Cerita Hari Selasa

Langit di ujung timur, sinar matahari luntur serupa saus cokelat. Lembaran daun, serakan kerikil, susunan atap rumah berlumur cahayanya. Kuning berkilauan. Jendela rumah perlahan dibuka. Seorang ibu dengan wajah lusuh, menarik nafas udara segar yang dikeluarkan oleh pepohonan lebat di samping rumah.

Pagi ini cukup ramai, burung-burung, suara knalpot motor, tangisan anak, suara mangkuk tukang bubur, anak-anak kos yang mulai mengetuk-ngetuk toilet. Para Ibu tergesa ke dapur menyiapkan sarapan pagi, juga air hangat, juga teh manis hangat. Sementara handuk masih menggantung di pundaknya. Anak-anak bangun, memainkan bantal dan meloncat-loncat di atas kasur. Ayah-bapaknya anak-anak menutup qur’annya, mendekat, duduk diantara kami. Lalu makan obat.

Pagi yang baik. Tapi tidak pagi itu untuk ibu. Ibu hanya butuh sedikit waktu untuk menyiram diri dengan beberapa gayung air agar lebih segar juga segelas kopi hangat, tapi ia lebih memilih tergesa mengantar anaknya ke sekolah.


Foto: Ima

Ibu bermain-main dengan pikiran, bermain-main dengan hati, bermain-main dengan bayangan. Anak-anak pun ikut. Bayangan yang memanjang karena matahari mulai bergerak ke sudut 30°. Tangan, kaki, badan mereka memanjang. Anak sekolah bilang,”Bu, tubuh kita memanjang. “ Mereka mempercepat langkah, menuju belokan jalan, pepohonannya menyusun di pinggir jalan. Lebat, serupa terowongan.

“Bu, Ibu suka mobil itu.”

Si anak menunjuk mobil merah yang diparkir di pinggir jalan, di pinggir gedung kuliahan.

“Iya, Ibu mau.”

Mata si anak berkilauan, nampak mulutnya tersenyum lebar, giginya yang tak rapi terlihat beberapa.

Dalam hati, Ibu berdoa. Penuh harap, penuh harap, penuh harap.

Si Anak mulai berceloteh tentang nama-nama dinosaurus. Dia menjelaskan jenis dinosaurus pemakan daging dan tumbuhan. Ibu kesulitan mengingatnya, dia hanya ingat beberapa lembar tagihan listrik, bpjs, pegadaian juga beberapa hutang yang harus dibayarkan. Tapi si Ibu tetap menanggapi obrolan si Anak sambil menghitung jumlah yang harus dikeluarkan.

Sesekali rombongan merpati mengalihkan pandangan dan ingatannya. Beberapa buah sukun yang satu persatu mulai membesar. Si Ibu membayangkan membuat kue dari tepung buah sukun dan tentang hari yang harus dijalani atas kehidupan yang masih tersedat-sendat.

Sekelompok ibu dan ayah mengantar anaknya, beberapa kembali pulang, beberapa tidak. Mereka duduk di pinggir trotoar, dibawah pohon. Ada yang tersenyum, ada yang mengalihkan pandangan ke smartphone, ada yang sibuk berbincang, ada yang berwajah kecut.

Para pedagang jajanan anak merapikan roda-roda kecilnya. Cilok, cilor, gorengan panas, roti kukus,berlomba-lomba memainkan wangi, bumbu dan asapnya yang menggoda. Ibu menahan diri, juga menahan anaknya, beberapa lembar di sakunya mulai menipis. Ibu menghitung perlahan beberapa lembar di sakunya, cukup untuk jajan anak dan ongkos pulang juga beberapa biji gorengan untuk cemilan di rumah.

Tak lama, Ayah mengirim pesan,”Lambung sakit, aku mual.”

Pagi menuju sekolah si Anak tidak begitu tentram. Meski matahari bermain-main seperti lelehan cokelat. Manis dan hangat.

Bandung, 4 April 2017
@imatakubesar

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv