Jalan-Jalan Ke Tahura


Mendadak.  Suatu pagi kami tadinya -seperti biasa-  jalan-jalan ke UPI yang kebetulan dekat sekali dengan rumah kami.  Disana masih banyak pohon rindang, kolam ikan, suasananya cukup nyaman.  Tapi mendadak saya punya ide untuk pergi ke Dago Pakar atau Taman Hutan Raya (Tahura).  Sebetulnya sudah lama sekali saya tidak pernah menginjakkan kaki ke hutan ini, tepatnya sejak zaman sekolah dasar, sekitar tahun 80-an.  Waktu kecil, baik kegiatan di sekolah maupun di masjid sering mengadakan cross country alias jalan kaki menelusuri beberapa desa yang masih asri lalu berhenti di tujuan wisata alam.  

Sepanjang jalan menuju TAHURA di penuhi  sepeda

Banyak kenangan masa kecil yang terpotong, namun aktivitas cross country ini masih tersimpan hangat di ruang ingatan dan hati, kegiatan ini banyak mempengaruhi saya untuk terus menyukai tempat-tempat alami.  Ada kedekatan yang sulit dijabarkan.

Lupa.  Sebetulnya agak lupa jalan menuju ke sana tapi nekat saja.  Intinya tinggal pergi ke terminal Dago paling disana naik ojeg saja dan kalau ada yang membingungkan tinggal bertanya.  Dari terminal Ledeng kami naik angkutan kota “cicaheum-ledeng”, mengeluarkan ongkos Rp 2500 per orang, berhenti di belokan Jl. Siliwangi lalu jalan kaki sedikit menuju simpang Dago (sebuatan untuk Jl. Juanda).  Disana ada beberapa pilihan angkot, seperti Dago-Kalapa, Dago-St.Hall, Dago-Riung Bandung, ongkos yang dibayarkan Rp 2000 per orang.  Jaraknya tidak terlalu jauh, paling memakan waktu 10 menitan.  Di terminal ini langsung naik ojeg ongkosnya Rp 7000 per motor, tapi tadi waktu pulangnya bisa banyar lebih murah hanya Rp 5000 per motor.  Sip atuh!

Sepanjang perjalanan dari terminal Dago menuju Tahura, banyak sekali orang-orang meng-goes sepedanya.  Dari orang-orang dewasa hingga anak-anak, seru dan ramai.  Bahkan ada tempat yang menyediakan tempat parkir sepeda di depan toko serba ada.  Banyak juga warung-warung minum dan jagung bakar tempat istirahat para penggoes sepeda ini.  Sampai di gerbang Tahura ternyata dekat juga, tidak lebih dari 10 menit-an.  Untuk masuk ke wilayah tersebut harus bayar tiket Rp 8000/orang, langsung jalan kaki melewati jalan setapak.  Pepohonan yang sangat rapat mencuri perhatian saya, riuh dan sejuk.  Diantara pepohonan juga rupanya disediakan meja-meja taman dan beberapa saung untuk berteduh.  Di beberapa titik ada warung kecil-kecilan yang menjajakan ragam minuman dan cemilan. 


Menuruni tangga menuju Goa Jepang
Hutan ini jalannya sudah enak, jadi kita tidak perlu membayangkan jalan setapak seperti di hutan-hutan yang belum terjamah lainnya.  Jalan setapak dan tangga sudah menggunakan batu alam, pinggir-pinggir lembah di beri pagar ber-cat merah.  Di sana ada beberapa wilayah wisata yang bisa dikunjungi, jadi sekali jalan bisa melewati Goa Jepang lalu tak jauh dari sana bisa ditemukan Goa Belanda.  Selain Goa ada jalan menuju 4 curug (dari bahasa sunda: air terjun), diantaranya Curug Koleang, Curug Kidang, Curug Lalay, dan Curug Omas.  

Jalan menuju Goa Jepang, ternyata lebih enak karena sudah di aspal meski sudah sedikit rusak.  Pepohonan masih sangat lebat bahkan kami sempat melihat monyet sedang nongkrong di dahan pohon.  Barangkali karena hari itu hari Minggu jadi cukup banyak pengunjung, kebanyakan keluarga dan kelompok mahasiswa yang ikut menikmati keindahan alam, tentunya tidak seramai dan riuh di tempat belanja.  Goa Jepang ini terdapat 4 goa, ada yang menarik di pinggir goa ini ada akar pohon yang merambat besar sekali dan indah.  Kami tidak masuk ke dalam, Alif takut begitupun saya.  

Selanjutnya meneruskan jalan kaki menuju Goa Belanda, di tengah perjalanan ada pedagang air lihung.  Unik, air lihung itu di simpan di dalam bamboo dan di tutup pakai ijuk.  Gelasnya disusun kayu bamboo serupa tempat gelas dan ada ember kecil berisi air dan daun pandan untuk mencuci gelas.  Selesai meneguk air lihung rasanya enak, harum asap dan segar ke badan.  Ada yang menarik lainnya, cara mencuci gelas itu hanya di kocok ke ember berisi air dan daun pandan.  Pantas gelasnya jadi harum atau jangan-jangan daun pandan itu mengandung antibiotik, ya?

Minuman tradisional lahang berupa air hasil 
dari  penyulingan pohon aren, rasanya manis 
dan menyegarkan
Kami berjalan bersamaan dengan seorang bapak-bapak dan perempuan yang sepertinya suami istri.  Bapak-bapak itu tampaknya ahli sejarah, soalnya sepanjang jalan dia bercerita banyak pada perempuan itu tentang  batu yang bertuliskan “Batas Kab. Bandung-Kab. Bandung Barat” dan bahan air lihung yang ia beli menjelaskan asal muasal rasa lihung yang unik.

Hore! Akhirnya sampai di Goa Belanda.  Anehnya di Goa ini anak kami-Alif- justru mengajak masuk.  Akhirnya kamipun masuk ke goa dengan menyewa senter yang harganya Rp 3000.  Saya agak takut, suami saya sepertinya tidak, Alif lebih ceria saat melihat semacam rel kereta dan dia berceloteh tentang thomas and his fiends.  Barangkali mengingatkan dia tentang edisi film kereta Thomas yang terjebak di lorong. 

Perjalanan sebetulnya tidak terlalu melelahkan untuk meneruskan perjalanan menuju curug.  Tapi kami fikir untuk sementara ini sudah cukup saja, akhirnya kami menikmati sisa perjalanan, sejuknya udara, gemerisik sungai, bercengkrama dengan pepohonan yang indah sambil duduk-duduk di tempat lesehan sambil melahap mie rebus, jagung bakar dan bandrek panas.  Damainya!

Kembali pada titik tertentu bahwa kita dan alam adalah satu.  Alam sudah sangat banyak memberi kita kehidupan tapi seringkali kita dengan mudah melupakan bahkan merusaknya.

*Pulang.  Kembali bersatu dengan riuh kendaraan bermotor, macet, asap knalpot, musik, film, seni,  masa depan, aku dan kamu :)*



Siluet pohon yang tinggi di kawasan TAHURA segar dan tenang


2 komentar:

  1. Anonim12:27 PM

    jadi pengen jalan2 ke situ lagi euy! terakhir ke sana tahun 2001 bareng teman2 kursus bhs.Inggris. By the way, foto siluet pepohonan itu, I LIKE IT!
    ;)

    BalasHapus
  2. Iya asik ko, bisa nge-defrag pikiran yang udah acak-acakan dan ramah di ongkos hihiiii... makasih yah udah suka fotonya :)

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv