko. Situasi menjadi sangat tegang dan saling curiga satu sama lain. Pergesekan antar suku menjadi sangat rentan. Demo yang lahir dari jiwa-jiwa pemberani, seperti tergores oleh sekelompok orang yang punya kepentingan dan ketakutan posisi pentingnya jatuh tumbang.



Sumber foto:
http://www.rockthevoteindonesia.org/?p=43

Semakin dewasa saya semakin mengerti, bahwa saya bagai hidup di negeri para dewa. Terdiri dari pulau-pulau, cuaca tropis yang stabil, tanah-tanah subur, ragam ikan di setiap pesisir, rempah yang melimpah, kopi-teh yang berkualitas, berbagai jenis makanan dan minuman hadir, beragam jenis binatang yang indah, alam yang lengkap.  Pantas saja negeri ini begitu diperebutkan sampai sekarang, tidak hanya oleh penjajah jaman dulu.

Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak menyadari dan semakin langka generasi muda mengelola kekayaan alam yang sedemikian melimpah. Seolah bahwa mengelola di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan memiliki kelas terendah. 

Yang terjadi, seringkali kita mengabaikan kelebihan yang kita miliki dan selalu memandang takjub kemajuan dan kebijakan di negeri orang.  Satu persatu, kekayaan alam digadaikan demi jabatan, kekuasaan, kehormatan namun akhirnya kehilangan tanah dan budaya sendiri. Perlahan, kita dijajah oleh budaya orang yang datang secara masif. Bahan pokok makanan kita pun di supply oleh negara lain dengan kualitas yang lebih baik.


Sebagian yang menyadari bahwa kita hidup di negeri para dewa seperti berusaha menguasai dan mengelola semua lahan. Sampai tak disadari, satu persatu pulau, tanah, sawah, lahan, hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Segala unsur yang dimiliki negeri ini jadi rebutan, orang-orang pemilik negeri mulai kehilangan lahan, kehilangan jati diri, kehilangan ruang-ruang bermain. 


Negeri para dewa seperti direnggut habis, lalu muncul ketimpangan ekonomi yang berefek pada ketimpangan pendidikan, ketimpangan idealisme, ketimpangan kesatuan, keadaan menjadi serba rentan dan mudah terusik.


Raja Ampat Papua
Sumber Foto:
infounik.org/35-foto-gambar-pemandangan-alam-indah-di-indonesia.html


Sebagian besar, negeri ini kerap dipimpin oleh pemerintah yang korup dan menjadikan negeri ini jadi alat untuk menimbun kekayaan dan kekuasaan. Hingga masyarakat terlilit oleh tingkah polah para pemimpin, sampai akhirnya timbul berbagai tuntutan dari masyarakat yang kian terasing dengan budaya negerinya sendiri. 


Pertentangan dan tuntutan masyarakat tidak hadir tiba-tiba, ketika masalah ekonomi, pendidikan semakin goyah. Harga-harga pasar yang tak stabil juga harga pendidikan yang baik hanya boleh dinikmati oleh masyarakat kelas atas. 

Ketimpangan di negeri ini terjadi diberbagai unsur. Sehingga dengan mudah kita dibenturkan dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan keberagaman. Seolah perbedaan menjadi inti persoalan besar dan mudah dipecah belah. Padahal bisa jadi semua ini mulai dari masalah pemimpin, ekonomi dan pengetahuan kita yang rendah. Oh, negeriku, tanah airku.


Satu sisi, sebagai negara demokrasi, pergerakan politik dan tumbuhnya lembaga independen, negara ini banyak kemajuan.  Masyarakat semakin kreatif, mempunyai “kebebasan” dalam berekspresi dan berani bersikap. Tapi satu sisi, kenyataan di negeri ini adalah terjadi ketimpangan pengetahuan, pendidikan sehingga muncul ketimpangan dalam berprilaku. Semua kelompok-kelompok ini bisa menjadi media yang dipolitisasi untuk kepentingan yang berkuasa. Sudut pandang masyarakat bisa mudah diarahkan pada isu dan wacana yang memecah kesatuan.


Lalu bagaimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini dapat terpenuhi. Apakah sila pancasila itu hanya slogan, sementara pelakunya-kita-seperti kehilangan percaya diri atas potensi negerinya sendiri.


Berpuluh tahun sejarah terukir, berpuluh tahun kita merdeka, tapi yang terjadi negara ini semakin mudah terombang ambing. Tanah menjadi panas, hujan menjadi banjir, angin menjadi topan.


Begitu pemilihan presiden tahun 2004, wacana etnis dan agama kerap menjadi media yang gurih dilemparkan ke ruang-ruang publik. Perkembangan alat komunikasi yang semakin pesat, membuat beragam informasi begitu mudah menyebar, orang-orang di media sosial, messenger, whatsapp. Tak jarang nada yang muncul mendistorsi wilayah rasa benci, waspada, khawatir, menciptakan ketakutan. Terutama yang berkaitan dengan topik-topik agama, komunis, suku bangsa. Kita begitu mudah dipengaruhi, penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang lahir kemudian atas nama agama, atas nama nasionalisme, atas nama kesatuan dalam mewadahi emosi kelompok orang. Mau tidak mau satu sama lain saling berbenturan, melakukan pembelaan dan saling mencaci.


Efek dari masalah ekonomi dan pendidikan ini, kita menjadi golongan orang-orang mudah dipicu oleh isu yang beredar, sehingga dengan udah kita terpecah belah. Begitupun dengan prilaku aparat negara yang makin hari makin membuat kita tercengang dengan berita-berita korupsi dan perilaku lainnya. Belum kendali pembuat keputusan harga pokok, setiap hari raya menjadi mafhum jika melonjak naik dan entah kapan kembali turun. Semua unsur dipolitisir entah untuk kepentingan siapa. 


Negeri ini sudah terlampau gaduh, butuh pemimpin dan kerjasama kelompok-kelompok independen yang bisa jadi penyeimbang keberagaman masyarakat yang multikultur dan setia bertumbuh di atas bumi pertiwi.


Kericuhan yang terjadi belakangan ini, bisa saja tidak terjadi tiba-tiba.  Tapi keadaan yang menekan sehingga keadaan begitu mudah dipicu.



MPR temu Netizen

Bincang-bincang MPR dengan Netizen di Novotel Bandung, 2017.
Foto: Ima



Beberapa waktu lalu, MPR temu Netizen di Hotel Novotel Bandung. Sebelumnya MPR melakukan kegiatan ini di Solo, Yogja dan beberapa kota lainnya. Netizen yang hadir ke acara tidak hanya dari Blogger Bdg tapi netizen yang tergabung di beberapa komunitas kota Jawa Barat. Ada beberapa blogger yang dari Cirebon, Cianjur, Garut. Menarik memperhatikan 50 orang netizen berkumpul di satu tempat, dengan beragam latar belakang dan beragam fokus konten dia blognya. Dan bagaimana sudut pandang mereka bicara tentang makna dan dasar negara Indonesia yang dihadapkan dengan keadaan masyarakat sosial sekarang yang mudah ‘panas’.


Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai Netizen untuk selalu menularkan kegiatan-kegiatan positif dan meluaskan pandangan masyarakat. Bahwa indonesia itu hebat, asik, keren, kaya ragam budaya, agama, suku, bahasa. Dimanapun, kita tidak akan lepas dari perbedaan.


Netizen dalam hal ini blogger, pergerakannya semakin masif dan beragam. Tulisan-tulisan bertebaran dari seputar jalan-jalan, kuliner, budaya, lifestyle, musik, tekno politik, dll, menghiasi beranda jagad internet dengan gaya bahasa dan cara komunikasi yang khas. Bila dikelola dengan baik, dengan sendirinya blogger akan mempunyai pembacanya. Pembacanya tidak hanya blogger sendiri tapi teman-teman yang tersebar di berbagai media sosialnya. Tulisan-tulisan yang asik, serius, tips ini itu dan banyak lagi. Tulisan-tulisan yang tersebar itu, setidaknya 50% pembaca akan terpengaruh.  Diharapkan, blogger bisa menjadi media penyeimbang mengingat informasi yang hilir mudik seperti mengecam keadaan.


Menarik ketika MPR bertemu muka dengan netizen ini, kami bicara banyak tentang Indonesia, bicara tentang dasar negara indonesia: pancasila, simbol negara kesatuan: garuda pancasila, semboyan negara republik Indonesia: Bhineka Tunggal Ika dan negara indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski kami sudah lama ikut penataran P4 saat masuk kuliah, hari itu seolah mengingatkan kembali bahwa kami benar-benar hidup di negara dengan dasar negara Pancasila.


Semua unsur ini lahir dari kehidupan sosial dan budaya Indonesia yang sangat beragam, baik dari segi suku bangsa, agama, bahasa yang diikat menjadi dasar negara. Nilai-nilai hidup kehidupan sosial masyarakat ini memberi pengaruh banyak pada prilaku yang melahirkan seni, pakaian, makanan, cara bersosialisasi, aturan-aturan adat dan etika. Keragaman inilah yang membuat Indonesia ini kaya.


Gerakan Memelihara Rasa Kebangsaan


Belajar pada banyak kejadian yang sudah dilewati, bahkan sekarang pun masih terasa ‘hangat-hangat’ nya. Sedikit percikan, maka terbakar. Sebaiknya kita belajar pada komunitas-komunitas yang tumbuh di Bandung yang secara tidak langsung memelihara nilai kebangsaan. Seperti kegiatan seni, diskusi buku, mengasah hobi dan menghasilkan karya nyata. Mungkin buat sebagian orang kegiatan ini kecil, tapi jangan salah bisa memberi efek yang sangat besar: punya pendirian kuat, sedikit bicara dan banyak berkarya.


Keinginan untuk melahirkan karya dan menciptakan ruang budaya ini lahir dengan sendirinya. Seperti kecintaan pada bidang seni teater, buku, dunia literasi, musik, sastra, dll. Jika kecintaan ini terus diasah, dengan sendirinya dia ikut memelihara dan memberi pengaruh banyak pada kehidupan masyarakat.


Saya coba cerita beberapa komunitas yang menurut saya merupakan gerakan sosial masyarakat yang memelihara ruh negeri ini.


1. CCL (Celah-Celah Langit)


Di ujung kota Bandung, tersebutlah kantung budaya bernama CCL (Celah-Celah Langit). Di tempat ini dalam hitungan bulan selalu ada pertunjukan teater, musik, baca puisi, bahas buku dan sebagainya. Apresiatornya pun masyarakat dengan berbagai usia dan berbagai profesi hadir dan menikmati suasana pertunjukan seni. Sebelum acara dimulai, kami akan berdiri bersama dan menyanyikan lagu kebangsaan republik Indonesia “Indonesia Raya”. Tempatnya bukan di gedung besar, tapi di halaman rumah, dan untuk mencapainya kita harus masuk gang.


Aktifitas di sana banyak membukakan mata dan pengetahuan tentang kehidupan orang-orang melalui seni. Tak sedikit yang terinspirasi yang tersasah hatinya untuk berkarya di bilang yang ia kerjakan.


2. AARC (Asia Africa Reading Club)


Di gedung museum Asia Afrika, hadir kelompok AARC (Asia Africa Reading Club). Sekelompok orang-orang yang membaca buku secara bergantian dan menuntaskan dalam beberapa pekan lalu membahasnya. Pembahasannya si tokoh dari berbagai sisi sehingga menegaskan karakternya seperti apa. Aktifitas ini banyak di apresisasi oleh berbagai kelangan seperti, dosen, seniman, ibu rumah tangga yang memang menyukai ruang-ruang diskusi sebagai media kontemplasi. Secara tidak langsung, dari diskusi ini akan mempererat hubungan, mengasah daya nalar dan kesadaran hidup di negeri yang memiliki sejarah yang nyaris terlupakan.


3. Tobucil & Klab (Toko Buku Kecil)


Toko buku berbasis komunitas ini selain menjual buku-buku alternatif, menyedikan wadah untuk berkumpul dan berbagi sesuai dengan minat masing-masing. Seperti klab baca, klab nulis, klab yoga, klab rajut, klab gambar. Tobucil sudah berjalan 15 tahun dan menginspirasi banyak orang untuk berkegiatan dan berkomunitas sesuai dengan passion mereka.


Pergerakan kreatif mereka memancing banyak orang yang mempunyai passion yang sama untuk berkarya bersama, menjadi ruang berbagi satu sama lain dan saling menularkan kebaikan.


Semua langkah besar itu dimulai dari langkah-langkah kecil, begitupun kebaikan-kebaikan kecil akan melahirkan gerakan-gerakan besar.


4. Rumah Cemara


Rumah rehabilitasi yang ketergantungan obat-obatan terlarang dan terinveksi HIV AIDS (ODHA). Komunitas ini dibentuk dengan visi untuk memimpikan Indonesia tanpa diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS dan orang yang menggunakan narkoba, melalui misi dengan menggunakan pendekatan sebaya agar terciptanya kualitas hidup yang lebih baik bagi orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkoba di Indonesia

Mereka kerap ikut kejuaraan football, beberapa kali memenangkan dan mengharumkan nama bangsa. Tak hanya ikut kejuaraan, Rumah Cemara mensosialisasikan dengan membuat kegiatan diskusi-diskusi.


Saya hanya menuliskan 4 dulu, karena masih banyak sekali komunitas yang lain yang memberi banyak ruang hidup, nyata dan hadir mempengaruhi visi hidup di berbagai bidang.


Kehadiran komunitas-komunitas ini, bisa jadi awalnya lahir dari bentuk perlawanan karena sulitnya dukungan bahkan muncul stigma negatif kegiatan yang dilakuan. Kurangnya dukungan ini tidak hanya dari lingkungan terdekat bahkan lembaga besar bernama pemerintah. Sehingga gerakan-gerakan inisiatif dan kreatifitas masyarakat ini terus digali, bergerak pelan, nyata lalu membesar, memberi banyak ruang-ruang hidup dan berharga. Berbangsa, solidaritas, bergerak nyata, tidak hanya berupa yel yel, tapi berupa bukti konkrit dan prilaku nyata.


Gerakan kesenian yang sering dipandang sebelah mata, yang sering dianggap sebagai tindakan temporer atau sementara. Padahal kesenian memiliki pengaruh dan nilai yang sangat universal bisa melampaui suku, ras dan agama. Pesan-pesan yang disampaikan dalam kesenian akan merangkul semua unsur.


Kini pergerakan komunitas-komunitas ini kini banyak menjadi inspirasi dan mulai disadari bisa membuat masyarakat menjadi berdaya dan berkarya guna. (tsaaah!)


Membela negara, cinta kebangsaan dan nasionalisme itu tidak hanya pada tindakan atau prilaku yang besar-besar saja. Tapi pada tindakan-tindakan kecil, berkarya dan memberi banyak manfaat bagi masyarakat itu bisa melahirkan cinta tanah air dan menyadari bahwa Indonesia itu, luar biasa.


@imatakubesar

12 komentar:

  1. Lama-lama cape lihat keributan sana-sini terutama di social media.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, lama-lama jadi menggulung kemarahan dan ego.

      Hapus
  2. Wah baru tau aku ada lsm2 itu, teh.. kapan2 main ah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh, ya? Itu udah lama banget, Teh.
      Ima tulis 4 komunitas itu, karena beberapa kali pernah terlibat di dalamnya. Kalau yang lain saya belum berani menuliskan karena belum tahu banget. Banyak sih yang lain, komunitas film, sepeda, dll.

      Hapus
  3. Kita memang seringnya mengagung-agungkan negara lain.. Padahal Indonesia itu keren! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, jadinya banyak potensi orang Indonesia kurang digarap serius atau diabaikan sama pemerintah, padahal bisa jadi kekuatan, ya.

      Hapus
  4. Komunitasnya seru-seruuuu!

    BalasHapus
  5. Sebenarnya banyak banget komunitas2 atau LSM2 yg benar2 mendukung rasa cinta kita terhadap NKRI ya. Tapi sayangnya masih lebih banyak lagi orang2 yg tidak peduli yg pada akhirnya mudah 'dialihkan' :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya, bisa jadi media informasi mereka lebih kuat, jadi lebih cepat di peroleh.

      Hapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv