Hari ini tidak terlalu baik, sepertinya saya cape sekali dan
tiba-tiba saya mengeluarkan emosi yang tidak biasa sampai saya lari sambil
menangis ke dapur dan menyiram muka sendiri agar tenang. Awalnya sederhana, anak-anak saya rebutan seperti
biasa, saya berhasil melerainya. Situasi
rebutan ini berkali-kali, salah satu teriak dan menangis, biasanya saya menarik
nafas panjang, berfikir apa yang harus dilakukan dan menggendong salah satu
agar tidak terjadi pertumpahan emosi. Tapi
memang kebetulan di rumah banyak anak-anak tetangga juga yang sedang main ke rumah. Biasanya saya biasa saja, malah lebih tenang
kalau kondisi rumah ramai. Siang tadi
berbeda, ketika saya sedang membuat pesawat terbang dalam rangka membujuk agar
tidak berebut, anak saya yang kecil mukul sepupunya dan sepupunya ini teriak
sambil menangis. Tiba-tiba, saya spontan
teriak sampai saya sendiri lari sekuat tenaga menarik tubuh saya agar pergi
dari situasi itu dan mencuci muka. Tubuh
dan hati masih berada dalam tanda-tanda amarah, saya pegang tangan dan leher,
terasa tegang, saya sendiri aneh. Aduh, ini tidak beres, langsung Bayan yang
tengah menangis saya gendong dan cepat-cepat dititip ke Ceu Emi yang bantu
beres-beres di rumah. Saya segera lari
ke rumah Teh Ida dan tiba-tiba saya menangis sejadi-jadinya.
“Teh, Ima cape…”.
“Iyah, Ima, wajar kamu cape, dulu pas Ima cape engga dirasa,
sekarang segala kerasa, ya sakit, cape, sok kalau mau nangis keluarin aja.” Teh Ida ngajak Ima ke kamar dan memijit
tangan dan leher Ima. Memang otot-otot
mulai terasa lebih tenang.
“Ima ngerasa ada yang engga beres, takut kesadaran Ima
menurun mangkanya Ima lari ke sini. Bayan
Ima titip Ceu Emi.”
“Tenang, Bayan mah nanti lama-lama juga diam. Istigfar Ima, banyak berdoa, semua orang
diuji dengan situasi yang berbeda-beda, Teh Imas yang baru kehilangan suami
terus sekarang anaknya tertabrak, Bibo yah tahu sendiri situasinya, Ila, Teh
Ida, aduh… Ima mah segini aja udah sabar, ngehadapin anak-anak yang rewel tapi
tenang, Teh Ida mah bisa marah-marah.”
“Iyah, gitu teh? Tapi
Ima pernah juga marahin anak-anak.”
“Tapi wajar kalau itu terjadi sesekali, apalagi Ima ngurus
suami dan anak-anak, 3 orang ditanggung sendiri, wajar, Ma.”
Saya terlentang di lantai, berusaha melemaskan otot-otot tubuh, tangan, leher, kepala lalu mengeluarkan unek-unek saya
selama ini, bukan untuk minta pendapat tapi mengelurkan pikiran yang berat
dikepala. Sambil tak berhenti berdzikir,
menyadari keindahan berada di rumah, dekat dengan saudara dan anak-anak yang
cerdas, Ayah yang mulai bis amenggambar lagi-ini kebahagiaan yang tak boleh disia-siakan. Daripada memikirkan sesuatu yang
menggelisahakan dan menggangu pikiran, lama-kelamaan, perasan dan pikiran negatif
itu reda dan kesadaran saya pun mulai penuh.
Cukup lama mengendalikannya, tapi
berhasil, apalagi ketika melihat anak-anak bermain lagi di halaman rumah dengan
teman-temannya. Pas saya mulai enakan,
Ayah datang,
“Ima, Ayah mau ke depan beli tensoplast, Aden kakinya
berdarah.”
“Jangan, Ima aja yang ke depan.”
“Ima habis nangis?”
“Hmmm… gapapa, Ayah.”
Ayah tersenyum.
“Ayah, mau ngemil apa?”
Ayah tidak puasa, tubuhnya masih belum kuat untuk ibadah yang satu ini.
“Crackers abon, yah.”
Kelihatan tubuhnya seperti melemah, barangkali tadi melihat Ima
dalam kondisi tidak enak.
“Ayah gapapa? Tenang ya
Ayah, tenang… jangan terlalu dipikirin,
Ima udah baikan.”
Ayah cuma mengangguk.
Saya pun pergi ke mini market yang sudah mirip warung karena posisinya
ada di ujung gang rumah. Ah, Ima, kamu
harus tenang, ketiga laki-laki itu membutuhkanmu. Ku hirup udara gang, cuaca yang panas, sepi,
kehidupan yang sederhana ini tak boleh disia-siakan.
Jadi, hari ini. Hari
ketiga Ramadhan. Saya tidak mengenali
diri sendiri. Masih terngiang-ngiang
kata-kata Teh Ida tadi, katanya, setiap orang diberi ujian dengan kadar yang
sama tapi situasinya berbeda-beda. Ujian…
Jadi ingat kata Ust. Oki Setiana Dewi di acara tausiahnya di televisi, dia mengutip
sebuah ayat Al Quran bahwa sesengguhnya manusia akan diuji oleh beberapa hal:
ketakutan, sakit, kelaparan, kekurangan harta dan buah-buahan. Saya lupa, surat dan ayat berapanya.
Bisa jadi, semua ujian itu lahir untuk menguji seberapa
besar kamu bisa mengendalikan rasa takut akan sakit, takut akan rasa lapar,
takut akan kekurangan harta, takut kehabisan buah-buahan. Ketika kamu bisa mengendalikan rasa takut
itu, sepertinya apapun bentuk ujiannya akan lebih tenang dijalani. Saat kita mengendalikan rasa takut, disana
ada keyakinan bahwa hanya Allah lah penolong kita, meskipun seringkali saya
lupa bahwa ada yang Maha selalu memberi banyak petunjuk. Bagaimana cara mendapat petunjuk dari
Allah? Shalat, berdoa, mengaji, dzikir,
dan yakinlah hanya Allah penolong kita.
Cara Allah menolong dan memberi petunjuk pun seringkali ajaib, tandanya
bisa melalui apa saja. Dari ceramah di
radio, senyuman anak, ayat quran yang tengah kita baca, obrolan ringan dengan
siapapun, tanda-tanda itu begitu mendekati ketika kita arahkan kegelisahan kita
kepada Allah semata. Jangan-jangan
dengan ujian ini, sebuah cara agar kita selalu dekat, semakin mengenal dan
akrab dengan Allah.
Maaf, hari ini Mama tidak baik. :'(
Bandung, 20 Juni 2015
Imatakubesar
#CatatanRamadhan2015
Hmm, kemarin memang juga bukan hari baik buatku dan suami :( Bukannya kami bertengkar, tapi ada masalah yang menguras emosi dan pikiran.
BalasHapusAlhamdulillah malam harinya kami dapat kabar baik. Semoga semuanya lancar bagi kami :)
Dan untuk Teh Ima, i think you are the strongest women ever. #pelukerat :)
Mungkin sesekali kita memang perlu merasa tidak baik hanya untuk sekadar mengenal apa itu hari baik dan untuk tetap bersyukur.
Banyak hal yang istimewa ketika kita bisa melewati hati tidak baik ini, ya, Dy. Alhamdulillah...
HapusKalau ada masalah datang.. Saya selalu ingat pesan om rambo... "Sesuatu yang tidak membunuhmu
BalasHapus.itu akan membuatmi semakin kuat"
Manusiawi, Ima.... kadang kita lelah. Tapi yang penting kita tahu kemudian bahwa kita harus kembali baik. Sesekali tak baik apalagi bukan karena tabiat itu bukan berarti kita tidak baik lho. Jangan terlalu merasa bersalah.
BalasHapusEfi juga pernah merasakan di titik ini, teh. Kadang ujug-ujug pengen nangis tapi malu takut ketauan. Kadang memang ada alasannya dan lagi-lagi terlalu pelit untuk berbagi. Akhirnya cuma dibawa tidur aja sampe lelap.
BalasHapus