Milea, Sebuah Cinta dengan Tanda Koma

Milea dan Dilan.
Foto: Ima


"Tujuan pacaran adalah untuk putus.  
Bisa karena menikah, bisa karena berpisah."
Pidi Baiq (1972-2098)

Membaca buku Milea: Suara dari Dilan, seperti proses membaca kota dan degupnya. Disana penulis menuturkan situasi jalan-jalan kota dan sudut-sudut kota yang memberi rasa dan kekuatan romatisme sendiri. Tak hanya itu, Pidi Baiq sebagai seniman gambar, musisi juga penulis, melengkapi bukunya dengan ilustrasi. Sekalipun isi cerita novel ini tentang kisah cinta pasangan remaja antara Dilan dan Milea era 90-an. Tapi saya rasa, Pidi Baiq bercerita tentang kota dari berbagai sisi dengan cara yang sangat halus. Kehidupan remaja yang penuh energi, juga ”kegelisahan” kondisi sosial saat itu. Cerita cinta Milea, Dilan dan orang-orang disekelilingnya menjadi jembatan. Ini bukan buku remaja biasa, karena kamu akan menemukan sikap dan gaya obrolan yang nyaman antara Dilan dan Milea yang asik dan unik dalam menunjukan cintanya.

Di halaman 119, Dilan dan Milea jalan-jalan ke Cikapundung. Di halaman itu kamu akan dijelaskan apa itu Cikapundung. Ada dialog yang asik antar mereka:

“Mau majalah Playboy?” Kutanya Lia saat sedang memilih-milih majalah

“Gak!”

“Mang, ada Playboy?” Kutanya pedagangnya.

“Engga, Mang!” kata Lia menoleh sebentar sambil memilih-milih majalah.

“Ada, kalau mau,” jawab tukang jualnya sambil sibuk membereskan tumpukan buku dan majalah. Aku senyum.

“Engga, Mang,” Kata Lia.

“Anak baik kita mah. Carinya Prayboy. Ada, mang?” kutanya pedagangnya.

“Prayboy?” tanya si tukang dagangnya untuk meyakinkan majalah apa yang aku cari.

“Pray,” kataku. “Prayboy.”

“Prayboy?”

“Iya, Pray. Doa.”

“Oh… buku doa?” tanya si tukang jualan.

“Ha ha ha.” Lia ketawa.

“Ada, nih,” jawab tukang jualan, menyodorkan buku kumpulan doa mustajab.

Lia ketawa lagi.

“Udah, yuk?” Lia mengajak pergi tidak lama dari itu.

“Ini, mau?” kutanya Lia sambil ememgang buku kumpulan doa itu.

“Engga,” jawab Lia. “Udah hafal.”

“Engga katanya, Mang,” kataku sambil meletakan buku itu. “Dia mah bukan seksi rohani, Mang, tapi seksi jasmani.”



Foto: Ima

Sebagai pembaca yang bukan remaja lagi, membaca novel remaja ini bisa membangun energi cinta yang kering. Kepala akan dibawa merasakan kehangatan cinta yang riang gembira dan saling membebaskan, seperti infuse yang membuat tubuh kembali segar.  Saya malah melihat Dilan itu sosok spontan dan ekspresif khas Pidi Baiq dalam kemasan remaja. Kesimpulan ini begitu saja muncul karena saya sudah membaca Buku Harian Drunken Monster, dan rangkaian buku-buku Drunken Monster yang lain. Sementara, Milea menjadi sosok perempuan yang riang, senang tertawa dan gembira karena melalui Dilan, dia menemukan suasana dan sikap-sikap yang unik dan berbeda.

Dilan menjadi sosok remaja yang menjadi magnet semua orang, berani, spontan dan unik. Dia menjadi sosok remaja yang suaranya selalu di dengar karena cerdas melihat berbagai persoalan dari sudut pandang yang berbeda dan menyenangkan suasana. Karena kepribadian Dilan yang unik, dia mempunyai teman dengan beragam karakter. Dari tukang gorengan, tukang mabuk, sampai laki-laki yang keperempuanan dan banyak lagi. Di usianya, Dilan menjadi sosok yang toleran selain dia selalu berkumpul dengan teman-teman geng motor.

Hidupku adalah ceritaku. Diriku adalah diriku, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain. Aku tidak tertarik untuk mengubah seseorang agar sama dengan diriku, dan jangan ada yang tertarik untuk mengubah diriku agar sama dengan dirimu.



(Milea: Suara dari Dilan, halaman 114)


Yang “menghidupkan” sosok Dilan menjadi Dilan yang berbeda, bisa jadi karena “kontribusi” Bunda dan Ayah Dilan. Kadang ketika Pidi Baiq bercerita tentang Bunda, saya suka cemburu pada Dilan karena betapa asiknya Dilan punya Bunda yang bisa diajak becanda dan suka saling bermain kata-kata. Rumah Dilan seperti keluarga impian semua orang, sekalipun Ayahnya jarang pulang karena tugasnya sebagai tentara. Biarpun Ayahnya tentara, dia bukan Ayah yang kaku tapi justru senang “mempermainkan” Dilan dan suka mengajak Dilan mengeksplore beberapa tempat yang tak biasa. Kamu bisa lihat dan ikut tergelak begitu melihat halaman 26 dan beberapa situasi romantis antar anak dan orang tua.

Selain tokoh-tokoh yang hidup di sekeliling Dilan dan Milea, saya suka dengan cerita dengan latar belakang Kota Bandung tahun 1990-an. Cuaca dingin dan sepi kendaraan, kabut saat pagi, hujan, dingin, sore, pepohonan. Suasana kota seperti menyerap romantisme tersendiri. Bandung, kotaku, kesayanganku.

Seperti salah satu paragraph yang dituliskan pada halaman 75:

Terima kasih, Tuhan, untuk Dago Atas dan cuaca 18 derajat Celciusnya sore itu. Dago atas yang ku Maksud adalah Dago Atas tahun 1990, yang masih tenang, dan udaranya masih segar.

Dulu belum ada bangunan-bangunan aneh atau yang sama seperti itu, hanya bukit dan hijau. Hanya langit dan biru, yang jika senja akan ditambahi warna merah dan jingga. Hanya lembah dan subur oleh aneka macam yang tumbuh di sana.

Salah satu ilustrasi di buku Milea.
Foto: Ima
Semakin dalam membaca buku Dilan dan Milea, saya seperti berada dalam ruang pertemanan mereka. Iklim dialog Dilan dengan teman-temannya terasa hidup dan spontan. Keakrabannya, solidaritas khas remaja, cara becanda gaya anak-anak “Bandung” pisan, ringan dalam melemparkan candaan dan spontan. Semua saling mengisi ruang-ruang eksistensi sekumpulan remaja itu. Buat orang Bandung, mengikuti obrolan Dilan dan teman-temannya menjadi ruang kenyamanan tersendiri, sering kali dialog dilontarkan dengan bahasa Sunda berikut diikuti artinya. Saya bisa faham itu, karena lontaran-lontaran keakraban lokalitas agak sulit diterjemahkan. Nada becanda begitu diartikan maka rasa dan energinya menjadi agak terkikis. Saya selalu ingat hubungan pertemanan saya dan teman-teman pun selalu penuh becanda. Dan kalau dibecandain, tandanya dia teman yang diterima, disayangi dan dirindukan. Mengikuti obrolan Dilan dan kawan-kawannya, mewakili dan menghidupkan kerinduan situasi itu. 

Foto: Ima

Milea adalah rangkaian buku ketiga dari Dilan: Dia adalah Dilanku, Dilan 2: Dia adalah Dilanku. Dalam buku ketiga, semakin menjelaskan siapa dan bagaimana situasi Dilan sebenarnya. Jadi kalau kamu baca langsung ke buku ketiga, semua terasa hambar, karena di buku pertama dan kedua, kejadian selalu dari perspektif Milea. Sementara buku ketiganya, situasi cerita dituturkan dari sudut pandang Dilan.

Lalu, apakah ceritanya selalu riang gembira terus, dimana masalahnya? Apakah Geng motor, perempuan ketiga atau laki-laki ketiga? Sebaiknya membaca sendiri biar mengerti.


Bandung, 15 Oktober 2016

@imatakubesar

13 komentar:

  1. Uda lamaaaaa banget ga baca chiclit atau teenlit, mungkin perlu juga ya, seperti kata mbak Ima "membangun cinta yang kering" :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesekali kita perlu memelihara energi muda biar semangat hidupnya tinggi. Hehehee...

      Hapus
  2. Bener sih, baca buku ini dan dua buku sebelumnya, jadi kaya mendesir-desir gitu karena kita ga lagi remaj. Kadang mikir, kok remaja aku dulu ga gitu2 amat sih? Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, Ima juga waktu SMA engga begitu, saya lebih sering keluar masuk perpus dan sesekali ngobrol sama teman-teman di teras kelas. Kadang, saya sekedar pemerhati, pendengar teman-teman yang curhat kasus kaya Milea-Dilan dan saya menikmatinya.

      Hapus
  3. Nuhuuun.
    Keeyyen bahasa remaja zaman baheula.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asiiik... bunda nuhun udah baca, aku terhura haru.

      Hapus
  4. kisah mudaku tidak seperti Dilan. Bahkan aku tidak sekolah di SMA, tapi ketika membaca semua buku Milea, ternyata saya selalu membuka tiap halaman, lembar demi lembar, selalu berurutan. Aku tidak melihat daftar isi untuk langsung loncat membaca halaman yang penting untuk referensi penelitian, yah karrns ini cerita cinta masa SMA. Begitu asiknya membaca buku Milea. Sampe aku lupa kopiku sudah habis. Konon istriku bilang aku lebih hebat dari Dilan karena bisa menguliti kabing saat idul adha, dan aku kalo naik motor harus bawa supir tidak seperti Dilan bawa motor sendiri
    Hahahahahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hey, kamu tetap anak muda sampai sekarang. Hahhaaa... Jadi inget waktu pinjem motor sama supirnya. Hihiiw!

      Hapus
  5. Mba Imaaaa, bahasa nya mba, lembut bgt, aq terhanyut dengan buaian katanya :)
    aq blom baca buku spektakuler ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehmmm... jadi senyum sendiri, nih. Seneng banget. Makasih, ya, Desiiii...

      Hapus
  6. Karena pakai setting 1990-an, Dilan Series jadi bisa menjangkau remaja masa kini juga remaja baheula. Entah, sengaja atau tidak, tapi itulah salah satu keunggulan Dilan Series

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, ini banget, bacaan rangkaian buku Dilan tetap kuat ya sekalipun bacaan anak remaja. Energi cinta yang sama di segala jaman.

      Hapus
  7. Saya membaca hampir semua karya Pidi. Serial Drunken adalah rangkaian pertama. Tutur kata yang jenaka membuat saya begitu menyukai cara menulis Pidi. Namun, setelah membaca yang lain. Saya mulai merasa bosan, karena seperti tidak ada beda antara buku satu dengan yang lain.

    Saya menyukai buku Dilan 1. Bahkan Ketika membaca Dilan saya menunda waktu tidur sampai lewat tengah malam agar segera dibaca habis.

    Tapi Dilan 2. Duh, saya jadi ilfil. Seolah kejar 'target'. Banyak sekali 'hahahahaha' di setiap halamannya. Jadi, Dilan 3. Saya tidak sempat dan belum berminat membacanya.

    hehehe

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv