Menduga-duga

Ada kejadian lucu, waktu saya dan Cholis pergi ke sebuah toilet umum di RSCM hari Senin ini. Saat itu antrian masih belum ada, tapi di dalam sudah ada orang. Tak lama dari kami mengantri, datang dua orang ibu setengah baya. Lalu, ibu itu mulai bertanya:

Ibu 1: “Ngantri juga, Mba?” (Mba? mungkin secara penampilan saya memakai jeans dan kemeja kasual yang tampak kece dan cantik, #gapenting)

Ibu 2: “Ini toilet di mana lagi, ya, kok cuma satu sih!”

Saya: “Oh, di dalem ada, deket mushola. Disana banyak, tapi agak jauh, sih.”

Ibu 2: “Iyah, saya baru sih ke sini. Jadi kalo saya cari-cari ke sana, nanti lama lagi.”

Saya: (Cuma mengangguk)

Ibu 1: “Sudah dari tadi ngantrinya?”

Saya: “Hmmm… lumayan, Bu.”

Cholis: “Mau Ima atau ayah dulu? Ayah pengen PUP.” (Bisik ayah)

Saya: “Ayah aja dulu, Ima masih bisa nahan.”

Suara air dari dalam toilet terdengar bersemangat, tampak heboh, seperti orang mandi.

Ibu 1: “Ini sih kayanya mandi! (Intonasi keluar terdengar ketus). Waduh, orang lagi pada ngantri gini malah mandi.” (Mulai merasa yakin sendiri)

Ibu 2: “Iya, nih. Engga tau disini udah kebelet. Padahal cuma pengen pipis.”

Ibu 1: “Masa mandi di toilet umum!” (Mulai nuduh)


Tak lama kemudian, tertuduh dibalik toilet ini pun keluar dan ternyata dia adalah pekerja kebersihan RSCM, dia memakai seragam biru, pakai sepatu dan tidak membawa alat-alat kebersihan apalagi bawa alat mandi. Saya gak tahu bagaimana reaksi wajah maupun tubuh mereka, hati saya cuma bernyanyi-nyanyi: “Taraaaa… mandi? Ga mungkin, kan.” Lalu setelah pegawai kebersihan itu keluar, giliran Cholis masuk.

1… 2… 3… 4… 5… 6… dibalik toilet tak ada suara, tampak hening dalam beberapa waktu yang cukup lama kalau untuk sekedar buang air kecil. Entah detik atau menit keberapa, saya sudah bisa menduga, ibu-ibu ini pasti komentar. Benar saja:

Ibu 1: “Wah, buang air besar ini. Lama bener.”

Saya: “Iya, Bu. Ini kan pagi, perut lagi masa pembuangan.”

Ibu 1: “Kalo saya sih, pas bangun tidur langsung buang air besar!”

Saya: “Glek!”

Ibu 2: “Kalo saya, pasti, jam 3 subuh langsung buang air besar.”

Ibu 1: “Iya, bener! Saya juga udah kebiasaan tuh (dengan nada tinggi bagian “tuh” nya) jam pas bangun langsung buang air besar.”

Obrolan pun berlangsung berulang-ulang seputar pembuangan seolah setiap tubuh mempunyai kecenderungan yang sama. Seolah proses pembuangan air besar ibu itu paling hebat, tidak merepotkan dan tidak menghambat kepentingan orang banyak. Topik pagi tanpa kopi (tentu saja).

Buat saya, ini obrolan yang lucu dan maknanya dalam. Coba deh perhatikan, di kehidupan kita sehari-hari, media sosial, seringkali kita tergoda untuk menganalisa sesuatu di balik visual dan kalimat-kalimat. Dan ajaibnya, semua orang suka dengan menciptakan dugaan sendiri, apalagi yang lahir adalah bentuk analisa yang jelek apalagi berefek negatif, tampak seru dijadikan ajang perbincangan. Seperti dugaan para ibu itu, sedkitpun tidak ada komentar atau dugaan baik. Kalau orang yang diperbincangkan ini dengar, pasti dia akan merasa gelisah dan proses “pembuangan” menjadi tidak tentram. Ya, saat itu mereka mengantri dan butuh betul untuk masuk ke dalam toilet, karena dalam tertekan, mereka cenderung melihat segala sesuatu menjadi sangat jelek. Ditambah mental orang-orang yang tengah di rumah sakit, cenderung stress, terburu-buru karena harus mengurus kerabatnya yang tengah sakit. Entah, atau bisa jadi agar bisa dapat teman ngobrol untuk meluapkan kegelisahannya, sehingga eksistensinya tumbuh dan dapat menguasai ruang.

Pelajaran kedua adalah ketika saya pulang belanja dari pasar, membeli bahan-bahan untuk bolu kukus ketan hitam. Kebetulan waktu itu saya sengaja beli banyak stok, bawaan terasa berat. Di terminal saya turun dari angkot, lalu dengan berjalan tergesa biar cepat sampai rumah karena membawa jinjingan yang lumayanberat. Di pinggir terminal ternyata ada saudara memanggil:

Saudara: “Neng, tos timana?” (Neng, udah dari mana?)

Saya: “Ti pasar, teh.” (Dari pasar, teh)

Saudara: “Oh, heeuh atuh.” (Oh, iyah deh)

Saya: (Otak promosi saya kembali jalan) “Teh, abi icalan bolu ketan hitam. Hehe…” (Teh, saya jual bolu ketan hitam)

Saudara: “Eeeh… nanaonan atuh icalan, sakitu tos gaduh arto sagudang.” (Eeeh… apa-apaan jualan, segitu udah punya uang segudang)

Saya: “Aduh, teteeeeh, aaaamiiiiin… aaaaamiiiin…”

Saudara: “Bikin sendiri?.”

Saya: “Iyah, teh, pesen yah, ehmmm…”

Saudara: “Ih, nanaonan, pedah engga ada kerjaan, yah. Da kamu mah atuh tinggal tidur, makan, nonton, butuh apa-apa tinggal minta, orang tua masih ada, saudara banyak.” (Ih, apa-apaan, karena ga ada kerjaan, yah. Kamu kan tinggal tidur, makan, butuh apa-apa tinggal minta, orang tua ,asih ada, saudara banyak).

Saya: “??!!?!.” Dapat komentar begitu rasanya; perih jendral! Sebenarnya saya sering mendapat penilaian begini dan rasanya tidak enak, merasa disepelekan dan yang jelas saya tidak begitu. Betapa buruknya saya di mata mereka.

Apa perlu dialog ini dijelaskan? Saya sebenarnya agak bingung dengan komentarnya yang tidak sesuai dengan kenyataan yang saya jalani. Bagaimana bisa, dia berfikir sejauh itu, apa yang dibayangkannya tentang kehidupan saya selama ini dimatanya? Pemalas? Seorang puteri yang segala dilayani? Kalau benar begitu, apa yang saya lakukan seharusnya sekarang? Berleha-leha? Jika seandainya saya tak perlu bekerja, tinggal minta, emang apa enaknya manusia tidak bergerak? Pada kenyataannya, saya tidak seperti yang dia fikirkan, tapi saya amin-kan agar segera mendapat keleluasaan finansial.

Dari dua kasus diatas, kebanyakan kita senang sekali menduga-duga sesuatu dari gerak gerik, suara, visual, penampilan, keadaan seseorang tanpa kenal dan kejelasan yang pasti. Ini sering terjadi ketika satu orang menilai seseorang dari penampilannya, apalagi ketika kita di angkutan umum, kereta api, imajinasi kita sering berkembang terhadap seseorang dibalik visualnya. Lebih buruk lagi ketika sekelompok ras menilai ras yang lain ketika ada kecenderungan salah satu penganutnya melakukan sesuatu. Ketika ada kecenderungan bahwa kitalah yang paling keren dan benar, sehingga begitu mudah melucuti seseorang atau sekelompok dari karakter aslinya.

Di media sosial lebih sadis lagi, imajinasi lebih tidak terbendung. Kita sering terjebak untuk menilai seseorang dari kecenderungan status-statusnya, foto-fotonya. Seolah-olah kita mengenalnya betul, bahwa dia orang yang keren, produktif, norak, menjengkelkan, ga menarik, kurang produktif, tidak menguntungkan, menguntungkan, bla, bla lainnya. Tapi ketika ketemu langsung dan sering ngobrol langsung, kita selalu menemukan pribadi lain yang penuh kejutan. Jadi, terkadang kita suka saling “mengira”, “menuduh”, mengimajinakan kehidupan seseorang atau sekelompok orang tanpa dikenali lebih jauh. Seperti halnya tuduhan ibu itu terhadap apa yang dilakukan seseorang di dalam toilet, padahal jelas-jelas pandangan mata kita terbatas, kita hanya menduga-duga, tidak lihat langsung dan berani memastikan tindakan seseorang hanya dari suara air. Dan pun kita tidak pernah tahu sebenar-benarnya, bagaimana isi kepala seserang dibalik sikap-sikap dan kehidupan visualnya: bajunya, senyumnya, karakter sebenarnya dari wajah seriusnya, kehidupan di balik rumah dan keadaan sesungguhnya di balik foto. Nah, lho! Jadi, seringkali pertikaian, ketidaksukaan, rasa iri, benci, kemarahan lahir terhadap seseorang lahir dari ilusi kita sendiri.

@imatakubesar

Bandung, 25 Nopember 2015

8 komentar:

  1. Iyaa yah teh kadang kita emg suka banyak sok tahunya :#

    Nah yang sangkaan kedua juga aku banget tuh teh -___-
    Mungkin mereka ngiranya hidup kita enak (yaa eamng enak sih) tapi bukan enak karena gak ngapa-ngaapain juga kalik yaah *duuh

    BalasHapus
  2. Heheeee.. sama, lah. Teh Ima jg suka menilai orang dari gestur, cara bicara, dan lain2, kadang salah menilai dan jadi rugi sendiri, hehheeee...

    BalasHapus
  3. Maaf waktu itu pupnya agak banyak jadi a trian agak lama, mrngkibatkan ibu-ibu saling menggosip heheheheheheheh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi kalo di toilet umum, dilarang menimbulkan ilusi para pengantrinya, hahahaaa... bisa menimbulkan dosa, saling mengira2, hahahaaa...

      Hapus
  4. Ilusi adalah bentuk dari manusia hanya ingin mempercayai apa yang ingin mereka percayai :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebayakan dari kita begitu, kan. Merasa yakin dengan analisa sendiri dgn melihat beberapa tanda, usah merasa paling benar dan yakin, itu dia, percaya dgb analisa sendiri. eh taunya pas dibuka, kecele deh.

      Hapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv