Uje


Jumat datang, Jumat pergi.  Jumat begitu cepat datang dan begitu cepat pergi.  Apa yang sudah kita lakukan seminggu yang lalu, seminggu minggu yang lalu, dan seterusnya?

Jumat ini tepat seminggu yang lalu kita -umat muslim- kehilangan Ustad Jefri al Buchori atau akrab dipanggil Uje.  Gaya penyampaian  para ahli agama (ustad, kyai) yang berkesan keras, menakutkan sehingga banyak yang anti-islam,  ditangan Uje menjadi ringan, luwes, akrab dan mudah dipahami.  Selain itu, dia juga terkenal dengan ustad gaul karena cara sapa dia pada jamaah tidak kaku.  Panggilan sapaan seperti “bro”, “lo”, “gue”, mendekatkan cara berkomunikasi kedua pihak.  Meski pada akhirnya tetap saja muncul kritikan baru yang seolah jadi meng-entertain di dunia “selebritas” serta pro kontra lainnya.  Uje bisa jadi salah satu ustad yang menerapkan konsep komunikasi yang mudah dan enak untuk dipahami oleh masyarakat ditengah pergerakan dunia yang demikian tajam.

Media dan dakwah ini menjadi bergerak cepat dan bisa menembus berbagai segmen masyarakat.  Uje, fenomena yang baru -pada jamannya- dalam menyampaikan dakwah dengan gaya penyampaian maupun wardrobe yang ia terapkan.  Cara ini rupanya sedikit demi sedikit mampu meraih berbagai kalangan yang sadar penampilan namun tetap berpakaian sesuai aturan Islam. 

Berita wafatnya Uje di usia yang masih muda (40 tahun), membuat kejutan yang sulit untuk dipercaya.  Meskipun kita tahu bahwa kematian itu adalah sebuah kepastian.  Namun seringkali kematian seolah kejadian yang tidak mungkin terjadi dan sulit diterima oleh hati maupun pikiran.  Kepergian Uje ini tiba-tiba, akibat kecelakaan motor yang dikendarainya menabrak sebuah pohon.  Seperti burung elang terbang lalu melesat membawa seekor anak ayam tengah bermain kerikil.  Begitulah kematian seseorang dirahasiakan, tidak ada yang tahu kapan, dimana dan bagaimana cara setiap manusia itu wafat.  Terakhir yang kita tahu sebagai masyarakat, kondisi fisik dia keadaan baik-baik saja dan masih muncul di beberapa televisi melakukan tausiahnya.  Nyaris setiap mata dan hati ikut terbawa suasana duka, baik jamaah fanatik maupun pemerhati biasa. 

Shalat Jenazah untuk Uje dilakukan di Masjid Istiqlal setelah shalat Jumat.  Subhanalloh, ternyata animo dari masyarakat sangat banyak.  Bahkan ada yang sengaja datang sebelum waktu shalat Jumat agar bisa menyolatkan alm. Uje.  Barangkali keluarganya tidak menyangka bahwa masyarakat begitu antusias atau menaruh banyak perhatian.  Begitupun saya, setelah beberapa hari tidak menyalakan televisi, setelah membaca berita kematiannya di sebuah twitter, saya langsung menyalakan televisi dan anehnya tiba-tiba kami- saya, kakak, suami, amih- begitu berduka.  Seketika rumah begitu terasa menyesak teramat dalam dan ikut shalat ghaib.

Melihat kejadian ini, sebagai ibu semakin tumbuh keinginan kelak anak kami hadir sebagai anak yang baik dan bermanfaat.  Walaupun terbersit, memang menumbuhkan anak itu tidaklah proses main-main.  Mereka adalah PR besar bagi seorang ibu, selalu bersemangat mengembangkan dan mengolah diri untuk mendidik anak.  Ini proses yang tampak sederhana tapi ternyata tidak semudah kelihatannya.  Setiap usia anak ada tahap kebutuhan perhatian yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan otak dan hatinya.  Belum pengaruh informasi dan lingkungan yang bergerak cepat, membuat setiap orang tua harus berkejaran mencari cara agar anaknya tetap terdidik di jalur yang optimal.  Buat apa?  Agar anak bisa tumbuh kembang optimal, kuat, mandiri, mempunyai sikap dan berguna.  Kitapun sebagai orang tua bisa merasa lepas dan yakin saat anaknya harus bergelut dengan kenyataan hidup yang luas luar biasa.    

Sebagai istri, membayangkan kehilangan suami ada perasaan keeung (Sunda. takut) dan hampa jika situasi ini terjadi pada saya.  Cepat-cepat bayangan itu saya tepis.  Sebagai manusia, kematian seseorang sebuah teguran besar untuk memanfaatkan waktu, kesempatan, kemampuan dengan mengoptimalkan memberi cinta, menggali ilmu, karena bumi ini sangatlah luas dilengkapi dengan keleluasaan kesempatan.  Setiap orang diberi kesempatan menghidupkan kehidupannya, bukankah kita hidup di bumi dan di langit yang sama.  Hal yang membedakan adalah keberanian untuk terus mengolah diri dan berkembang.   Minimal bisa memaksimalkan kesempatan menjadi seorang ibu karena menjadi seorang ibu tidak ada sekolahnya, ia harus terus mempelajari kehidupan itu sendiri.  Tapi lagi-lagi, seringkali kesempatan ini sering terkalahkan oleh rasa malas, malu, lelah dan minder.  To be or not to be, itu pilihan kita.

Saya teringat sebuah puisi Goenawan Mohamad, begini bunyinya:

Waktu adalah Mesin Hitung

“Waktu adalah mesin hitung, cintaku
Jam berkeloneng dingin (seperti gaung)
di kota itu.  Angka-angka telah lama tahu:
bayanganku akan hilang sebelum salju

Sementara kau akan tetap jalan
(sepert kenyataan).  Sampai pada giliran.
Mengaku, tiap kali daun jatuh di rambutmu:
“Ternyata kenangan hanya perkara yang lucu”

Tentu.  Tidak apa.  Kita tak memilih acara.
Pada angin runcing dan warna musim kau juga
akan terbiasa.  Nasib telah begitu tertib.
Pada Lupa kita juga akan jadi karib

1973   

Adakah kita, pada saatnya, akan dilupakan atau akan selalu diingat?  

2 komentar:

  1. Sangat merasa kehilangan dengan berpulangnya beliau. Tetapi, selalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisi-Nya

    BalasHapus
  2. Amin... insyaAllah, selalu ada hikmah dari setiap kejadian

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv