Menjemput Matahari

Orang-orang liburan, saya tidak.  (Kadang-kadang) saya liburan orang-orang tidak.  Orang-orang tidur saya bangun.  Orang-orang bangun kadang saya tidur sambil merasa bersalah tapi akhirnya tidur juga.

Suatu subuh di hari Senin, dibalik jendela masih berwarna ungu tua dan sedikit kabut.  Kami baru tidur beberapa jam Devdan bangun dengan ceria.  Terbersit untuk makan ketan dan bandrek di Lembang menikmati di sisa subuh.  Kamipun berangkat cepat menjemput matahari, menikmati subuh dan dinginnya pagi.  Deru mesin di terminal mulai dihangatkan, orang-orang bergerak dengan sisa tidur di garis mukanya, bau oli bercecer tipis menyeruak diantara udara pagi. 

Kami naik angkutan kota dengan getaran mesin yang khas, jalan berkelok-kelok membuat sedikit rasa yang beda di bagian lambung.  Langit mulai sedikit cerah, pepohonan ceria menyambut hari, langit membiru dengan sisa awan diantaranya. 

Di lembang, kami turun.  Berjajar kios-kios kecil menjajakan ketan, peuyeum dan pisang bakar.  Seorang ibu tua dan anaknya yang menggendong bayi berumur 14 hari, menyambutkami dengan senyum lelah dibalik baju wolnya yang tebal.  Tak ada libur dan tidur baginya.  Ia dengan tenang membakar ketan dan menyeduh bubuk bandrek ke dalam gelas kaca.  Harum jahe dan kepul air panas menghiasi permukaannya.  Kami menyeruput, panas dan hangat mengisi setiap lorong dada.  Mataharipun terlihat cerah, kami telah menjemput dan memberinya segelas bandrek dan potongan ketan bakar lengkap dengan serundeng dan bumbu oncomnya yang sedikit pedas.

Setiap potong ketan membawaku kembali ke masa kecil.  Tapi saat itu diwaktu yang sama kabut masih terlihat tebal, menelusup diantara bara arang yang siap memanggang ketan dan jagung.  Kami harus memakai jaket yang cukup tebal bahkan kaos kaki.  Setelahnya bisa berjalan di trotoar sambil menyentuh sisa embun yang di atas pohon-pohon pagar. 
Kali ini, sinar matahari sangat leluasa menyinari setiap jengkal pagi.  Tak ada lagi embun hanya udara dingin yang masih terasa menusuk.  Sampah-sampah yang menumpuk dan selokan dengan air yang mengambang berwarna kehitaman.  Tempat sampah hanya basa-basi, kecil, berwarna cerah seolah hanya sebagai pemanis jalanan.  Tak apalah, setidaknya setelah sekian lama kami bisa menikmati pagi di Lembang lagi meskipun dengan suasana yang sedikit berbeda.

Selamat pagi bumi, selamat pagi matahari, selamat pagi teman hidupku, selamat pagi Bandung :)

i.am.ima

1 komentar:

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv