Travelcholistic Lebaran

Saya bingung memulai tulisan ini dari mana.  Ingin berbagi cerita yang kami lewati.  Sudah 2 kali Lebaran di tahun 2014 dan tahun 2015 ini, saya mengalami hari raya dengan suasana yang berbeda.  Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak bisa merasakan keindahan dibalik bulan Ramadhan dan hari raya nan fitri ini.  Saya berusaha terus menjalaninya dengan tenang, mengambil keputusan dan langkah berani, bukan apa-apa, karena dengan tenang kita bisa memetakan masalah agar mendapat langkah tepat.  Ya, karena hidup akan dihadapkan pada beberapa pilihan dan kita tetap harus berjalan.  Saya percaya, apapun kondisinya, hati kita akan selalu merasa tidak puas jika menjalani sesuatu jika memandangnya secara sempit.  Saya percaya, ada maksud lain dibalik semua masalah yang terjadi pada kami.  



Sakit Cholis-suami saya- bukan pilihan, tapi mencari solusi dan merawatnya adalah pilihan.  Kalau difikir-fikir, Cholis sakit berat, tanpa penghasilan, anak-anak masih kecil dan butuh perhatian lebih.  Kalau memandangnya penuh kerumitan, ini adalah sesi hidup yang paling berat dan sulit buat saya, tapi saya tidak memutuskan untuk merasa sulit.  Saya percaya, Allah punya rencana hebat dibalik teka teki dan proses yang harus kami jalani.  Lebih ajaib lagi, sepertinya Allah tengah “rindu” pada kami dengan caranya, sampai suatu waktu Cholis bilang seperti ini: 

“Ima jangan takut, Allah sudah memperhitungkan segala sesuatunya dengan tepat.  Sakit Cholis ini atas izin Allah, bahkan sakit Cholis ini dilengkapi dengan rezekinya.”  Dia pun tersenyum.


Saya mau menceritakan Lebaran tahun 2014, suasana yang penuh keajaiban, haru, khawatir, takut kehilangan seseorang yang kita sayang.  Pada bulan Juli 2014, kami Lebaran di Kadupandak-Pandeglang-Banten, sebuah kampung di pegunungan yang indah, tentram, alamnya masih terawat, pesawahan, pepohonan dan suasana pesantren yang kental.  Bulan Februari 2014, Cholis terkena serangan kejang terus menerus hingga mengalami koma sampai masuk ICU dan dirawat di rumah sakit selama 9 hari.  Di awal bulan Maret 2014 Cholis keluar dari rumah sakit dalam keadaan tidak bisa berjalan lancar, suaranya hanya bisa berbisik, dan mentalnya sangat rentan:  mudah terharu, mudah sedih jika begitu maka tubuhnya akan terasa sangat lelah dan nge-drop.  Dia tidak bisa diajak bercerita yang terlalu sedih, terlalu gembira dan tentu saja yang menggelisahkan.  Kondisi mental dan fisiknya rentan sekali seperti telur yang mudah pecah, jika ini terganggu maka gejala kejang akan muncul.  Karena alasan ini pula, setelah dirawat di rumah sakit, saya dan keluarga memutuskan untuk memindahkan Cholis ke rumah kakaknya-Teh Embay dan Wa Alwis- di Serpong.  Kebetulan mereka baru pindah dan memiliki beberapa kamar, dan salah satunya bisa kami gunakan.  Suasana di rumah ini mendukung kondisi suami yang rentan, jauh dari keramaian, nyaman dan cuaca dingin seperti di Bandung. 


Selama di Serpong, kami mencari berbagai pengobatan alternatif, entahlah ada kekuatan besar yang membuat kami terus berusaha mencari pengobatan selain pembedahan.  Keluarga Cholis dan Cholis memutuskan untuk mengambil langkah pengobatan herbal untuk proses penyembuhannya.  Selain obat herbal, saya dan Teh Embay terus berdikusi dan menganalisa cukup intens, beliau ikut mendukung saya untuk mencari referensi tentang pola makan food combining, tidak hanya ikut grup di facebook, tapi membeli beberapa buku yang bersangkutan dengan pola makan ini sebagai langkah self healing.  Setelah dipelajari, dengan bismillah pola makan ini pun mulai diterapkan untuk Cholis dan saya ikut praktek agar Cholis bersemangat.   

Keputusan ini dilakukan untuk menghindari resiko pembedahan yang harus dilakukan, yaitu kelumpuhan tangan, kaki dan fungsi bicara.  Resiko ini sungguh tidak bisa kami tanggung, karena kami fikir, setiap penyakit pasti ada obatnya, kalau berobat lantas menambah penyakit yang lain buat apa?.  Akhirnya hari demi hari proses makan food combining dan pengobatan dengan menggunakan herbal berupa akar-akaran dan biji-bijian yang sudah ditakar oleh herbalis itu dikonsumsi oleh suami.  Kami mematuhi semua aturan konsumsi obat ini dan berbagai pantangan makannya.  Cukup menyita hati, pikiran, fisik dan materi. 



Foto: Ima.  Cholis dan makanan Food Combiningnya.
Setelah konsumsi herbal tersebut, setiap satu minggu perkembangan tubuh dan mental Cholis perlahan-lahan tumbuh kembali seperti bayi yang baru lahir.  Dari jalan tertatih menjadi jalan tegap bahkan bersepeda, dari suara yang berbisik hingga kembali bulat.  Sepertinya obat herbal ini bekerja baik.  Satu bulan suami saya terlihat lebih bugar dan memutuskan untuk pulang ke Kadupandak-rumah orang tua Cholis.  Saya ikut mendukung keputusan yang diambil Cholis, karena jika Cholis nyaman maka kondisi fisiknya pun makin membaik.




Kami pun pindah ke Kadupandak-Pandeglang dengan sejuta harapan, rupanya Cholis semakin membaik bahkan mulai bisa naik sepeda perlahan-lahan.  Mulai bisa mengobrol dengan tetangga dan menampung beberapa persoalan dari keluarganya, seperti dulu.  Bahkan, Cholis bisa mengiringi paduan suara anak-anak santri dengan lantunan gitarnya.  Semangat sehat dan hidupnya sangat tinggi, kadang-kadang, dia yang selalu memberi motivasi pada saya tetap berfikir positif pada setiap proses hidup yang terjadi pada kami.  Biasanya, jalan keluar hasil pemikiran Cholis suka lebih terbuka dan menenangkan.  3 (tiga) bulan dilewati dengan menyenangkan dan kadang-kadang menegangkan, karena progres kesehatan fisik Cholis semakin terlihat indah.  Sayangnya ketika masuk di bulan Ramadhan, Cholis tidak bisa ikut puasa karena pola makan herbal dan obat dari dokter yang cukup padat. 

Sebentar lagi Lebaran.  Suami saya tidak bisa makan semur daging dan gegemblong, makanan khas Lebaran di Pandeglang (Banten).  Saya berfikir keras untuk mengolah makanan yang boleh dimakan oleh Cholis tapi tetap enak.  Dia tidak ciut, karena keinginan sembuhnya sangat tinggi, jadi dia memilih memakan makanan yang sesuai pola makan sehat yang biasa dikonsumsinya.  Boleh makan daging-dagingan, tapi ayam kampung yang tidak boleh terlalu banyak bumbu seperti kemiri, santan dan pedes.  Mama-Ibu mertua saya- khusus memesan ayam kampung agar Cholis bisa ikut makan enak, lalu beliau mengolahnya dengan minim bumbu namun tetap enak. 

Sore hari, satu minggu menjelang Lebaran.  Saya diantar Ka Ola-adiknya Cholis-pulang dari sebuah mini market habis membeli buah-buahan untuk sarapan Cholis besok pagi.  Cholis tiba-tiba menyambut saya dengan pucat, dia mengeluhkan perutnya mual dan tidak juga mereda.  Tubuhnya melemah, rasa mual yang dirasanya tidak juga berhenti.  Esoknya, saya bolak balik menelepon herbalis di Jakarta untuk memastikan rasa mualnya ini normal atau tidak, karena setelah 3 bulan mengonsumsi herbalnya tidak ada keluhan, malah kondisi fisik dan psikisnya makin membaik.  Baru kali ini, rasa mualnya sedemikian parah.  Lalu saya telepon dokter bedah syaraf yang merawat suami selama di Bandung, dia tidak tahu tentang hal ini, hanya menyarankan mengonsumsi obat lambung seperti Mylanta.  Karena buat dia, solusi terbaik adalah operasi karena dikhawatirkan ukuran benjolannya makin membesar.  Tapi satu sisi, dokter bedah syaraf ini pun merasa lebih takut mengoperasinya karena kondisi fisik suami yang makin bugar dan stabil.  Berbeda waktu pertama kali lihat kondisi pertama, sudah tidak bisa berjalan dan kehilangan suara.

Obat herbal paket kedua mau habis, sementara herbalis akan tutup dalam waktu 1 minggu, saya segera pergi ke Jakarta untuk konsultasi kondisi fisik Cholis yang menurun.  Kondisi keuangan mulai menipis, sementara saya harus beli paket herbal yang ketiga.  Saya terpaksa meminta Cholis untuk bilang sama Abah-Bapaknya Cholis-untuk menambah kekurangannya.  Setelah mendapat tambahan, saya pun segera pergi ke Jakarta dan berkonsultasi banyak hal. Saya memutuskan untuk membeli herbal ini, sebelum mendapat jalan keluar pengobatan yang lain.

Pulang dari Jakarta, dengan membawa paket terakhir, sementara kepercayaan Cholis pada pengobatan ini mulai memudar.  Saya bingung, rasanya setiap doa selalu dihantarkan setiap waktu.  Ruangan kembali temaram, anak-anak pun menjadi begitu gelisah.  Hingga suatu malam, suami sudah tertidur, begitupun dengan anak-anak, diluar rumah segelintir kendaraan hilir mudik dan beberapa penduduk yang tengah ronda.  Saya berbisik pada Tuhan,”Tuhanku, Ya Allah… aku sudah berusaha, begitupun dengan suamiku, kami adalah milikmu, hanya Engkau yang dapat menyembuhkan suamiku.” 

”Setiap yang bernyawa pasti mati.”  

Melalui satu ayat di salah satu ayat-ayat qur’an yang saya baca hari itu, seolah menepuk bahu saya: “Setiap orang pasti mati, aku, kamu, kalian.  Tapi kita wajib bertahan hidup saat sakit atau terluka, karena jika diam sama saja dengan bunuh diri.”  Ayat ini yang mampu membuat saya bertahan.  

"Lahaola walakuwwata illabillah." Bisikku. 


3 hari menjelang Lebaran, adik Cholis-Ade-memberitahu kami, bahwa ada iklan di radio tentang pengobatan akupunktur di daerah Pandeglang.  Esoknya, dengan segenap hati dan keyakinan, kami coba datang ke tempat itu.  Dengan memegang beberapa lembar uang lagi, saya percaya, harganya tidak terlalu mahal.  Dengan diantar supir, suami, saya dan anak-anak pergi ke tempat akupunktur itu.  Jaraknya cukup jauh dan tempat prakteknya tidak terlalu besar.  Kami bertemu dengan sinse-nya dan memperlihatkan hasil MRI dan tes darah.  Beliau menjelaskan banyak hal, lalu proses pengobatan dimulai.  Kaki, tangan, perutnya di tusuk jarum, beberapa jarum ditusuk di kepalanya dengan aliran listrik.  Muka suami saya terlihat tegang, saya tenangkan.  Tak lama, proses itu selesai.  Sinse mulai meracik obat, menyerahkan 1 botol obat cair dan beberapa butir obat-obatan Cina.  Lalu menyerahkan secarik kwitansi dengan jumlah Rp. 1.200.000, harganya cukup mahal dalam kondisi kami saat itu.  Karena, dalam dompet kami tinggal Rp. 1.500.000, itu uang sisa “pegangan” dari yang bayar kontrakan.  Sebenarnya hati saya menciut, ada sedikit rasa berat, karena saya belum beli baju lebaran untuk Alif dan Bayan.  Cholis memandang saya,

Obatnya tidak usah ditebus, Ma.”  Saya tarik nafas,
”Ayah yakin dengan pengobatan akupunktur ini?” 
“Wallahualam, hati ayah rasanya lebih tenang.”
“Bismillah, uangnya ada.  Kita tebus.  Tenang aja.”  Jawabku tegas.

Saya selalu ingat seseorang pernah mengatakan, bahwa pekerjaan istri di rumah adalah shadaqoh, apalagi kalau istri punya penghasilan dan digunakan untuk kepentingan keluarga.  Hati saya berbisik,

“Allah, uang itu milikmu, suamiku pun milikmu, rezeki ini insya Allah memang sudah disiapkan untuk obat ini.”  Dengan segenap hati, saya serahkan uang itu pada sinse.  Kami pun pulang.

Sisa uang tinggal Rp. 300.000, saya masih ingin membeli pakaian baru untuk Alif dan Bayan yang sudah saya “keceng” beberapa hari sebelumnya.  Sepenuh hati, saya minta untuk mampir ke toko baju anak dan membeli 2 pasang baju koko untuk Alifdan Bayan.  Saya tidak peduli, uang tinggal Rp. 100.000, nanti saya coba kumpulkan recehan di celengan.  Pasti dapat banyak, bisikku.  Ah, melihat 3 laki-lakiku: Cholis, Alif dan Bayan tersenyum dengan kebahagiaan, tenang rasanya. 

Ramadhan, suami saya-Cholis-terlihat lebih baik, meskipun masih lemah.  Herbal yang dikonsumsinya dari Jakarta, kami hentikan.  Cholis ganti dengan memakan obat racikan Sinse Cina.  Ia terlihat lebih baik.

Malam takbiran, tubuhnya dibalur penghangat, dibalik selimut yang tebal, Cholis tidur lebih cepat meskipun tidak tidur lelap, keadaanya masih lemah.  Tiba-tiba Ka Udong-kakak Cholis datang, dia mencari Cholis lalu masuk ke kamar.  Saya tidak tahu apa yang terjadi, tak lama kemudian dia pun pergi lagi.  Tak lama kemudian, suami saya memanggil.  Dan memperlihatkan secarik amplop dengan tulisan “H. Nurcholis”.

“Buka, Ma.”  Katanya pelan.
“Dari siapa?”
“Fahrudin.”

Saya membuka amplop perlahan, beberapa lembar uang tampak disana, jumlahnya Rp. 1.500.000.  Kami pertatapan, berpelukan, menangis haru.  Seolah Allah mengganti uang yang sudah saya keluarkan untuk obat dan baju anak-anak. 

Lebaran tiba.  Kami berkumpul dengan suasana sedikit tawa, meskipun masih bisa berusaha membangun suasana tetap riang dengan berfoto bersama.  Meskipun Cholis dan Abah sakit, kami berusaha semangat.  Sore hari saat kami berkumpul di teras rumah, tiba-tiba ada sebuah motor dengan 2 orang penumpang parkir di depan kami.  Ternyata mereka adalah teman Cholis-Denta bersama seorang perempuan ternyata istrinya-Uum- berasal dari kampung yang tak jauh dari Kadupandak.  Kami tidak pernah bertemu selama 7 (tujuh) tahun.  Denta teman baik Cholis semasa kuliah di Bandung, satu kelas dan satu kosan. Obrolan berlangsung ringan, dia menanyakan pengobatan yang sudah Cholis lakukan.  Tanpa banyak basa basi, Denta menyuruh Cholis datang ke Depok, untuk pengobatan akupunktur.  Ibunya-Ibu Etin-ahli akupunktur punya tempat praktek, beliau berharap Cholis mau datang ke tempat prakteknya.  Dia mau Cholis datang, harus datang, katanya,

“Tidak usah memikirkan biaya, yang penting lo sembuh dulu, ga usah mikirin itu.  Pokonya, lo harus dateng”


Lebaran ini, penuh proses yang menegangkan dan keajaiban dari kiri kanan.  Allah maha dekat, lebih dekat dari urat leher.  Dia cuma mau kita selalu berdekatan dengan-Nya, melalui caranya.  5 hari setelah Lebaran, kami menerima kebaikan cinta sahabat, datang ke Akupunktur Meridien, Depok.  Bismillah…

@imatakubesar
Serpong, 13 Agustus 2015

20 komentar:

  1. Banyak belajar dari semangat Ima & Cholis :)

    Sukses kontesnya ya ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaaamiiiiin, aaaaamiiiiin... Kembali menulis dan dapat temen2 blogger yang asik-asik, Ini energi positifnya banyak banget buat Ima. Peluk jauh buat Teh Dey :*

      Hapus
  2. *Peluuuuuk Teh Ima*
    Subhanallah , teh. Aku terharu banget.
    Semoga kesehatan dan kelimpahan serta keberkahan rezeki menyertai teteh dan keluarga.
    aamiin ya Rabb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allaaaah... doanya, berarti bangeeet. aamiiiiin...

      Hapus
  3. sukses GA nya, Allah tidak tidur ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllaaaah... Iyah, Dia sangat dekat dan tidak tidur ;)

      Hapus
  4. Aaaaakk Mbak Imaaa..
    Alloh Maha Baik, Maha Tahu, Maha segala-galanya.
    Banyak pelajaran yang aku petik dari tulisan Mbak Ima ini.
    Tetep semangat ya, mbaak. Insyaa Alloh Alloh ridho, suami ridho, semuanya lancar dan berkah. Aamiin :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nis, Maksih udah support terus, semangat juga yah ;)

      Hapus
  5. FC-nya plus raw food juga...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah, kadang-kadang raw food juga. Maksih yah, jabat erat

      Hapus
  6. subhanallah semangat dan usahanya luar biasa... semoga segera diberikan kesehatan seperti sedia kala ya mak... aminnn...

    oya, salam kenal ya mak Ima.. terimakasih sudah ikut #GiveAwayLebaran ya :)
    sering2 ya main ke blogku www.heydeerahma.com ya mak..

    =Dee=

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Mba Dee, temanya pas banget dan semoga dengan berbagi cerita ini bisa memotivasi siapapun.

      Hapus
  7. Doa untuk Pak Cholis dan Ibu Ima.... semoga dipulihkan kesehatannya... rukun selalu keluarganya...aamiiinn....

    BalasHapus
  8. Aaaamiiiin... aaaamiiiiin.... terima kasih buat apresiasi dan perhatiannya, yah. Doa yang sama untuk kita semua. :*

    BalasHapus
  9. peluuuk....semoga kang cholis cepat pulih, ima juga jaga kesehatan yaa aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teh Dewi, iyah... semoga kita semua bisa sehat dan bermanfaat untuk hidup. aaaamiiiin...

      Hapus
  10. hikss..terharuuu mengikuti perjalanan cholis yang tau ari awalnya
    waktu di rs rajawali ituu, masih tetep semangatnya..
    salut buat Ima yang selalu setia mendampingi
    semoga kisah inspiratif ini menjadi tempat belajar kita semua.
    belajar buat bersabar, bersyukur dengan ujian2Nya

    *peluk Ima, salam buat kang cholis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Teh Enchi... Ima juga belajar dari sekeliling Ima, banyak kekuatan doa dan dukungan dari sahabat dan keluarga.

      Hapus
  11. Penuh haru kisahnya hiks, semoga Allah selalu memberi kekuatan dan kemudahan buat mb ima sekeluarga ya, dan kesembuhan buat suami

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teh Dewi... Doa yang sama untuk Teh Dewi :*

      Hapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv