#3 Cinta (bukan) Ilusi - Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Siapapun pernah merasakan cinta, hati bergerak mengikuti ketukan dan ritme alam. Mungkin semacam daun yang jatuh dari rantingya lalu mendarat disuatu tempat yang tak terduga.  Cinta, ia tidak bisa memilih kapan terjatuh dan dimana.  Begitupun tokoh dalam novel Tenggelamnya Kapal Van DerWijck, mereka saling mencintai kepada siapa dan suku apa, sehingga “percintaan” mereka dianggap melanggar adat.  Cinta dianggap sebuah kisah-kisah yang ada di dalam kitab, tidak nyata.


Novel romantis ini meraih banyak kalangan terutama bagi yang sedang jatuh cinta maupun yang pernah merasakan pengalaman yang serupa.  Novel inipun mendapat kesempatan diwujudkan dalam sebuah film oleh Soraya Film, menarik, bisa jadi dengan cara ini generasi muda bisa mengingat bahwa kita memiliki perjalanan panjang dan berjaya di dunia sastra.  Lagi-lagi, film salah satu cara yang paling efektif dalam menginformasikan sesuatu.  Dr.Hamka sebagai penulis novel tersebut selain seorang ahli agama, beliau dimasukan kedalam penulis karya sastra pujangga baru.

Sebetulnya novel roman ini banyak ditentang pada zamannya.  Karena pengarangnya pada saat itu tidak pantas seorang ahli agama melahirkan karya novel.  Berikut kutipan pendahuluan novel tersebut terbitan N.V. Nusantara Bukittinggi tahun 1961: “Sesungguhnya bagi seorang golongan agama, mengarang sebuah buku roman, adalah menyalahi kebiasaan yang umum dan lazim pada waktu itu.  Dari kalangan agama pada mulanya, saya mendapat tantangan keras.  Tetapi setelah 10 tahun berlalu, dengan sendirinya heninglah serangan dan tantangan itu, dan kian lama kian mengertilah orang apa perlunya kesenian dan keindahan dalam hidup manusia.”

Cerita “Tenggelamnnya kapal Van Der Wijck” sebetulnya sederhana namun ceritanya mampu mewakili banyak pembaca.  Yaitu tentang kedukaan sepasang kekasih terpisahkan karena perbedaan suku adat.  Ayah Zainuddin berasal dari Batipuh terusir ke Makasar lalu menikah dengan seorang perempuan keturunan Makasar.  Meskipun begitu, Zainudin (diperankan oleh Herjunot Ali) tidak diakui sebagai suku Minang maupun Makasar.  Alhasil, ketika Zainudin bermaksud melamar Hayati (diperankan oleh Pevita Pearce) seorang gadis dari Batipuh mendapat penolakan dari keluarganya karena dianggap tidak memiliki keturunan.  Darisanalah persoalan dimulai, kisah berlanjut kemudian Hayati sang gadis cantik malah dinikahkan dengan seorang bangsawan asal Padang Panjang bernama Aziz (diperankan oleh Reza Rahardian) dan  Zainudin merantau ke Batavia (kini Jakarta) kemudian menjadi penulis sukses.


Mendapat kesempatan nonton film yang berasal dari novel seakan ada “tuntutan” lebih bagi pembaca novelnya, karena muncul harapan lebih bisa menyambungkan imajinasi pembaca dengan eksekusi visual si pembuat film.  Saya sendiri pertamakali membacanya saat SMP (sekitar tahun 1992) karena menjadi bacaan wajib dan langsung jatuh hati pada novel ini.

Diawal pembukaan film, penonton disuguhi pemandangan Batipuh, penggambaran tanah Minang yang elok dan memikat.  Cinematografinya bagus, membuat kita sebagai penonton dimanja dengan pemandangan menawan.  Keelokan dan kekayaan alam bagai surga yang tersembunyi. Batipuh menjadi tujuan Zainudin, selain ingin merasakan romantisme tanah kelahiran ayahnya, iapun ingin mempelajari agama yang terkenal bagus.  Gabungan keindahan alam dan pusat pendididkan agama yang menarik, alamnyapun tidak kalah indahnya, sawah-sawah, pegunungan, kabut, danau, dan keindahan hayati seolah terangkum dalam kecantikan Hayati, gadis cantik di sukunya. Gadis Batipuh yang membuatnya jatuh hati. 

Dialog banyak menggunakan bahasa daerah melayu dan tentu saja dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia, saya sendiri cukup menikmati logat dan bahasa daerah ini meskipun bolak balik baca terjemahan. Dari beberapa adegan, saya cukup terbawa kedalam adegan, saat jatuh cinta, suasana di danau, baju adat, rumah gadang, delman sebagai alat transportasi yang khas memberi nuansa semakin kuat. 

Namun dari beberapa adegan, saya agak terganggu dengan ekspresi Zainudin kadang kurang pas.  Ekspresi dalam beberapa emosi sedih-misalnya- yang terlalu memaksa meskipun agak tertutupi oleh kecantikan dan kegantengan para pemerannya, seringkali malah menimbulkan kesan lucu bukan kesan miris dan sakit hati. Sepertinya penjiwaan dengan peran kurang terkuasai, sehingga beberapa adegan para pemain seperti Zainuddin kurang menyatu dengan perannya, dia hanya bermain gesture dan fisik, permainan hatinya kurang keluar dan memaksakan diri.  Ketika adegan Aziz yang akan menitipkan Hayati ke Zainudin, disini terlihat kekuatan sekali akting Reza sebagai Aziz yang berdarah bangsawan, menjaga harga diri dan berusaha rendah hati di depan Zainudin.  Sementara permainan minimalis gejolak hati Zainudin kurang dapat tertangkap, tapi terbantu dengan pengambilan gambar dan dialognya yang memberi arti.

Lalu ada yang menarik, saya terbawa suasana romansa Belanda yang mengusai budaya Padang Panjang.  Dengan ditampilkannya gaya hidup Aziz yang mengendarai mobil antiknya.  Bahasa Belanda melengkapi mereka ditengah berdialog begitupun imajinasi saya saat pacuan kuda. Bayangan saya, bakal ditampilkan pula pasar rakyat yang dipenuhi penduduk lokal dengan pakaian sederhananya dan berkesan udik, sehingga terlihat garis antara rakyat kelas atas dan bawah.  Tapi harapan itu tidak ada, adegan ini hanya dimunculkan kelas atasnya saja.  Meskipun Zainudin dimunculkan dengan pakaian yang berkesan “norak”, masih kurang terlihat udik alami, malah berkesan udik polesan.  Saya -khususnya- masih merasakan kostum polesan sebagai kostum, bukan polesan kostum agar terlihat alami. 

Sekarang, dari musik.  Sekalipun musik menggunakan grup Band Nidji yang mampu memberi energi pada film Laskar Pelangi.  Tapi di film ini malah -maaf- merusak suasana tempo dulu.  Musiknya memberi kesan kekinian sehingga suasana terasa ambigu.  Saya menjadi sadar bahwa ini adalah sebuah film yang dibuat tahun 2013, bukan film yang membuat penonton lupa bahwa film ini menceritakan suasana tahun 1930-an.


Tapi, keseluruhan tiap babak film ini saya cukup menikmatinya, setiap adegan dan rasa masih tersimpan di hati dalam beberapa hari.  Masih terasa energi artistik dan kekuatan cerita itu.  Dan tentunya senang novel ini diangkat ke dalam sebuah film sehingga karyanya selalu hidup dan menyimpan hati kebeberapa generasi.  Ini hanya sedikit analisa sederhana yang bisa jadi berbeda sudut pandang bagi setiap penonton.  Selamat menonton dan menikmati sisi Indonesia jaman dulu. :)

8 komentar:

  1. nice movie :)

    BalasHapus
  2. Huwaaaa.. mengenai ekting, ternyata reviewku sama reviewnya dirimu sama hahahaa..

    Reza is the best lah yaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Reza ganteng dan penokohannya pas. Ajaib! keren banget.

      Hapus
  3. reviewnya bagus..
    Kalau menurut opini pribadiku tentang akting empat pemeran utama di film TKVDW ini dari skala 1-10:
    # Reza Rahardian/Aziz 10 (memang layak dia mendapat tiga kali Piala Citra/FFI, scene terbaiknya persis dengan review di blog ini)
    # Ran-D Nidji/Muluk 9,5 (sangat mencengangkan keyboardis bisa akting hebat di film pertamanya, scene terbaiknya sewaktu mengajak Zainudin bangkit dari patah hati)
    # Pevita Pearce/Hayati 9 (inilah akting terbaiknya selama jadi aktris, scene terabiknya sewaktu mengucapkan sumpah mati)
    # Junot/ Zainudin 8,5 (Sudah cukup bagus memainkan peran orang Bugis, scene terbaiknya sewaktu menyuruh Hayati pulang ke Batipuh)
    Yang berbeda dari kita adalah menurutku scoring/soundtrack dari Nidji sudah sangat bagus, karena alunan melodinya 'kelam dan megah' serta liriknya mencakup isi keseluruhan film. Tak mudah buat musisi masa kini untuk memfantasikan percintaan orang-orang tempo dulu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang pasti saya senang ada produser yang mau memfilmkan kisah 'Tenggelammnya Kapal Van Der Wijck" ini, karena menyadarkan generasi Indonesia abad 21 bahwa pada masa lalu pujangga-pujangga sastra Indonesia pernah membuat karya MasterPiece.
      Semoga ada lagi produser yang mau membuat film berdasarkan buku terbitan era Pujangga Lama :D

      Hapus
    2. Bener banget, mas Yos. Ada produser yang memilih novel ini sebuah angin segar. Seringkali kita lupa dengan masa lalu, dan film alat yang tepat untuk mengangkat kembali proses sastra negeri yang kaya raya ini. hehe.. btw, reza emang keren! hiks!

      Hapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv