Korupsi di Bawah Telapak Kaki Ibu

Berangkat dari  obrolan sama kakak disuatu pagi, tiba-tiba kalimat ini plesetan dari “Surga dibawah telapak kaki ibu” muncul jadi “Korupsi dibawah telapak kaki ibu”.  Kalimat yang lucu berikut terasa guyonan  yang terasa satir.  Kita semua melihat, membaca berita di web, koran, televisi, twiter, facebook pasti tahu pemberitaan tentang beberapa perempuan-perempuan Indonesia yang masuk bui karena korupsi.  Katakanlah Angelina Sondakh, dan paling mengejutkan adalah Ibu Ratu Atut yang tak lain adalah seorang gubernur Banten dan banyak lagi para Ibu yang harus melewati penjara karena korupsi.

Mereka adalah para ibu, ibu yang melahirkan anak manusia ke bumi dari rasa sakit hingga bertambah sakit.  Perempuan yang melahirkan dan mengelola nilai-nilai kehidupan. 
Ibu adalah akar kehidupan. Dalam tubuh manusia, tumbuh denyut nadi ibu.  Hasil diskusi dengan suami tentang “surga ditelapak kaki ibu”, kalimat ini diartikan sangat luas dan dalam. Surga tidak serta merta bentuk pengabdian anak pada ibu akan memberi jalan surga di akhirat (saja) tapi justru bagaimana peran Ibu mengarahkan keluarganya menjadi calon-calon surga.  Berakhlak dan berprinsip.



Kehidupan keluarga, masa depan anak bisa menjadi “surga” atau sebaliknya, tergantung bagaimana langkah Ibu mengarahkan nilai-nilai kehidupan.  Dia yang melahirkan dan memberi pengetahuan tentang keberagaman lingkungan anak-anaknya yang penuh pertanyaan dan berbeda, dia yang memberi tahu bagaimana kita harus bersikap sampai lahir sebuah “jati diri”.  Keluarga tergantung pada pengetahuan dan jiwa sang Ibu, dia yang mempunyai kekuatan dan energi positif maupun negatif.  Melalui energi Ibu ini, “rumah”, kehidupan yang kelak akan dijalani oleh anak-anak/keluarga akan melahirkan “surga”-nya.

Terasa berat?  Bisa iya bisa tidak.  Saya sendiri masih merasa berat, karena sering tarik menarik dengan ego “kekanak-kanakan” dan mengharuskan menjadi seorang Ibu itu rasanya “luar biasa”.  Ada jiwa-jiwa yang terpaut dan menjadi tanggung jawab kita.  Tidak hanya sekedar materi, tapi moral, etika, dan rentetan lainnya.  Kalau hanya bicara materi, banyak cara untuk mendapatkan materi.  Dengan cara menipu, menerima uang sogokan, berdagang, menjadi pegawai negeri, membuat kosan, jual rajutan, jual ayam potong dan sebagainya. Gampang.  Tapi nilai-nilai dan etika ini yang justru bisa meneruskan kehidupan itu sendiri.

Tidak ada manusia yang minta dilahirkan menjadi perempuan atau laki-laki.  Kita lahir dengan kondisi fisik yang sudah begitu.  Lahir dan belajar, satu demi satu, tahap demi tahap, hingga mati.  Menjadi sesungguhnya PEREMPUAN dan menjadi sesungguhnya LAKI-LAKI.  Masing-masing berjalan dengan fungsinya dan saling bekerjasama menggerakkan kehidupan.  Weits.. berat.  Tidak juga, tergantung sudut pandang masing-masing.  Yah, karena hidup tidak akan pernah usai bergerak, tidak pernah usang malah semakin berkembang dan maju, bukankah untuk itu kita hidup, tetap bergerak, belajar pada sejarah diri dan orang lain dan terus melangkah.   Atas kesalahan, atas persoalan bahkan atas kesuksesan. 

Kini para ibu yang menjadi pemimpin negeri berbondong di dorong ke jerali besi.  Ada apa?  Demi memuliakan anak agar bisa memakai baju, mobil, jam tangan ber merek?  Demi memakan ayam di restoran paling mahal?  Demi diterima dipergaulan yang lebih berkelas?  Demi dibilang seorang manusia yang sukses? Agar bisa ke Bali dan Singapura? Agar bisa difoto di depan menara  lalu diupload di jejaring sosial lalu semua teman kita me-like this- dan memuja muji.   Bukan bermaksud tendensius dan nyinyir, tapi begitu kan kenyataannya, kita butuh pengakuan terutama status sosial.   Memang, bisa jadi awalnya  semua dilakukan demi anak, agar keluarga bisa “menikmati” dan “disuguhi” beragam jalan-jalan dan hiburan tapi lalu kebablasan, tanggung nyaman, tanggung dibilang orang berada, tanggung enak mencicipi nikmatnya fasilitas dunia dan enggan kehilangan.  Tidak salah dengan cara hidup seperti itu, hanya kita sering lupa dengan CARA mendapatkan semua itu. 

Seringkali demi semua itu, banyak cara dilakukan dengan menyingkirkan “etika”.  Lupa bahwa ada yang hidup diantara kehidupan kita.  Mereka lupa, bahwa lembaran  rupiah, keputusan-keputusan untuk mendapatkan beragam fasilitas dan tumpukan rupiah yang tadinya demi anak ini tidak diimbangi dengan adanya hak orang lain.  Bukankah hidup seperti ombak, seperti angin, seperti efek domino, seperti retakan yang saling berpengaruh satu sama lain.  Keputusan yang kita ambil, pasti akan berpengaruh pada orang sekitar.

Semua itu tanggung jawab ibu dan yang berperan “ibu” diantara anak-anak kita, keluarga kita.  Jadi pilihannya sekarang adalah, akankah langkah kita untuk melahirkan surga di bawah telapak kaki ibu itu dapat mewujud?


Intropeksi untuk diri sendiri di hari Jumat yang cerah

12 komentar:

  1. Ahaa, like this banget..turut prihatin, mengapa makin banyak perempuan yang notabene ibu berada dalam pusara korupsi..postingan yang mencerahkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mba Ety :)
      Iya, bisa jadi tadinya semua baik-baik saja, sampai semua brand bisa masuk ke Indonesia, mall, supermarket , hotel yg tdk terkontrol menumbuhkan gaya hidup yang berat untuk ditolak

      Hapus
  2. kejadian demi kejadian yang bener2 bikin introspeksi dirir ya mbk ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah, jadi kepikiran, jangan2 emang pas udah di posisi atas, sering lupa fungsinya sebagai pemimpin yah hehe... Wallahualam

      Hapus
  3. Analisisnya dalam teh :) can't agree anymore. Jadi ibu itu resiko, tanggung jawab dan konsekuensinya luas sekali, ya.

    BalasHapus
  4. iya bener teh, sedih banget knp ibu2 itu mau2nya 'menjerumuskan diri' ke ranah hukum dengan nyelewengin duit orang begitu. apa kata teman anak2nya nanti? apa yg mau dicontoh dr ibu macem begitu? duitnya emang besar, tp malunya jg ga kegantiin sm apapun. belum lg dosanya...naudzubillahimindzalik

    BalasHapus
  5. Bener, kuncinya ada di pengendalian diri. Dan itu yang suliiiiiiit huhuhuuu

    BalasHapus
  6. klo udah nyangkut masalah harta dan tahta , orang sulit mengendalikan diri...semoga kita tidak termasuk ya..

    BalasHapus
  7. Dalem banget... Saya juga pernah menulis sesuatu tentang ini, judulnya "Karena Cinta, Aku Korupsi". Mengenaskan sekali. Saya pernah bilang ama suami, daripada harus memiliki anak-anak yang tidak membanggakan (berkelakuan buruk, dsb) karena harta yang didapat secara tidak baik, lebih baik hidup sederhana, namun anak-anak semua tumbuh menjadi pribadi mulia. Semoga.

    BalasHapus
  8. kalau dalam perspektif Marxian, ada kekuatan struktur materi yang 'memaksa' para ibu itu melakukan tindak pidana korupsi. Ini fenomena kelas tertentu saja, atau sudah jadi sebuah universalitas ya?

    BalasHapus
  9. Korupsi sudah membudaya sih. Contoh kecilnya ya "minta bagian" padahal gak ikut bekerja. Kayak kepala kantor yg minta bagian biaya percetakan misalnya. yaitu dengan cara mark up harga. Percetakan biayanya 1 juta, trus karyawan yg nyetak minta bagian, kepala kantor minta bagian, pas ditulis di nota jadi 10 juta.

    Itu contoh cuma percetakan kertas. Lha kalau sudah bikin jalan raya, jembatan, gedung, wah nilainya bisa milyaran bahkan trilliyunan..

    *ngelus dada*
    *dadanya ridho roma*

    BalasHapus
  10. Korupsi oh korupsi,bikin rakyat makin susah. Bu kalo mau resep makanan kunjungi blog saya ya http://buresep.Blogspot.Com

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv