Demo Angkot di Bandung




Angkot demo itu bukan uji nyali atau uji mesin kendaraan angkutan umum. Tapi mereka sedang menuntut sesuatu pada pemerintahan atas sesuatu. Selasa minggu lalu, angkutan umum di Bandung demo (lagi). Angkot-angkot di seluruh Bandung tidak operasi seperti biasa. Pantas saja pagi itu ketika saya mengantar anak ke sekolah, banyak sekali orang-orang yang berdiri, berkumpul di pinggir jalan. Saya pikir ada pendaftaran kuliah atau tes apa yang menyebabkan volume orang-orang tidak seperti biasanya. Tampak gelisah dan bertumpuk-tumpuk.

Saya kira demo itu hanya di angkot-angkot yang terminal Ledeng saja. Rupanya, merata seluruh angkot di Bandung. Saya tahu kabar ini dari beberapa status teman-teman di media sosial teman-teman dari pejuru kota Bandung.

 Sebetulnya ada yang unik dari tulisan mereka, rata-rata masyarakat merasa senang angkot tidak jalan. Alasannya sederhananya jalanan jadi lancar, beberapa orang jadi tahu kalau naik angkutan umum online itu menyenangkan dan aman. Para penumpang angkot jadi terpaksa mencoba, membandingkan, dan bahkan menambah pendapatan pengemudi online. 

Tadinya saya bingung, tujuan mereka tidak ‘narik’ itu untuk apa. Selidik punya selidik, para supir angkot melakukan aksi ini karena mereka merasa terganggu dengan adanya transportasi online. Penumpang angkot beralih ke fasilitas kendaraan online sehingga pendapatan mereka pun berkurang.

Itu yang terjadi.

Lalu bagaimana pendapat saya? Saya rasa wajar juga pengemudi angkot melakukan aksi ini. Setiap orang boleh bersuara memperjuangakan sesuatu yang menjadi wilayah nyamannya. Tapi, saya fikir mereka juga harusnya mau mengubah beberapa kebiasaan yang membuat penumpang tidak nyaman dan tidak aman.

Saya termasuk pengguna angkot, kemana-mana pakai angkot dengan alasan murah. Tapi, alih-alih murah ternyata mental pengemudi angkot pun seringkali bersikap ‘murahan’ dan bersikap seenaknya. Lupa kalau orang yang jadi penumpang di angkot mereka punya nyawa.

Banyak kejadian yang tidak menyenangkan, saya juga pernah kena. Alasanya, saya stop angkot sambil bawa anak yang masih di gendong. Angkot itu berhenti, saya naik dan duduk di kursi depan. Gerak saya sangat pelan, memang, karena anak saya sedang tidur di pangkuan. Rupanya, supir itu pun sedang mengincar penumpang beberapa meter di depan saya menunggu angkot. Supir itu menyuruh saya cepat naik angkot. Ternyata terlanjur ada angkutan lain yang mengambil mereka. Efeknya, supir itu marah-marah dan menmgelurakan sumpah serapah juga nama-nama binatang sambil bicara ke temannya. Saya tahu, dia menyindir saya. Tapi saya tahu, urusannya tidak akan beres. Saya sedang menggendong anak, resikonya terlalu besar. Energi saya terlalu berharga hanya untuk melawan seseorang yang tidak saya kenal sama sekali. Saya diam, sampai akhirnya sampai di terminal, saya bayar untuk 5 orang yang tadi tidak terangkut di pinggir jalan tadi. Saya pun pergi.

Oke, itu curhat saya yang ga ada apa-apanya di bandingkan dengan penumpang yang kurang Rp. 500 perak dimarahin speerti ke pencuri. Lalu di klaksonin dan dikejar oleh angotnya dengan ugal-ugalan, ada yang melempar uang ke arah penumpang karena kurang atau ngasih ongkos dengan uang yang besar. Ada supir yang seenaknya menyalakan rokok, sementara di sebelahnya anak-anak dan orang tua renta. Ada orang tua yang disuruh cepat-cepat naik dengan kalimat kasar dan tidak pantas. Bahkan cenderung membully kerentaannya. Ada juga yang menyungging ras tertentu, misal

“Halah, hulu weh di tiungan, mayar mah kurang.” (Ini curhatan ibu-ibu teman anak saya yang artinya, kepala saja yang pakai kerudung tapi bayarnya kurang).


Begitulah kira-kira supir angkot memperlakukan penumpangnya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Lalu?

Saya tetap memakai angkot dengan alasan murah, kadang karena jarak yang ditempuh dekat dan saya tidak punya kendaraan sendiri. Motor maupun mobil.

Sekarang saya punya pasien, suami saya tidak bisa menggunakan angkot. Alasanya karena kondisi fisiknya belum bisa tahan dengan susana yang hektik. Kamu tentu tahu kondisi angkot, bis, metro mini seperti apa. Gaduh, penuh, seenaknya, sering ngetem, supir merokok, dan mengendarakan angkot dengan ugal-ugalan. 


  Jadi setiap kontrol ke rumah sakit, saya pesan transportasi online untuk pulang pergi demi kenyamanan dan memelihara fisik suami. Selain itu, kalau difikir-fikir harganya pun masuk akal, tidak terlalu mahal, nyaman dan supirnya rata-rata ramah.

Tidak semua angkot punya kelakuan yang saya sebutkan di atas. Katakanlan dari 10 angkot, yang punya adab paling 2 angkot.

Seandainya angkutan umum atau transportasi umum punya adab, etika, katakanlah berprilaku baik, menyenangkan dan tidak ngetem. Saya percaya, masyarakat juga dengan suka rela memilih transportasi umum untuk melakukan aktifitasnya. Apalagi kalau tujuannya tidak terlalu jauh, transportasi umum bisa jadi pilihan karena murah dan menghemat tenaga. Kendaraan sendiri memang sangat nyaman dan aman, tapi kalau bicara harga bensin, tentu transportasi umum bisa jadi pilihan yang menyenangkan.

Lalu, apa nih solusinya? Saya bukan ahli transportasi umum, saya pengguna dan bicara dari sisi pengguna. Tapi yang jelas, kendaraan itu membawa nyawa saya, juga anak-anak saya, juga sahabat saya, juga tetangga saya, juga teman-teman anak-anak saya, dan mereka semua punya nyawa.

Transportasi umum dan masyarakat saling membutuhkan. Harga murah bukan berarti kita tidak bisa bersikap baik bukan?

Belajar dari keadaan itu, saya percaya, kekuatan manusia yang selalu inovatif. Hidup selalu muncul kebaruan, pergerakan itu tidak bisa kita tahan-tahan. Kuncinya, asal mau belajar dan beradaptasi dengan keadaan. Dulu tidak ada telepon rumah, komunikasi sangat lama dan berjarak. Kini telepon rumah pun bergeser karena adanya telepon genggam. Komunikasi yang terputus jadi terjalin lagi. Begitu manusia melahirkan media sosial, komunikasi dan pergerakan manusia menjadi serba cepat dan dinamis.

Sesungguhnya, manusia itu mahluk yang paling bisa beradaptasi. Jadi, ketika ada persoalan rasanya menghancurkan atau kemarahan bukan suatu solusi. Tapi, bagaimana kita mengasah diri untuk memaksimalkan fungsi media yang ada tanpa “pertumpahan darah”.


Bandung, 13 Maret 2017
@imatakubesar

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv