Maaf...


Hidup ikut merasa tumbuh, stagnan, apatis atau mati bersamaan dengan luka di masa lalu yang kerap mengiringinya.  Hidup selalu bertemu dengan pertemuan, dan pertemuan selalu memicu benturan seseorang dengan seseorang yang lain. Ada dua pilihan, membiarkan luka rusak sampai berkembang biak atau segera diobati bahkan sampai bekas lukapun ikut terkikis.  Sayangnya kebanyakan kita, lebih memilih memelihara luka dan menanam menjadi sejarah abadi, bahkan menularkan rasa luka ini pada orang-orang terdekat agar merekapun turut membenci seseorang yang pernah melukainya.  Sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti dan bahkan bisa menimbukan rasa benci yang berlapis-lapis menjadi alasan untuk tak ada kata maaf dalam hidupnya.

Lalu bagaimana dengan proses Ramadhan sebagai bulan terapi hati, intropeksi diri, dan proses-proses lain yang mestinya mampu merekonstruksi hati yang sudah sedemikian dangkal?  Masing-masing dikembalikan pada diri sendiri, apakah mampu untuk memaafkan, berdamai dengan masa lalu dan memulai hubungan baik dengan proses hidup yang lebih baik.  Seandainya kita mampu seperti itu, idul fitri tentunya menjadi ajang panen dan memperkuat hubungan sosial, tidak hanya memperbaiki persoalan keimanan pada Allah tapi juga perbaikan hubungan pada sesama manusia. 

Idul fitri menjadi rutinitas mudik, rutinitas berkumpul, sebuah proses pertemuan dengan sanak saudara, tetangga, sahabat, teman kerja dan banyak lagi. Bahkan ada yang memilih untuk saling berkunjung di momen idul fitri, padahal kesempatan untuk bertemu dan berkunjung sebetulnya bisa dilakukannya kapan saja.  Mau tidak mau, pada akhirnya semua orang harus melewati proses bersalaman, pelukan, ucapan saling memohon minta maaf dengan orang yang bermasalah maupun yang baik-baik saja.  Sebetulnya, ini adalah momen yang tepat untuk menjalin komunikasi lebih baik, proses bersalaman, memberanikan dengan mengungkapkan kata maaf sebuah cara untuk membangun kembali komunikasi seseorang.  Bisa jadi proses ini bagian dari melembutkan hati, memberanikan diri dan menghalau rasa gengsi, rasa malu, rasa bersalah, mengakui proses dan prestasi seseorang, menerima dan muncul sedikit demi sedikit rasa menghormati diri apa adanya dan saling memaafkan dengan tulus. 
Pada kenyataannya dalam banyak kasus, seringkali memori rasa sakit hati lebih menguasai diri.  Sehingga membukakan telapak tanganpun terasa kaku, berusaha tidak kontak mata, dan berusaha mencari aman dengan orang lain yang tidak bermasalah.  Salaman, kata-kata maaf seolah menjadi ritual tahunan.  Sering kali, ketika ada stimulus yang membuka ingatan masa lalu, membuat seseorang kembali membuka luka lama, menimbulkan masalah baru dan muncul beragam masalah yang berlipat-lipat.

Pada akhirnya, bagi sebagian orang yang tidak “mampu”, momen idul fitri hanya sebagai rutinitas dan ajang basa basi agar bisa berkumpul secara fisik saja.  Kalau tidak menjadi basa basi, tentunya akan ada perubahan karakter dan pembawaan yang lebih baik antara beberapa pihak yang dianggap bermasalah dan berbenturan hati.  Bila saja suatu waktu terjadi satu gesekan kecil, akan menimbulkan luka-luka lama diungkapkan dengan gamblangnya.

Rupanya proses memafkan dan dimaafkan tidak sesederhana susunan katanya.   Perlu perjuangan untuk menyatu dan bersahabat dengan kata maaf.  

1 komentar:

  1. ramadhan ini sebagai bulan perenungan hati bagiku refleksi diri,,semoga lebih berarti...

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv