Pagi itu, saya, suami dan Aden pergi ke taman komplek Sepong.  Disana ada acara 17 Agustusan yang kedua, tepatnya seminggu setelah tanggal 17 Agustus.  Kami dapat selebaran draft acara untuk acara hari itu.  Acara berlangsung dari jam 06.30 wib pagi, ada senam pagi bersama, bazar, karnaval sepeda hias dan final futsal.  Malamnya ada acara Malam apresiasi seni dan halal bi halal.  Sayangnya saya cuma bisa dateng acara pagi, karena sore hari harus pulang ke Bandung ketemu anak, ada acara kekah saudara dan besoknya mau mengurus pengunduran diri suami yang tengah S2 di ITB karena sakit, hmmm... okeh, next!  Nah, cuaca pagi cukup menyenangkan, sambil bersepeda dan membonceng Aden yang antusias walaupun belum mandi dan makan.  Beginilah ibu pemalas, haha!




Senyum itu bisa menjadi sangat murah dan bisa menjadi sangat mahal.  Kamu bisa mendapatkan ratusan senyuman di daerah tertentu tapi jangan harap bisa mendapatkannya di perkotaan.  

Sore itu Shinta keliling komplek, beberapa ibu-ibu saling berbicang-bincang di halaman rumah, anak-anaknya bermain bersama.  Shinta berusaha sopan dengan melemparkan sebuah senyuman, dan menyapa.  Tapi sayangnya tak ada satupun diantara mereka yang membalas senyuman dan sapaan Shinta.  Langkah berlanjut ke sudut yang lain, situasi yang sama pun berulang.  Shinta berfikir, barangkali mereka tidak berusaha membalas senyuman Shinta karena mereka tidak mengenalnya.  Shinta tidak anggap ini sebuah persoalan tapi mengganggap sebuah budaya yang berbeda.  Berbeda ketika Shinta baru saja berkunjung ke kampung suaminya, setiap dia lewat rasanya hampir semua orang menyapa dan minimal melemparkan senyum.  Barangkali situasi ini dipengaruhi tingkat keamanan dan was-was seseorang dipengaruhi dimana mereka tinggal.  Atau dipengaruhi oleh gender?  Gender?  Ya, bisa jadi begitu.