“Paling sulit adalah berperang melawan diri sendiri.”

Sebulan kebelakang, banyak kejadian menekan yang beruntun. Dari suami yang di operasi lagi di RSCM Jakarta, selang beberapa hari paska operasi, lanjut anak saya yang pertama-Alif- diopname di RS Borromeus Bandung karena sakit pneumonia dan TBC Paru paru. Selepas pulang dari opname, ternyata badannya panas lagi dan ketika datang ke RS Borromeus tidak diterima karena harus minta surat pengantar dari feskes 1. Ternyata feskes 1 kami tidak ada daftar rumah sakit Borromeus tapi harus ke RS Salamun. Nah, di rumah sakit Salamun langsung diperiksa ke poliklinik anak dan dianjurkan harus opname lagi karena paru-parunya masih berat. Jadi, Alif harus diopname lagi. Ketika 3 hari Alif di opname, suami saya ingin menemani kami di rumah sakit, menginaplah dia di ruang inap. Jam 01.00 wib malam, tiba-tiba perutnya sakit. Sudah dipijat, diberi air hangat, dikompres sampai jam 04.00 wib subuh sakit di perutnya tidak bisa dikendalikan. Akhirnya saya larikan suami ke UGD dengan meminjam kursi roda terlebih dahulu, didoronglah suami saya ke UGD dari ruang rawat inap anak dengan jarak yang cukup jauh, diapun akhirnya harus di rawat inap juga selama 2 hari.

Maksud saya menceritakan sekelumit kejadian diatas, hanya sekedar memberi gambaran bahwa kondisi itu bisa merambat pada pikiran dan hati yang negatif. Apalagi saat kondisi darurat, tak ada siapa-siapa, mau tidak mau semua proses dilakukan dan dilewati sendiri dan merasa helpless. Dalam keadaan tertekan seperti itu, tentu kita membutuhkan bantuan dan maupun sekedar ditemani oleh orang terdekat kita. Ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif pada orang sekitar yang tampak tidak peduli. Padahal bisa jadi mereka pun sedang ada adalam masalah dan mendoakan kita dengan sungguh-sungguh bahkan merasa kesal karena tidak bisa banyak membantu. Sebagai catatan, dokter psikiatri saya bilang,”Kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk berlaku seperti apa yang kita fikirkan. Ubahlan pola fikir kita, lakukan apa yang paling bisa dilakukan. Kalau memang butuh bantuan, tak ada salahnya menyampaikannya dengan baik, tapi begitu mendapat reaksi yang tidak kita harapkan, biarkan saja.”

Tapi sebenarnya, dari setiap masalah yang serupa, saya sudah tidak mengandalkan saudara, teman maupun tetangga. Besar kemungkinan, ketika kita meminta bantuan untuk situasi seperti ini, selalu banyak pertimbangan, tidak semua orang punya kemampuan membagi waktu dan energi untuk mengorbankan prioritasnya. Ya, masing-masing punya kepentingan dan masalah sendiri. Jadi, ketika kita sedang dalam masalah, fikiran dan hati harus dibebaskan. Jangan pernah berfikir dan berharap dari siapapun, kabari ya kabari saja, tapi jangan pernah ada embel-embel harapan dapat bantuan dari manusia. Kenapa? Ini alasannya.

Setiap manusia pasti pernah mengalami, melewati dan sedang dalam masalah. Ketika berada di dalam tekanan yang teramat berat, akan muncul sebuah perasaan kesal, sebal, lelah, khawatir, tak berdaya dan pikiran merasa kecil bermunculan. Dari rasa-rasa tertekan ini muncul perasaan tertekan dan merasa menderita karena seolah semua dilewati sendiri. Lanjut pada pikiran-pikiran liar  sendiri, dimana saudara, dimana teman, dimana sahabat, seolah mereka tidak memperdulikan kita. Kenapa mereka tidak memberi perhatian nyata. Saat seperti itu banyak pertanyaan kenapa, kenapa, kenapa yang mempertanyakan sikap lingkungan yang tidak sesuai dengan harapan. Kita berharap banyak mereka berbuat apa yang kita inginkan. Ternyata, semakin kita berharap pada kebaikan manusia, maka semua terasa kosong. Kuncinya, bebaskan diri dari pikiran dan hati seperti itu, karena hanya akan membuat kita nyinyir dan menambah beban.  Padahal belum tentu kita bisa berlaku hal serupa ketika posisinya terbalik.

Tak hanya itu, pada satu titik suka muncul persaan bahwa setiap tindakan baik kita lakukan seolah tak dapat apresiasi yang baik, dan ini menambah beban pada hati. Ketika Rasa negatif ini mendominasi, dia akan menutup pandangan pada situasi-situasi baik yang pernah kita dapatkan. Padahal, seringkali ketika kita sedang berada dalam masalah sebenarnya selalu ada kemudahan-kemudahan yang tak terduga. Bisa jadi kemudahan itu datang dari orang yang baru kita kenal, dari orang yang tak terduga, ya, dari siapapun.  Alam berkolaborasi dengan sangat apik jika kita mampu membacanya.  Sayangnya, kita selalu berharap agar orang terdekat kita menolong dan memberi perhatian dan harapan ini menciptakan kabut pada pandangan sendiri. 


Seringkali keluhan itu suka menghambat pikiran dan situasi-situasi baik yang sudah kita dapatkan.  Boleh dibilang manusiawi? Entahlah, bisa jadi manusiawi, tapi seringkali ketika kita bilang keluhan itu manusiawi, malah menumbuhkan sebuah pembenaran sikap untuk membenci seseorang dan tidak mensyukuri nikmat yang ada. Jadinya, banyak sekali pemandangan yang indah tertutup oleh sudut pandang kita sendiri.

Saya pernah punya pikiran seperti itu, menuntut, berharap dapat perhatian lebih dari lingkungan terdekat. Tapi ternyata, semakin kita berfikir, menganalisa ini itu tentang sikap-sikap mereka yang kita anggap tidak peduli ternyata malah menambah beban, melelahkan, tidak menjadikan keadaan lebih baik dan ini membuang waktu. Dan begitu mental menuntut ini dibebaskan dari hati, banyak sekali keindahan yang terlihat dan ternyata hal yang patut disyukuri pun lebih banyak. 

Sejak itu, setiap masalah datang lalu selesai dan muncul masalah yang lain, pikiran berharap mendapat pertolongan dan perhatian dari orang terdekat saya redam sampai benar-benar tenang dan hilang. Digantikan dengan perasaan yakin bahwa tubuh, hati, pikiran manusia sangatlah sempurna, dia bisa menghadapi setiap persoalan. Jadi, setiap ada masalah, otak dan hati langsung di set. Pertama, tarik nafas dalam, atau kalau perlu menangis, ketika perasaan mulai stabil mulai berfikir dan berbisik dalam hati,”Ya Allah yang ya Tuhanku, apa yang harus saya lakukan. Tuhanku, luaskan ruang-ruang hati, luaskan rezeki, luaskan iman, luaskan kesehatan. Aku serahkan semua masalah ini kepada-Mu. ” Lalu perbanyak dzikir, lepaskan semua beban lalu ikuti semua proses dan yakin kita bisa melewatinya. Bebaskeun! Langsung caang manah. (*caang manah: terang hati)

Kembali pada situasi diatas, kalau dihadapi dengan tertekan dan pikiran-pikiran liar tentu semua akan terasa sulit dilewati. Dalam kondisi tenang maka pikiran dan hati akan lebih terasa tenang. Ketika kita harus berinteraksi dengan orang-orang, bahasa dan mental akan lebih terjaga. Di ruang-ruang tenang inilah, otak pun akan dengan mudah diajak berfikir tentang apa yang harus dilakukan. Bersahabat dengan ruang-ruang dan segala unsur tampak terlihat indah. Begitupun dengan tubuh, ia kan terasa lebih kuat dalam menjalankannya dan kita akan mudah memaklumi dan bersahabat dengan berbagai situasi yang tidak membuat kita nyaman.


Selamat hari Sabtu,
Bandung, 30 Maret 2016
@imatakubesar
Trotoar Jalan Asia Afrika Bandung.

Halo Sore, apa kabar? Sini, minum bandrek sama-sama di teras rumah, sambil melihat anak-anak bermain dengan gembira, sementara para ibu sibuk memanggil mereka untuk mandi sore dan menyuruh pergi mengaji di masjid dekat rumah. Tak hanya anak-anak yang beraktifitas sore, para ibu pun mulai memasak untuk makan malam atau memanfaatkan waktu untuk membaca koran pagi atau baca buku. Katanya, sore adalah waktu yang cocok untuk membuat karya, baca buku dan diskusi, karena otaknya sedang kondisi tenang. 
Ternyata banyak juga orang yang belum tahu tentang penyakit TBC otak (tuberculosa otak), temasuk saya. Mungkin tidak sepopuler penyakit lainnya, itupun saya tahu karena suami saya kena penyakit itu. Kasus tbc otak termasuk jenis langka karena kebanyakan tbc itu biasanya berkaitan dengan paru-paru. Penularan TBC sangat mudah, karena penularannya melalui pernafasan/udara dan air liur. Tapi, untuk kasus tbc otak ini lain, bahwa-katanya penyakit tbc otak ini tidak dapat menular, ia tumbuh sendiri. Penyakit tbc ini bisa disembuhkan meskipun termasuk kategori penyakit yang mematikan. Penyakit ini tidak berbahaya, asal segera diobati dan disiplin melalui proses pengobatannya sampai tuntas. Penyakit tbc ini akan sembuh dengan mengonsumsi obat OAT selama 6 bulan, 9 bulan bahkan 12 bulan, tergantung kondisinya seperti apa. Sebagai catatan, jika obat itu tidak dimakan sehari saja, penyakit ini akan semakin kuat/resistan terhadap obat. Kalau ini terjadi, dosis obatnya harus bertambah dan proses pengobatannya dimulai dari nol. Dari banyak kasus, orang yang melewatkan obat karena merasa lelah, sudah malas, tidak disiplin makan obat karena dianggap pengobatannya memakan waktu lama. Sehingga, pasien tbc memerlukan motivasi dan dukungan kuat dari lingkungan sekitar, baik teman maupun keluarga agar semangat sembuhnya tinggi.