(Edisi ngabodor, ceunah)
Hmmm… sebulan ini engga tahu berapa kali beli sandal.  Murah sih kadang beli yang Rp. 7000, Rp. 13.000, bahkan beli di emperan gasibu berharga Rp 10.000.  Lama-lama ima jadi ahli harga sandal capit.  Dari jenis yang enak dipakai sampai yang engga enak dipakai.  Tapi ga pernah sampai rusak karena belum rusak udah hilang, hohoooo.  Kok bisa hilang ya.  Sebetulnya bukan hilang tapi sandal itu dipinjam, dipakai tanpa ijin.  Seolah ada keperluan yang sangat penting sampe sulit untuk minta ijin.  Harganya memang murah meriah, tapi kalau sering-sering beli rasanya enek juga.  Kalau sehari-hari cuma beli sandal aja sih gapapa, tapi kebutuhan yang lain kan banyak.

Kok Bisa? Hmmm…

Ima tinggal di rumah Amih.  Orang tua? Ya, rumah orang tua.  Memalukan? Hmmm… kadang-kadang malu, kadang-kadang engga.  Lha, kalau ima pergi dari rumah ini pasti Amih bersedih hati dan muncul perasaan yang dramatis, “Maeunya indungna boga kosan, anakna ngekos. Ieu teh imah nu ima, terus nu saha atuh.  Geus ari ima rek indit mah, Amih mah rek nyieun imah di Banjaran weh jeung Bi Sanah. Diditu mah loba dulul nu ngaku Amih.” (Artinya: masa ibunya punya kosan, anaknya ngekos.  Ini rumah punya Ima juga, lalu punya siapa dong.  Udah, kalau Ima mau pergi, Amih mau bikin rumah di Banjaran ditemani Bi Sanah.  Disana banyak saudara yang nerima Amih).  Sambil ngelirik ke Bi Sanah dan Bi Sanah pun bak penolong juga penjaga majikanya bertutur sangat lembut bak penjilat. 
Paling engga enak kalau ada yang nanya tentang tempat tinggal Ima dan diakhiri dengan kalimat

“… oooh, jadi ima di rumah yang itu.” Diiringi raut muka yang engga enak banget.  Atau perasaanku saja (diberi nada yah baca yang ini). 

Meskipun begitu, Ima si bungsu yang baik hati ini mengurungkan niatnya untuk pisah rumah, berbaik hati tinggal bersama Amih dan keponakannya dibawah satu atap, seolah-olah menemani dan mengurus Amih di usianya yang renta (Hahaaaa… wadux!!! ).   Padahal sih meskipun Amih sudah tua, tapi Amih termasuk orang tua yang seger, sangat mengurus dirinya sendiri dan masih selalu merasa bertanggung jawab pada anak-anaknya meskipun mereka semua sudah berkeluarga dan tinggal di rumah yang terpisah.  Yah, Amih emang sudah tua, udah masuk kepala 8, tapi beliau ibu yang kuat.  I love u amih, tapi Amih sering merasa ima tidak mempunyai perasaan begitu.  Stop bicara hati.  Ima mau bicara tentang sandal, ko bisa sandal sering hilang di rumah ini.


Satu hal kebiasaan di rumah ini dari dulu sekali adalah rasa memiliki yang tinggi.  Hoooooh… masih belum ngerti?  Yah, di rumah ini, seolah-olah punya brand yang kuat:  apapun yang ada di rumah ini adalah milik Amih, kepunyaan Amih adalah milik bersama.  Hehehee…  Dari gelas, piring, sendok, tipi, karpet, kasur, pisau, panci, kaos kaki, sabun mandi dan tentunya sandal, kalau kita engga apik umurnya engga pernah lama dan anehnya engga pernah ada jejaknya.  Kadang-kadang setelah dicari-cari eh ada di rumah slaah satu kakak saya atau bahakan ada di rumah tetangga.  Heran? Hehhe… ga heran lagi.  Ima udah mengerti dengan kondisi begini, kecuali kalau sedang PMS, siap-siap kepala bertanduk dan gigi bertaring meskipun cuma yang hilang sendok. (nguap dulu..)

Suatu hari, di pagi yang ceria saya beli sandal (lagi).
“Ayah, saya ima beli sandal di ****mart, harganya murmer tapi enak dipake.”  Dengan bangga saya perlihatkan sandal plastik warna merah marun.
“Tulis nama di sandalnya, entar hilang lagi.” Begitu suamiku bersabda.  Ima ambil spidol besar dan menuliskan nama berikut petuah-petuah diatas sandal.  Ini tulisannya:
Di sandal yang kiri “Ini punya IMA Kece.”  Sebelahnya “Sandal buat ke WC biar rumah bersih”.
Lumayan jelas dan memikat.  Semoga tidak ada yang pundung dan kalau mau pinjem setidaknya bilang dulu.  Lumayan, dari sejak pembelian sandal cukup awet dan menemani setiap langkahku ke wc kadang ke warung dan ke wc kembali, hehe.  Setelah dipakai di WC, sandal selalu disimpan ceria didekat kamar, kadang disimpan dibawah lemari baju kamar, atau di belakang pintu biar aman, bahkan sengaja diselipkan dibelakang kursi.  Sebuah perjuangan yang tulus untuk sepasang sandal dan keamanannya.  Suatu hari, sandal itu di simpan di dekat wc setelah melakukan aktifitas pagi.  Seperti biasa beberes, dan bergelut di dunia maya.  Saya lupa menyimpan sandal di tempat biasa, dan sudah diduga padahal tidak lama sandal itu disimpan di dekat wc, benda itu sudah beralih tempat entah kemana.  Saya pun menerawang mengingat lembaran isi dompet yang terkuras buat ongkos angkot harus dialihkan kembali untuk beli sandal. 

Bingung deh harus gimana, terlalu banyak yang hilir mudik jadi engga tahu siapa yang pakai.  Kalau sekali waktu ketahuan siapa yang pakai, trus dikasih tahu harus ijin dulu, aduh itu pundug-nya ga kuaaaat, bikin hati merasa bersalah.  Akhirnya, memilih untuk memaklumi dan diam aja, dan kembali mencukil isi celengan buat beli sandal….  Lagi, lagi, lagi dan lagi.
Tadi pagi sedang melakukan rutinitas pagi dan memandang sandal capit yang saya pakai. Tiba-tiba kepikiran buat bikin sandal.  Tapi di tali sandal itu ada tulisan, semacam tag-line dari merek sendal: “Sendal khusus untuk wc” atau “sandal khusus di rumah”, “ijin dulu kalau mau pinjem”.  Eh, dipikir-pikir lucu juga bikin sandal yang seperti ini. Belum ada kan di dunia perniagaan bangsa dan Negara kita tercinta.  Hmmm…. Rupiah…. Rupiah…. Tiba-tiba mesin hitung uang merayu hatiku yang galau….galau… galau…

SEMANGAT’S! 
Beberapa hari yang lalu ada ajakan mengirim card to post di sebuah blog cardtopost.  Kebetulan ajakan berkirim card to post ini dijadikan momen berkirim card to post oleh salamatahari di hari ulang tahunya ke-2  tanggal 16 November ini.  Wuah, saya senang sekali karena beberapa pekan lalu saya pernah posting di facebook tentang ajakan korespondesi secara manual.  Banyak yang komentar dan beberapa banyak yang ingin terlibat, tapi sampai hari ini belum ada satu orangpun yang mengirimkan surat.  Sedih juga.  Tapi akhirnya ada blog card to post ini bikin saya bersemangat lagi.  Hore!!! Akhirnya menemukan orang-orang memiliki minat yang sama.  Jadi jangan pernah me-reject keinginan kamu meskipun hal itu lucu dan tidak mungkin.


Nah, berangkat dari ajakan itu, saya daftar dulu di cardtopost, tidak lama kemudian mereka bakal mengirimkan alamat yang dituju.  Lalu saya buka lagi file foto-foto dari beragam tempat, waktu, acara, saya pengen membuat card to post sendiri nih ceritanya.  Ternyata lumayan juga koleksi foto iseng berbahagia bisa di publikasikan.  Foto itu di edit dan diolah jadi post to card sama suami.  Hasilnya? BAGUSSSSSS!! tengkyu pisan!  Kemarin desain bikinan suami di print, tadinya card to post itu dikirim kemarin (Hari Selasa) berharap bisa sampai hari rabu, soalnya salamatari terbitnya setiap hari Kamis.  Yah, sudah lah, mudah-mudahan sore bisa sampai.  Mulai deh menulis di lembaran itu, saya gagap lagi.  Bingung mau menulis seperti apa dan harus bagaimana.  Sampai salah menuliskan beberapa huruf, salah menulis alamat dan bingung dimana menuliskan si pengirim dan ganti kartu beberapa kali hehe.  Gugup deh harus bagaimana.  Sampai berdiskusi dulu dengan suami, card to post ini harus pakai plastik atau tidak. Ah, akhirnya memutuskan untuk cuek aja, toh sudah terwakili oleh visual yang (menurut saya) keren pisan! Hehe…

Saudara-saudara sebangsa se-tanah air ada berita yang tidak enak.  Tadi pagi saya buru-buru datang ke kantor pos yang jaraknya tidak jauh dari rumah.  Penjaga itu bilang kalau post itu meskipun perangkonya Rp. 10.000 sampainya tetap 3 hari kemudian.  Kecuali ingin sampai besok harus pakai paket kilat, lagian harganya tidak terlalu mahal.  Tapi ternyata tidak memakai perangko jadi hanya di cap pos saja.  Kecewa sih, sebetulnya keinginan saya ada perangko yang tertempel disitu.  Tapi ya sudah lah, yang penting besok bisa sampai.  Akhirnya saya tahu setelah bertahun-tahun tidak mengirim surat, kalau memakai perangko keterimanya 3 hari walaupun sa-kota.  Gagap lagi karena merasa harus berhubungan kembali dengan cara pengiriman manual.  

Transaksipun selesai, saya cerita sama petugas kalau ini program berkirim card to post yang dilakuin oleh orang-orang yang suka berkirim surat.  Mereka,mpenjaga itu senang mendengar tuturan saya.  Tadinya, ketika lihat alamat yang dituju sebetulnya masih satu daerah, bahkan sangat dekat.  Tapi sensasinya rasanya kurang kalau tidak di kirim oleh petugas pos. Heheh…

Yah, sekarang saya kembali gugup lagi, menunggu penerima meng-upload post to card yang saya kirimkan.  Sampai tidak yah? Rusak tidak yah?  Semoga sampai dan petugas pos bersedia mengirimkan sendiri card to post ini tanpa melalui prosedur, jadi hari ini juga bisa sampai. 
Bacanya sambil dengerin lagu ini yah... Real love dari The Beatles yang menemani setiap perjalanan hidup saya hehe..



 Suatu  sore yang hangat, kami jalan-jalan ke UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) berdua saja bareng Devdan-anakku yang masih balita.  Dia sangat suka jalan-jalan, barangkali menurun dari sifat mama dan ayahnya.  Taman UPI adalah tempat favorit kami untuk melepaskan penat, selain banyak pohon dan kolam ikan, jaraknya tidak begitu jauh.  Selain menikmati taman, saya suka menikmati bangunan tuanya.  Ada Villa ISOLA atau Amih sering menyebutnya dengan nama Gedung Bareti.  Dulu gedung perkuliahannya juga unik karena bentuknya masih sisa peninggalan masa lalu.

Saya jadi lucu sendiri, UPI atau dulu kita mengenal IKIP adalah tempat bermain yang menyenangkan.  Saya termasuk anak yang balantrak*, naik pohon, loncat-loncat di pohon pagar sampai pohon pagar itu lempes, mengambil ikan di kolam sampai di teriakin satpam dan paling ekstrim di dekat Villa Isola terdapat tanjakan.  Tanjakan itu kurang memiliki kemiringan 45 dengan ketinggian hmmm… mungkin 10 meter.  Saya bersama teman-teman selalu memanfaatkan tempat ini untuk berseluncur.  Betapa bebas dan bahagianya dunia!!! Ah, rasanya baru kemarin, masa lalu terasa sekejap mata.  Dulu waktu masih kecil, rasanya kami sudah termasuk manusia yang paling besar.  Sekarang setelah bertubuh besar, berusia berlipat-lipat, seolah diingatkan kembali bahwa saya pernah menjadi anak sekecil Devdan.  Wooow…

Jadi ingat kalimat bijaknya M. Iqbal “Manusia dilahirkan untuk melewati satu demi satu tahap dalam kehidupanya.”  Sekarang inilah saya, giliran saya menjadi orang tua.  Tidak sesulit yang kita fikirkan tapi juga tidak semudah yang kita fikirkan.  Jadi kumaha ieu teh? Yah pokonya gitu lah… selama kita berfikir dan mensugestikan diri bahwa punya buntut itu tidak serumit yang difikirkan, jalani aja dan pas ada masalah cari solusinya di buku, tabloid, diskusi sama teman yang berfikir terbuka yah setidaknya setiap hari tidak menjadi rutinitas tapi lebih beragam dan berwarna.

It’ a real love… kata Jhon Lennon mah.  My son and my husband are my real love… bisa berbagi kebahagiaan, kesenangan, kesedihan, kelelahan, rahasia, frustasi, kebingungan, daaaaaan banyak lagi termasuk marah-marah hehheeee…  

Sore selalu datang dengan beragam cuaca, bisa menjadi menyenangkan bisa sebaliknya tergantung gimana menyikapinya.  Seperti datangnya Devdan ditengah-tengah kami, anak kecil yang mungil, senang berceloteh, senang naik angkot, jalan-jalan, susah makan, suka nangis yang ekstrim, dan tentunya masih ngeces.  Setiap hari kami selalu belajar darinya, otak kami selalu dibuat untuk selalu berfikir setiap ada kebaruan darinya.  Eh, dia pernah makan diatas karpet dengan lutut kaki nekuk ke atas, kaya orang yang lagi makan di warteg gitu sambil tangannya memasukan makanan.  Nikmat dan bebas.  Kaget, lucu ngeliat dia posisinya tampak dewasa, saya fikir niru siapa.  Lalu saya lihat posisi duduk saya, iya benar, gue banget.  Sering tidak sadar saya melakukan posisi duduk seperti itu dan ditiru dengan sempurna.   Termasuk gaya makanya sup atau minum air teh yang selalu diseruput dan berbunyi “slurp”  yang mirip ayahnya.  Ayahnya selalu menampik, “Ih, siapa yang ngajarin makanya kaya gitu.”  Hmmm… Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, begitu katanya.


Hidup itu seperti merajut.  Membuat dasar pola rantai, mengambil benang, mengeluarkan, ambil benang, setelah kokoh siap dirajut dengan beragam kode.   Jika hitungan salah maka akan kelihatan tidak simetris, dibongkar lagi atau diteruskan.  Jika malas menyelesaikan tidak akan terlihat hasil akhirnya, namun jika dituntaskan hati akan terasa puas dan hati akan senang apapun bentuk akhirnya.  Ibarat merajut, hidup itu mengaitkan benang satu demi satu sesuai kode rajutan dan menyelesaikannya hingga bentuk akhir yang diinginkan sesuai pola.  Masalah hasil akhir produknya seperti apa, itu bagian dari proses masing-masing orang dalam melatih keahliannya.

 Ada kegembiraan, kejenuhan, bosan, monoton, semangat yang tiada henti, ada jiwa yang terkait saat kita telah menembus titik kesulitan.   Pada akhirnya kita bisa mengatakan bahwa hidup itu mudah karena kita mempelajari, tahu, mempraktekan kode-kode yang tersusun dalam hidup.  Saat kita bisa merangkaikan beragam kode dan menyusunnya, menyelesaikan tiap titik pertemuan kode maka hasil akhir hidup bisa kita kunyah diluar dugaan.  Terasa lebih baik atau mengecewakan, tergantung kesungguhan masing-masing.

Hidup tidak henti dari pembelajaran, ada nilai-nilai hidup yang tidak didapatkan dari bangku sekolah.  Karena banyak sekali teori hidup yang seringkali kita sendiri yang menemukanya.  Ini persoalan keyakinan.  Karena bisa jadi kita terlalu keras kepala untuk di beri tahu.  Mata dan hati kita terlalu sempit untuk menampung pengetahuan yang demikian banyak tapi saking banyaknya atau merasa paling benar, seringkali kita merasa telah menampung semua pengetahuan dan merasa paling tahu akan segala hal.  

Jangan mengatakan kita sudah terlalu tua atau lelah untuk mempelajari sesuatu, karena pengetahuan wajib kita pelajari hingga berhenti bernafas.  Begitupan, jangan mengatakan terlalu muda untuk mempelajari dan memulai sesuatu, karena setiap detik hidup sangatlah berarti.  Seperti dalam Al Qur’an (Al-Kahfi:109) seolah membuat kita merenung bahwa ilmu kita tak lebih dari setetes air di samudera.  Jadi buat apa kita merasa paling mengetahui ditengah kehidupan yang beragam dan selalu ada kejutan.

Persembahan untuk pagi 
Ima. 16 Nopember 2011
foto: ima 

Hidup haruslah terus berjalan, apapun yang terjadi, karena hidup adalah pencarian solusi atas perbedaan yang kerap terjadi.  Hidup adalah ketidaktahuan menjadi tahu, kebingungan menjadi tidak bingung, perbedaan menjadi saling mengerti, sempit menjadi luas atau bahkan luas menjadi sempit.  Karena hidup kita sendiri yang menentukan dari berbagai pilihan.  Ada yang suka ada begitupun sebaliknya, tapi hidup kita sendiri yang menekan tombolnya.  Berwarna, tidak berwarna...